Mengenal Sosok Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Hubungan intelektual ulama Madinah dengan Nusantara telah terjalin kuat sejak lama. Hal ini tampak terlihat pada peranan sosok Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî seorang ulama besar Madinah sekaligus Mursyid Tarekat Tijaniyah yang pernah menetap cukup lama di Nusantara, khususnya di Tatar Sunda.
Lantas seperti apa profil dari sosok Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî yang menulis kitab “Misykât al-Anwâr fî Sîrah al-Nabî al-Mukhtâr” ini?
Ahli filologi Islam, Ahmad Ginanjar Sya’ban menjelaskan, sejarah hidup Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî terangkum dalam kamus biografi berbahasa Arab berjudul “Natsr al-Jawâhir wa al-Durar” karangan Yûsuf al-Mar’asylî (hal. 895).
“Dalam kamus tersebut, diterangkan jika Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib lahir di Madinah al-Munawwarah pada tahun 1271 Hijri (1854 M). Ayahnya adalah Syaikh ‘Abdullâh al-Thayyib, seorang ulama besar Madinah sekaligus tokoh sesepuh klan “al-Thayyib”, sebuah rumpun marga yang genaloginya menyambung sampai ke Rasulullah SAW,” tulis Ginanjar di akun Facebooknya, dikutip Hidayatuna.com, Sabtu (4/7/2020).
Menurut Ginanjar, keturunan keluarga al-Thayyib juga banyak yang menetap di wilayah Mesir Selatan (sha’îd) yang mayoritas penduduknya menganut fikih madzhab Maliki. Di Mesir, keluarga al-Thayyib tercatat sebagai keluarga terhotmat dan memiliki reputasi tinggi.
Ulama besar Mesir sekaligus Grand Syaikh Al-Azhar saat ini, yaitu Syaikh Ahmad b. Muhammad al-Thayyib, berasal dari keluarga ini. Ayahnya, yaitu Syaikh Muhammad al-Thayyib, adalah mufti madzhab Maliki di kawasan Luxor, Mesir Selatan.
“Setelah belajar kepara para ulama besar Madinah dari masa kecil hingga remajanya, Syaikh ‘Alî al-Thayyib kemudian pergi ke Kairo, Mesir, untuk menimba ilmu di institusi Al-Azhar,” ungkap Ginanjar.
Di sana beliau belajar beberapa tahun lamanya kepada beberapa ulama besar Al-Azhar, seperti Syaikh Syams al-Dîn al-Imbâbî (w. 1313 H), Syaikh ‘Abd al-Rahmân al-Syarbînî (w. 1326), Syaikh ‘Abd al-Hâdî Najâ al-Ibyârî dan lain-lain.
Sekembalinya ke Madinah, Syaikh ‘Alî al-Thayyib aktif dalam dunia ilmu pengetahuan. Beliau mengajar di Masjid Nabawi dan juga membuka kelas keilmuan di rumahnya. Syaikh ‘Alî al-Thayyib juga banyak melakukan rihlah ilmiah, seperti ke Istanbul, India dan Nusantara. Di Nusantara, Syaikh ‘Alî al-Thayyib bermukim cukup lama, lebih dari dua dekade.
Dosen magister UNU Jakarta itu menambahkan, dalam “Nats al-Jawâhir”, Syaikh ‘Alî al-Thayyib diberitakan pertamakali masuk ke Nusantara pada tahun 1918 M (1336 M) dan bermukim selama 22 tahun lamanya (hingga tahun 1940 M/1359 H).
“Menjelang wafatnya, beliau bersafar kembali ke kota kelahirannya di Madinah dan wafat di sana pada tahun 1940 M,” sambungnya.
Jejak Syaikh ‘Alî al-Thayyib di Nusantara juga terekam dan sumber kolonial Belanda. G.F. Pijper, cendikiawan Belanda yang meneruskan jabatan C. Snouck Hurgronje sebagai penasehat pemerintahan kolonial untuk urusan pribumi dan keislaman. Dalam bukunya “Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam Di Indonesia Awal Abad XX” (hal. 82), Pijper menyebut Syaikh ‘Alî al-Thayyib sebagai penyebar Tarekat Tijaniyah yang bermukim di Cianjur, Bogor dan Tasikmalaya.
Tampaknya, Syaikh ‘Alî al-Thayyib lebih banyak tinggal di kawasan Tatar Sunda yang berpemandangan indah dan berhawa sejuk. Keindahan alam Pasundan tampaknya telah memikat hati Syaikh ‘Alî al-Thayyib.
Merujuk pada catatan Pijper, Syaikh ‘Alî al-Thayyib mula-mula tinggal di Cianjur selama kurang lebih 3 tahun lamanya dan memimpin Madrasah Mu’âwanah al-Ikhwân. Di Cianjur, beliau dekat bersama KH. R. Muhammad Nuh dan juga KH. R. Tholhah (kalipah Cianjur). Setelah itu beliau tinggal di Bogor dan memimpin Madrasah al-Falâh. Selanjutnya beliau bermukim di Tasikmalaya selama beberapa tahun lamanya. (MK/Hidayatuna)