Mengenal Sistem Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Turki Utsmani
Seperti Apa Pendidikan Era Abbasiyah? Yuk Mengenal Sistem Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Turki Utsmani
Oleh: Tim Redaksi Hidayatuna
Sejak lahirnya Islam, lahirnya pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa Khulafaur ar- Rasyidin dan masa Dinasti Ummayah. Pada permulaan masa Dinasti Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara Islam, sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar dari ke kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Pada masa Dinasti Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan menjadi tiga tujuan, yaitu pertama, tujuan keagamaan dan akhlak, seperti anak-anak didik diajar membaca dan menghafal Alquran. Kedua, tujuan kemasyarakatan, seperti pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat. Ketiga tujuan pendidikan, seperti cinta akan ilmu pengetahuan serta senang dalam mencapai ilmu itu. Mereka belajar tidak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Keempat, tujuan kebendaan, artinya mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghidupan yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan sebagian orang pada masa sekarang.
Mengenai tingkat-tingkat pengajaran pada masa Dinasti Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri atas beberapa tingkat. Pertama, tingkat sekolah rendah, namanya kuttab jamak (katatib), untuk tempat belajar anak-anak. Disamping kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di toko-toko, dan di pinggir-pinggir pasar. Kedua, tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan di majelis sastera dan ilmu pengetahuan, sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul ilmu di Kairo (Mesir), di masjid-masjid dan lain-lain.
Kurikulum dalam pengajaran Kuttab (tingkat rendah) adalah membaca Alquran dan menghafalnya, pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, sembahyang, puasa, dan sebagainya, menulis kisah (riwayat) orang-orang besar Islam, membaca dan menghafal syair-syair, matematika dasar, pokok-pokok Nahwu dan Sharaf ala kadarnya.
Waktu belajar di Kuttab metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan dan proses pembelajarannya dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar, mulai hari sabtu sampai dengan hari kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jumat hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha. Jam pelajaran biasanya di bagi tiga. Pertama, pelajaran Alquran dimulai dari pagi hari hingga waktu dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu dhuha hingga waktu zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya. Dimulai setelah zhuhur hingga akhir siang (Ashar). Pada tingkat rendah ini tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai.
Adapun pembahasan pada jenjang tingkat pendidikan menengah, disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut: Alquran, bahasa Arab dan kesusateraan, fiqih, tafsir, hadis, nahwu, sharaf, balaghah, ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, musik, seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan menengah di beberapa daerah juga berbeda.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Menurutnya secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua, pertama, metode pengajaran bidang keagamaan, (al-manhaj al-diniy al-adabiy) yang diterapkan pada meteri-materi berikut : (a) fiqih (‘ilm al-fiqh). (b) tata bahasa (‘ilm al-nahwu), (c) teologi (‘ilm al-kalam), (d) menulis (al-kitabah), (e) lagu (‘arudh), (f) sejarah (‘ilm al-akhbar terutama tarikh). Kedua, metode pengajaran bidang intelektual (‘ilm manhaj al’ilmiy al-adabiy) yang meliputi olahraga (al-riyadhah), ilmu-ilmu ekstra (al-thabi’iyah), filsafat (al-falasafah), kedokteran (thibb), dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain.
Tahapan terakhir yaitu konsep pelajaran pada tingkat tinggi atau perguruan tinggi. Umumnya perguruan tinggi zaman Abbasiyah ini terdiri dari dua jurusan, yaitu jurusan ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab serta kesusateraan dan jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Kedua jurusan tersebut oleh Ibnu khaldun dinamai dengan Ilmu Naqlih dan Ilmu ‘Aqlih.
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu-ilmu Naqlih sebagai berikut : tafsir Al-Qur’an, hadits, fiqhi dan ushul fiqhi, nahwu, sharaf, balagah, bahasa Arab dan kesusateraannya. Semua mata pelajaran itu diajarkan pada perguruan tinggi dan belum diadakan takhassus (spesialisasi) dalam satu mata pelajaran saja, seperti sekarang. Takhassus ituu hanya lahir kemudian, sesudah tamat perguruan tinggi, semua bakat dan kecenderungan ulama-ulama itu sendiri, sesudah praktek mengajar beberapa tahun lamanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan Aqliah sebagai berikut : mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, kedokteran.
Setelah Dinasti Abbasiyah runtuh, kejayaan selanjutnya ada di Dinasti Turki Utsmani. Dinasti Turki Utsmani merupakan kerajaan yang sangat dinamis, kebudayaan yang ada merupakan perpaduan dari bermacam-macam kebudayaan, diantaranya adalah kebudayaan Persia, Byzantium, dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Byzantium. Sedangkan ajaran-ajaran tentang prinsip ekonomi, sosial dan kemasyarakatan, keilmuan serta huruf-huruf banyak mereka terima dari bangsa Arab.
Pasca Mesir jatuh dibawah kekuasaan Dinasti Turki Utsmani, penguasanya pada masa itu, Sultan Salim, memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan dan barang-barang yang berharga di Mesir dipindahkan ke Istanbul. Anak-anak Sultan Mamluk, Ulama-Ulama, Pembesar-Pembesar yang berpengaruh di Mesir, semuanya dibuang ke Istambul setelah mereka mengundurkan diri sebagai khalifah dan menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sultan Turki. Dengan berpindahnya ulama-ulama dan kitab-kitab perpustakaan dari Mesir ke Istanbul, maka Mesir menjadi mundur dalam ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan berpindah ke Istanbul, tempat kedudukan Sultan dan Khalifah. Dengan demikian, Istambullah yang menjadi pusat kerajaan sekaligus pusat pendidikan serta kebudayaan saat itu.
Sistem pendidikan yang dikembangkan pada Dinasti Turki Utsmani adalah menghafal matan-matan, meskipun murid-murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal Matan Al-Jurmiyah, Matan Taqrib, Matan Al-Fiyyah, Matan Sultan, dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan-matan itu barulah mempelajari syarahnya. Karena pelajaran itu bertambah berat dan bertambah sulit untuk dihafalkannya. Sistem pengajaran di wilayah ini masih digunakan sampai sekarang. Pada masa pergerakan yang terakhir, masa pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syiria (Tahun 1805 M) telah mulai diadakan perubahan-perubahan di sekolah-sekolah (Madrasah) sedangkan di Masjid masih mengikuti sistem yang lama.
Pada masa itu banyak juga perpustakaan yang berisi kitab-kitab yang tidak sedikit bilangannya. Setiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guru-guru, ahli sejarah dan ahli syair pada masa itu. Tetapi mereka hanya mempelajari kaidah-kaidah ilmu Agama dan Bahasa Arab, serta sedikit ilmu berhitung utuk membagi harta warisan dan ilmu miqat untuk mengetahui waktu sembahyang. Mereka tidak terpengaruh oleh pergerakan ilmiyah di Eropa dan tidak mau pula mengikuti jejak zaman kemajuan Islam pada masa Harun Ar-Rasyid dan masa Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam sejarah Islam. Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Dinasti Turki Utsmani, sampai jatuhnya sultan/khalifah yang terakhir tahun 1924 M.
Adapun tingkat-tingkat pengajaran di Turki terdiri dari tingkat rendah (S.R.) 5 tahun. tingkat Menengah (Zawiyah) 3 tahun, tingkat menengah atas (Zawiyah Tsani) 3 tahun, dan terakhir tingkat tinggi (Jamiah) 4 tahun. Dikelas IV dan V S.R. diajarkan ilmu Agama jika mendapatkan izin dari orang tua murid. Begitu juga diajarkan agama di kelas III Sekolah Menengah (S.M.P.) jika diminta oleh orang tua murid. Selain itu, ada juga sekolah Imam Khatib (sekolah agama) 7 tahun, 4 tahun pada tingkat menengah pertama dan tiga tahun pada tingkat menengah atas. Murid-murid yang diterima masuk sekolah Imam Khatib itu ialah murid-murid tamatan S.R 5 tahun. Untuk melanjutkan dari sekolah Imam khatib didirikan Institut Islam di Istanbul, dan pengajarannya berlangsung selama 4 tahun.
Penutup
Islam menegaskan dirinya sebagai agama yang sangat memperhatikan pendidikan. Bukan sekedar anjuran, tetapi perintah yang harus dilakukan semenjak keluar dari buaian ibu sampai meninggal. Artinya, umat Islam, sepanjang hidupnya dituntut untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, melirik pada saat kejayaan umat Islam di atas, hendaknya umat Islam saat ini harus mempunyai perhatian penuh dengan membuka kesempatan dan seluas-luasnya bagi perkembangan pendidikan dan keilmuan.