Mengenal Sejarah Singkat Ahlussunnah wal Jamaah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ahlussunnah wa al-Jama’ah atau Aswaja adalah salah satu aliran atau golongan yang memiliki paham tawassuth (tengah-tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), dan i’tidal (tegak lurus).
Aliran ini sudah ada sejak era Nabi Muhammad, meski masih dalam bentuk teologis saja, belum merujuk kepada aliran atau kelompok atau golongan tertentu.
Term Ahlussunnah wa al-Jama’ah sendiri pertama kali dicetuskan oleh Ibnu Abbas. Hal tersebut dapat diketahui dalam riwayat Ibnu Abbas dalam tafsir ad-Dur al-Mansur karya Jalaluddin as-Suyuthi. Dalam perkembangan historisnya, terbagi menjadi tiga fase yaitu fase teologis, fase sosial-politik, dan fase madzhab.
Selama perkembangannya, Aswaja telah melalui berbagai macam tantangan yang nyatanya mampu terlewati sehingga mampu bertahan sampai sekarang.
Bahkan setelah masa pertumbuhannya di jazirah Arab sendiri, ia mampu diterima oleh berbagai kalangan dalam Islam dan akhirnya tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Aswaja setelah masa pertumbuhannya berhasil menjadi aliran terbesar dalam umat Islam atau menjadi golongan mayoritas di seluruh dunia.
Adapun tokoh-tokoh Aswaja yang paling berpengaruh adalah Abu Musa al-Asy’ari dan Abu Hasan al-Maturidi. Sedangkan tokoh ulama Aswaja dari Indonesia adalah Kiai Hasyim Asy’ari.
Beliau juga dikenal sebagai pendiri NU atau Nahdlatul Ulama’ sebagai orgtanisasi Islam yang bermanhaj Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Meskipun banyak golongan lain yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah atau Aswaja, namun pada akhirnya, waktulah yang akan membuktikan siapa sajakah Aswaja yamng sesungguhnya melalui keteguhannya dalam menjalankan prinsip-prinsip dasar Ahlussunnah itu sendiri.
Jika menengok sejarah dari Aswaja itu sendiri, maka sebenarnya sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga masa sahabat serta tabi’ tabi’in.
Semenjak kematian Utsman bin Affan yang wafat karena dibunuh pemberontak, muncul konflik dalam tubuh masyarakat muslim saat itu, yang pada puncaknya menyebabkan perang antar umat Muslim terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah.
Peperangan antara kubu Ali dengan kubu Muawiyah ini dikenal dengan nama Perang Shiffin. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah.
Peristiwa ini dikenal dengan sebutan peristiwa tahkim atau arbitrase, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan al-Quran berada di ujung tombok sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij. Kata khawarij diambil dari kata kharaja yang berarti keluar.
Mulai saat itu, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali yang fanatis), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian keluar pasca peristiwa tahkim).
Khawarij adalah golongan yang tidak membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan hukum Allah atau al-Quran dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40 H) yang muncul adalah tiga yakni Syiah, Khawarij, dan Muawiyah.
Saat perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari yang berlatar belakang sebagai tokoh agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah.
Sehingga apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah. Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan Muawiyah.
Dunia politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang mendukung dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja. Ini hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini yang mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah.
Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut aliran Jabariyah. Salah satu dalil dalam al-Quran yang digunakan Jabariyah adalah:
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Artinya:
“Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah.
Banyak pengemis bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai goyah. Banyak pula orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan bekerja karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah.
Aliran ini dalam istilah modern dikenal dengan istilah fatalism. Padahal, aliran Jabariyah secara politis digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara murni sebagai ajaran untuk kemaslahatan umat.
Sebagai respon atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah.
Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya.
Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil al-Quran yang populer untuk melegitimasi aliran ini adalah Q.S. Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Tokoh-Tokoh Aswaja
Tokoh-tokoh Aswaja adalah mereka adalah para sahabat, yaitu yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pernah melihat beliau, dan mati dalam keadaan Islam.
Di antara tokoh-tokoh sahabat adalah: para Khulafaaur Rasyidin, sepuluh orang yang sudah dijamin masuk jannah, Ahlul Badar, Ahlu Uhud, dan Ahlu Bai’atur Ridwan.
Di antara tokoh-tokoh tabi’in: Uwais al-Qarny, Said bin al-Musayyib, Urwah bin az-Zubair, Saalim bin Abdullah bin Umar, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud, Muhammad bin al-Hanafiyyah, Ali bin al-Hasan Zainal Abidin, al-Qaasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shidiq, al-Hasan al-Bashary, Muhammad bin Sirrin, Umar bin Abdul Aziz, dan Muhammad bin Syihab az- Zuhri.
Di antara sekian banyak tokoh Aswaja yang paling terkenal adalah Abu Musa al-Asy’ari dan Abu Hasan al-Maturidi. Adapun tokoh Aswaja yang paling termasyhur dari Indonesia adalah Kiai Hasyim Asy’ari yang berasal dari Jawa Timur.
Kemudian orang yang menyusul mereka dan mengikuti jejak langkah mereka dalam berpegang teguh kepada al-Kitab dan as-Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para sahabat sampai datangnya hari kiamat. []