Mengenal Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin, Pengarang Kitab Pengobatan

 Mengenal Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin, Pengarang Kitab Pengobatan

Memahami Perkataan Imam Malik Tentang Istawa (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di masa silam ada banyak ulama yang memiliki kontribusi pada masyarakat yang mukim di sekitar tempat tinggalnya. Ulama tidak hanya mendakwahkan agama Islam.

Ulama juga mengurusi sekian problem yang ada di tengah-tengah masyarakat, kesulitan mencari rezeki, pertikaian keluarga, sengketa warisan, termasuk juga mengobati penyakit.

Pada tahun 1921 di Palembang, salah satu keturunan Kanjeng Nabi Muhammad ada yang menulis kitab ihwal pengobatan.

Di masyarakat sekitar saat itu, ia akrab dikenal sebagai Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin.

Keturunan yang bisa kita garis bawahi lebih memilih jalan mengobati penyakit sebagai dakwahnya, bukan ceramah dari panggung ke panggung atau terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan pondok pesantren.

Kitab yang berjudul Kitab Buktikan Obat-Obat (1921) ini ditulis di Kampung 16 Ilir, Palembang. Di dalamnya memuat 39 bab pengobatan dengan 22 bab di antaranya membahas tentang kesehatan reproduksi yang dialami oleh perempuan.

Barangkali di masa itu, kita bisa menduga ada banyak perempuan yang menderita ragam penyakit reproduksi.

Hal ini kemungkinan tidak hanya terjadi di Palembang dan sekitarnya saja, tetapi hampir menyeluruh. Karena di tahun-tahun itu, kolonial dengan kekuasaannya masih menguasai negeri ini dari segala lini.

Asumsi serupa terkait porsi pembagian bab ini malah bisa kita baca dengan jelas di artikelnya Endang Rochmiatun, Farmakologi Tradisional di Palembang Dalam Perspektif Ekologi Budaya (2013).

Mengutip pendapatnya,

“Kemungkinan besar di Palembang pada masa itu maupun masa sebelumnya, hal yang terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan kurang mendapat perhatian.”

Perempuan di masa 1920-an itu memang belum teremansipasi seperti masa hari ini. Pun suara kesetaraan gaungnya masih sangat lirih, di samping akses kesehatan dan pendidikan yang layak bagi perempuan hampir tidak ada sama sekali. Perempuan tengah berada pada kondisi kelas kedua.

Kitab Buktikan Obat-Obat, Pengobatan Ilmiah

Kitab setebal 24 halaman ini juga disertai dengan takaran yang mesti ditaati oleh pembaca, layaknya resep yang lazim kita peroleh di fasilitas kesehatan setempat.

Selain takaran, di situ juga tertulis mengenai aturan pemakaian sekaligus pantangan yang mesti dihindari. Hal ini bertujuan agar obat yang diminum bisa bekerja secara optimal.

Terkait dengan takaran, Endang Rochmiatun mencatat,

“… Berat bahan obat yang digunakan disesuaikan dengan berat sejumlah tertentu koin mata uang yang berlaku pada masa itu.”

Seperti misalnya penggunaan gula pasir yang beratnya satu ringgit, kuma-kuma yang takarannya mesti satu tali, jinten hitam yang kadar penggunaannya mesti seberat setengah ringgit dan sebagainya.

Pemberian takaran memudahkan siapa saja yang membaca Kitab Buktikan Obat-Obat untuk meracik obatnya sendiri.

Pengetahuan pengobatan terdistribusi ke masyarakat luas tanpa khawatir dengan kelebihan dosis yang membahayakan kesehatan masyarakat.

Selain itu, kitab ini ditulis dengan daftar isi yang runtut-beraturan. Halaman awal sampai halaman ke-10 berisi pengobatan untuk kaum perempuan.

Kemudian 6 halaman selanjutnya berkenaan dengan pengobataan bagi laki-laki. Halaman 17 dan 18 membahas tentang sakit ketika buang air kecil atau kencing batu.

Halaman 19 mengenai kesehatan rambut. Dua halaman selanjutnya membabar ihwal batuk dan muntah darah. Sedangkan halaman 22-24 berisi tanbih.

Maka secara garis besar, 21 halaman dari 24 total halaman di Kitab Buktikan Obat-Obat mengudar tentang penyakit yang kerap dideritas masyarakat saat itu, lengkap dengan pengobatannya.

Bagi Endang Rochmiatun, kitab ini menggabungkan tradisi besar pengobatan di dunia Timur dan Barat sekaligus.

Katanya,

“… Pada satu sisi pengobatan dilakukan menggunakan dengan cara ilmiah dan pada sisi lain dengan menggunakan cara-cara berdasarkan kepercayaan local yang telah dipengaruhi unsur Islam di dalamnya.”

Saya rasa pendapat tersebut turut mengafirmasi bahwa, dunia Islam dan kearifan lokal bisa bersanding dengan pengetahuan Barat yang dinilai ilmiah. Sekali pun itu dalam bidang pengobatan. []

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *