Mengenal Qiyas, Salah Satu Instrumen Hukum Islam
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Hukum Islam, atau lebih dikenal dengan Syariat Islam, memiliki dua sumber primer yang mutlak kebenarannya. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan.
Meskipun dalam studi as-Sunnah ditemukan banyak problem akademik yang tidak kecil, terlebih menurut para orientalis di sana.
Sedangkan qiyas merupakan salah satu jalan untuk menyusun legislasi mengenai masalah-masalah baru, dimana tidak ada bimbingan langsung dari al-Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikannya.
Oleh karenanya, jelas qiyas dipandang sebagai salah satu sumber yang berkepentingan dengan kedudukannya dibawah al-Qur’an dan Sunnah.
Sumber pembantu ini, hanya ditentukan oleh derajat kecocokannya dengan dua sumber pokok (al-Qur’an dan Sunnah) yang tidak dapat ditentang otoritasnya.
Seterusnya, dalam perkembangan hukum Islam kita dapati qiyas sebagai sumber keempat dari hukum Islam.
Qiyas sebagai bentuk alat bantu memang terkadang dimaknai berbeda oleh sebagian ulama lainnya.
Mengingat pemberian definisi pada suatu hal adalah suatu bentuk subjektivitas tersendiri.
Penggunaannya pada praktek pengambilan istinbat hukum Islam sangat diperhatikan.
Hal ini tak lain disebabkan oleh sasaran yang ditujunya, yaitu penentuan hukum pada hal-hal yang baru.
Sehingga bisa dikatakan bahwa status qiyas dalam proses pengambilan istinbat hukum adalah dibutuhkan dan penting.
Terlebih pada pada praktek bermazhab dalam syariat Islam yang kita anut.
Menurut bahasa, qiyas merupakan pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.
Pengertian qiyas memiliki beragam perspektif dalam pandangan ulama ushul fiqh.
Hal ini bergantung pada pandangan para ulama ushul fiqh terhadap kedudukan qiyas itu sendiri dalam istinbat hukum. Adapun pendapat lain terkait tentang pengertian qiyas yakni sebagai berikut:
- Shadr Al-Syari’at, berpendapat bahwa qiyas merupakan pemindahan hukum yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.
- Al-Human, berpendapat bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
- Ibnu as-Subki, qiyas adalah meletakkan hukum yang dimaklumi terhadap sesuatu yang maklum karena samanya ‘illat hukumnya, menurut pandangan orang yang meletakkan itu.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi sebagaimana disebutkan di atas, akan tetapi secara umum definisi-definisi tersebut sama.
Yaitu menetapkan hukum dari suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada sesuatu kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.
Proses penetapan hukum melalui qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penetapan dan penjelasan ini dilakukan secara teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang dihadapi.
Apabila ‘illatnya sama dengan ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus tersebut adalah sama dengan hukum.
Kedudukan Qiyas dalam Syariat
Telah kita ketahui bersama adanya keberadaan konsep Qiyas dalam syariat Islam (Syara’). Terlebih, pelaksanaan konsep Qiyas dalam figh bermazhab memang diakui.
Tetapi, tidak adanya dalil atau petunjuk yang menyatakan secara jelas penggunaan qiyas sebagai dalil syara’ menjadikan suatu diskursus studi yang diperdebatkan.
Bahkan, keberadaan dalil mengenai dibolehkannya mujtahid dalam menentukan hukum syara’ di luar yang ditetapkan oleh nash pun tidak ditemukan.
Beberapa diantaranya, mayoritas, tetap menerima konsep qiyas dengan pertimbangan dalil-dalil yang merujuk pada konsep tersebut.
Bentuk-bentuk Qiyas
Qiyas terbagi menjadi tiga: Pertama, Qiyas yang ‘illat-nya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamar,yang disebut dengan jelas dalam nash.
Kedua, Qiyas Aulaw ialah qiyas yang hukum pada far’ sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashl.
Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orang tua. Al-Quran surah al-Isra ayat 23.
Ketiga, Qiyas musawi, yaitu, qiyas hukum yang ditetapkan pada far’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.
Illat-nya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 10.
Qiyas musawi, yaitu, qiyas hukum yang ditetapkan pada far’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.
‘Illat-nya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 10. []