Mengenal Paradigma Integrasi-Interkoneksi Amin Abdullah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merupakan kampus Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) tertua di Indonesia.
Berdiri sejak tahun 1951, UIN Sunan Kalijaga telah menjadi salah satu perguruan tinggi yang eksis dalam menyebarkan spirit Islam rahmatan lil ‘alamin melalui sudut pandang dunia akademik di Indonesia.
Salah satu spirit keilmuan yang diperjuangkan oleh UIN Sunan Kalijaga adalah paradigma integrasi-interkoneksi.
Paradigma integrasi-interkoneksi pertama kali dirumuskan oleh Prof. Amin Abdullah, mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga.
Paradigma ini digagas sebagai respon dari adanya dikotomi ilmu yang merupakan peninggalan pemerintahan orde baru.
Fenomena dikotomi ilmu kemudian direspon oleh Amin Abdullah sebagai sesuatu yang dapat menghambat kemajuan pola berpikir orang-orang Indonesia.
Selain itu dipengaruhi juga munculnya cendekiawan-cendekiawan muslim pada akhir tahun 90-an yang membawa nafas tajdid seperti Nurcholis Madjid, Kuntowijoyo, Gus Dur dan beberapa cendekiawan lainnya.
Para cendekiawan tersebut membawa konsep pembaharuan dalam keilmuan Islam yang memungkinkan adanya dialog antara ilmu agama dan ilmu umum.
Secara sederhana, antara ilmu agama dan ilmu umum adalah sebuah kesatuan entitas sehingga harus dihubungkan (to integrate) dan dipertemukan (inter connect) agar diskursus keilmuan menjadi lebih kaya.
Amin Abdullah secara komprehensif merumuskan relasi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu umum dalam sebuah paradigma yang dikenal sebagai integrasi-interkoneksi.
Kelahiran paradigma integrasi-interkoneksi sangat dipengaruhi oleh pembaharu Islam Abid Al-Jabiri yang mengemukakan epistimologi menjadi tiga; bayani, burhani dan irfani.
Konsep Paradigma Integrasi-Interkoneksi
Transformasi IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan kalijaga pada tahun 2004 diharapkan mampu melahirkan paradigma baru dalam khazanah pengkajian ilmu agama dan ilmu umum, sehingga peran paradigma integrasi-interkoneksi menjadi krusial dalam eksistensi UIN Sunan Kalijaga.
Karena sejatinya, integrasi-interkoneksi secara nilai telah dikenal sejak dulu.
Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga dikenal sebagai salah satu kelompok masyarakat yang kritis serta dapat membangun wacana dan gagasan secara koheren.
Kemunculan LKiS dan beberapa kelompok studi lain yang dilahirkan dari pemikiran mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga mengindikasikan bahwa integrasi-interkoneksi lahir atas respon dari konsepsi besar.
Konsep paradigma integrasi-interkoneksi bertujuan untuk menghubungkan, mengaitkan, atau jika memungkinkan menyatukan kedua ilmu yakni ilmu agama dan ilmu umum, melalui dialek segitiga; tradisi teks (hadarah al-nas), tradisi akademik-ilmiah (hadarah al-‘ilm), dan tradisi etik-kritis (hadarah al-falsafah).
Integrasi-interkoneksi bertujuan untuk memecahkan kebuntuan dari problematika kekinian sehingga terhindar dari sifat arogansi keilmuan (single entity), terjadi isolasi berbagai bidang ilmu atau tidak adanya persinggungan (isolated entities).
Sehingga positioning antara Islam dan Sains sangat jelas dan tegas, saling melengkapi dan tidak bertentangan.
Dari perspektif historis, kemajuan peradaban Islam pada abad pertengahan tidak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu.
Kegigihan para ulama terdahulu yang tidak hanya berfokus pada ilmu agama, tapi juga ilmu umum sebagai faktor penunjang berkembangnya Islam merupakan aspek yang krusial dalam konstruksi integrasi-interkoneksi.
Sehingga, kemunculan integrasi-interkoneksi diharapkan mampu merefleksikan kejayaan Islam di masa lalu, khususnya dalam bidang pengkajian ilmu pengetahuan untuk diterapkan di tengah masyarakat Islam Indonesia dan dunia.
Jangka panjangnya adalah dapat melahirkan cendekiawan muslim yang siap menjawab tantangan masa depan Indonesia.
Integrasi-interkoneksi berusaha untuk menyatukan antara natural sciences, sosial sciences dan humanities.
Meskipun belum begitu terlihat penyatuan antara ketiga keilmuan ini, paling tidak telah terlihat bagaimana hubungan keterkaitan antara ketiganya.
Dengan penyatuan ini diharapkan tidak ada lagi dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. []