Mengenal Mufasir dari Tatar Sunda, KH. Ahmad Sanusi

Mengenal Mufasir dari Tatar Sunda, KH. Ahmad Sanusi (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu ulama yang produktif dalam penafsiran yang di akulturasikan dengan bahasa lokal yakni K.H Ahmad Sanusi.
Beliau adalah seorang pejuang dan perintis kemerdekaan dengan ratusan karya keagamaan yang kebanyakan berbahasa Sunda.
Latar belakang keilmuan dari berbagai pesantren yang telah ia dapatan yang membuatnya ia semnagat dan sungguh-sungguh dalam menghasilkan karya-karya khususnya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Beliau telah menghasilkan beberapa kitb tafsir yang kini telah dikenal khususnya masyarakat Sunda, salah satu kitabnya yang terkenal dimasyarakat adalah kitab Roudhotul irfan.
Tafsir tersebut merupakan kitab berbahasa sunda beraksara pegon yang ditulis keci-kecil serta terdapat terjemahan antar baris dari setiap ayatnya, sementara penafsirannya terletak pada bagian kiri setiap halamannya.
Salah satu bentuk vernakularasinya al-qur’an di tatar Sunda adalah penafsirannya ke dalam bahasa Sunda atau disingkat tafsir Sunda.
Sebagai sebuah teks tertulis tafsir sunda merupaka salah satu bentuk khazanah budaya Islam Sunda yang memuat beragam pemikirann dan pengetahuan penulisannya sebagai wujud interpretasi atas ajaran Al-Qur’an.
Tafsir Sunda bisa menjadi bagian dari indikator kaitanya pengaruh Islam ke dalam kehidupan masyarakat Sunda, sekaligus membuka banyaknya peluang masuknya nilai budaya Sunda ke dalam produk pembahasa lokalan tersebut.
Semakin tinggi apresasi terhadap kitab suci itu, maka semakin kuat maka semakin kuat pula kecendrungannya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat, begitupu sebaliknya.
K.H. Ahmad Sanusi dilahirkan pada malam jum’at tanggal 12 Muharram 1306 H/18 sepetember 1888 M di kampung Cantayan, kabupaten Sukabumi.
Ia adalah seorang kyai, ajengan, pemikir ahlusunnah, pendiri sekaligus pemimpin al ittihadjtaul Islamiyyah (AII) yang sekarang berubah menjadi Perserikatan Umat Islam (PUI), pejuang dan perintis kemerdeaan dengan ratusan karya keagamaan yang kebanyakan berbahasa Sunda.
Sekilas mengenai istilah ajengan sendiri merupakan sebuah istilah populer di kalangan masyarakat Sunda yang merupakan sebutan kepada ulama baik karena ketinggian ilmunya maupun perilaku dan akhlaknya yang menjadi panutan dan diakui sebagai pemimpin umat di lingkungannya.
Ahnad Sanusi sendiri tidak menyebut dirinya sebagai seorang kyai maupun ajengan dalam semua buku yang ia tulis, penyebutan gelar tersebut diberikan oleh pengikutnya, terlebih setelah beliau meninggal disandarkan kepada nama tempat dimana pesantren itu sendiri.
Seperti sebutan Ajengan Gunug Puyuh kepada Ahmad Sanusi karena memepunyai pesantren yang berada di Gunung Puyuh sedangkan istilah kyai di wilayah Sunda hanya berlaku bagi tokoh agama saja dan tidak disandarkan kepada tempat atau pesantren dimana ia berdomisili.
Hal ini sedikit berbeda dengan pemakaian istilah Kyai di wilayah Jawa lainnya, yang bisa ditunjukan untuk benda-benda keramat.
Beliau anak ketiga dari delapan saudara, ibunya bernama Empok dan ayahnya bernama K.H.Abdurrahim (ajengan cantayan, pemimpin pondok pesantren cantayan).
Sebagai seorang anak ajengan, sejak kecil K.H. Ahmad Sanusi beserta seluruh saudaranya diddik di dalam lingkungan yang religius, proses pengajaranya secara langsung dari orang tuanya yang pada waktu itu mempunyai pondok yang bernama Cantayan.
Setelah menginjak usia 17 tahn pada tahun 1905 , Ahmad Sanusi mulai belajar serius untuk mendalami pengetahuan agama Islam atas anjuran ayahnya, menambah pengalaman dan memperluas pergaulan masyarakat, ia nyantri di berbagai daerah.
Setelah melanglangbuana di berbagai pesantren, K.H. Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi dan masuk pesantren Babakan Salawi Bros Sukabumi, dan di sana beliau bertemu seorang perempuan yang bernama Siti Juwariyah putri dari K.H. Affandi.
Pada tahun 1910 beliau menikahinya. Selama lima tahun bermukim di Mekkah Ahmad Sanusi memanfaatkan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya, untuk mendalami, mengkaji dan memahami bebagai ilmu tetang keislaman.
Sehingga setelah belajar di Mekkah, awal kiprah Ahmad Sanusi dalam bidang pendidikan dan dakwah dimulai pada tahn 1915.
Setelah pulang ke kampung halaman ia langsung membantu ayahnya mengurusi pondok pesantrennya, dengan kepandaian ilmu yang dimilikinya.
Ia mampu mendidik dengan baik anak-anaknya maupun santrinya menjadi ulama-ulama besar dan berpengaruh tidak hanya di jawa barat.
Dalam pengajarannya K. Ahmad Sanusi tidak bersifat pasif yang hanya berdiam di pesantrennya menunggu para santri yang mendatanginya, melainkan ia berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya itu kepada para jamaahnya yang menghadiri dakwahnya.
Maka dari itu tidak heran kalau beliau di panggil ajengan Cantayan oleh masyarakat.
Metode pembelajarannya yang diterapkan kepada santrinya tidaklah berbeda ketika ia masih membantu ayahnya mengasuh Cantayan.
Ia tidak mengajar santrinya dengan menggunakan metode tradisonal yakni Sorogan dan Bandongan, tetapi lebih sering menggunakan metode halaqoh, dengan metode ini, para santri diajak untk mendiskusikan setiap persoalan keagamaan.
Hasil diskusi itu dibahas bersama-sama dengan K. Ahmad Sanusi sehingga para santri akan memiliki pemahaman yang jauh lebih mendalam dibandingkan sistem sorogan atau bandongan.
Hingga saat ini, karya tafsir KH. Ahmad Sanusi tersebut masih dibaca dan dikaji oleh kalangan pesantren khususnya di Tatar Sunda. []