Mengenal Lebih Dekat Sosok Kiai Ali Maksum Krapyak
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Banyak tokoh nasional yang mewarnai Indonesia lahir dari pesantren. Mereka berkontribusi dalam berbagai aspek seperti pendidikan, budaya, politik, ekonomi dan lainnya.
Pengaruhnya yang luas di level masyarakat bawah memungkinkan perubahan-perubahan sosial di Indonesia dalam setiap tahapannya tidak bisa dilepaskan dari peranan para tokoh pesantren tersebut.
Di dalam masyarakat muslim, seorang tokoh lulusan pesantren dan menguasai ilmu-ilmu agama disebut ulama. Sebutan yang sifatnya lebih lokal dan mencerminkan masyarakat Indonesia disebut kyai.
Salah satu kyai yang sudah jamak dikenal oleh masyarakat muslim Indonesia adalah KH Ali Ma’sum. Beliau adalah seorang ulama pendiri pesantren Ali Ma’sum yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di kalangan warga nahdliyin, sebutan bagi umat Islam tradisional yang secara organisasi berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), mengenalnya sebagai mantan Rais Aam NU. Pemimpin tertinggi organisasi yang menghimpun para kyai dan ulama pesantren sejak 1926.
Nama Ali Ma’sum sendiri sebenarnya bukan sebutan sejak kecil. Nama kecil beliau adalah Muhammad Ali. Lahir di Lasem pada tanggal 2 Maret 1915. Beliau merupakan putra pendiri pesantren tua di Lasem, KH Ma’sum bin K Ahmad. Ibunya bernama Ny Nuriyati binti K Zainudin.
Di dalam bukunya yang berjudul “KH. Ali Maksum; Ulama, Pesantren, dan NU”, Ahmad Athoillah menggambarkan Lasem sebagai “Tiongkok Kecil” dan “Kota Bandar Majapahit”. Bisa dibayangkan bagaimana kompleksnya situasi sosial masyarakat Lasem sejak jauh sebelum kemerdekaan RI.
Dalam iklim sosial seperti itulah KH Ali Ma’sum lahir dan dibesarkan. Wilayah yang metropolit, multi etnis dan sekaligus kental dengan nuansa keagamaan. Hal ini menjadikan beliau tumbuh sebagai pribadi yang terbuka dan kelak mampu menjadi leader dalam setiap level pengabdian yang diembannya.
Sejak kecil Kyai Ali tinggal di lingkungan pesantren. Beliau berguru pada ayahnya sendiri. Ayahnya, KH Ma’sum, menginginkan Kyai Ali agar menjadi ahli dalam bidang ilmu fikih.
Di usianya yang ke 12 tahun, Kyai Ali berangkat ke Pekalongan untuk menimba Ilmu. Tepatnya di pesantren SImbang Kulon, Buaran Pekalongan asuhan KH Amir Idris. Setelahnya kemudian belajar ke Tremas, Pacitan. Di sana beliau belajar kepada KH Dimyati.
Di Tremas, pembentukan karakter dan kepemimpinan Kyai Ali mulai terbentuk. Di sana beliau tidak hanya mendalami ilmu tafsir dan bahasa arab sebagai keahlian utamanya, melainkan ilmu manajerial. Di sana beliau dikenal pada masanya sebagai salah satu santri yang turut memodernisasi sistem pendidikan di Tremas.
Tempat belajar selanjutnya adalah Makkah al-Mukarramah. Di sana beliau belajar pada Sayid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani dan Syaikh Umar Hamdan.
Setelah dua tahun di Mekkah, Kyai Ali pulang ke Lasem (1941) menemui istrinya Ny Hasyimah binti Munawwir yang dinikahinya tidak lama sebelum berangkat ke Mekkah.
Di Lasem, Kyai Ali berencana untuk berkiprah untuk waktu yang lama di Lasem, namun karena kedatangan Jepang ke Indonesia dan meninggalnya KH Munawwir membuat kondisi pesantren krapyak sempat memprihatinkan.
Dalam kondisi seperti itulah, kapasitas Kyai Ali seperti yang pernah didapatkannya selama di Tremas amat dibutuhkan.
Atas seizin ayahnya, KH Ma’sum, Kyai Ali akhirnya mau menuruti keinginan mertuanya agar beliau memimpin Krapyak sepeninggal KH Munawwir pada tahun 1942.
Sejak kepemimpinannya, Krapyak yang tadinya berfokus pada ilmu-al-Qur’an kemudian merambah pada penekanan ilmu lainnya.
Untuk tahun awal-awal di sana, Kyai Ali mengadakan program khusus untuk megkader beberapa orang selama 2 tahun. Sistem yang dipakai yakni madrasi. Di kemudian hari, murid-murid program tersebutlah yang akan membantu beliau mengasisteni pengajaran di pesantren. Sesuai bidangnya.
Untuk selanjutnya, modernisasi sistem pesantren al-Munawwir di bawah tangan ‘dingin’ Kyai Ali tidak terelakkan. Sepanjang 1946 hingg tahun 1987, sudah berdiri TK, madrasah diniyah (awaliyah, wustho, dan ulya), madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, takhasus dan tahfidhul qur’an. Di samping memimpin pesantren, Kyai Ali juga menjadi dosen di UIN SUnan Kalijaga (1964-1980).
Kiprah Kyai Ali tidak berhenti di pesantren. Pada tahun 1955, beliau mewakili NU DIY sebagai anggota konstituante.
Itu adalah masa-masa di mana NU sedang menjelma sebagai partai politik. Puncak karirnya di NU terjadi ketika terpilih sebagai Rais Aam NU pada Munas Alim Ulama di Kaliurang 1981.
Dari segi pemikiran, Kyai Ali sangat jelas punya perhatian yang kuat terhadap isu pendidikan. Terlihat dari kiprahnya selama pesantren di Tremas, memimpin Krapyak hinga menjadi dosen. Di sisi lain, beliau juga sangat menaruh perhatian pada dakwah Islam ahlus sunnah wal jama’ah. Karyanya yang terkenal berjudul hujjah ahlissunnah wal jama’ah kerap dibaca dan dipelajari oleh berbagai pesantren di tanah air.
Kitab lainnya karangan beliau adalah Jawami’ul Kalim: Manquulah min Ahaditsil Jami’ish Shagir, Murattabah ‘ala Huruufi Hijaiyah ka Ashliha, tasriful Kalimah, as Sharful Waadlih, Risaalatus Shiyaam, Miizanul Uquul fi ‘Olmil Manthiq, Ajakan Suci: Pokok-Pokok pikiran tentang NU, dan Eling-Eling Siro Manungso.
Murid-murid beliau banyak sekali, terutama yang kelak memimpin pesantren dan jadi tokoh nasional. Beberapa di antaranya KH R Abdul Qodir Munawwir, KH Zainal Abidin Munawwir, KH Ahmad Warson, KH Dalhar, KH Kholil Bisri, KH Musthofa Bisri, KH Haris Dimyati, KH Abdurrahman Wahid, KH Adib Bisri, KH Said Aqil Siradj, KH Yahya Cholil Staquf, KH Mu’tashim Billah dan masih banyak lagi.
Dari pernikahannya dengan Ny Hasyimah binti Munawwir, Kyai Ali memiliki 8 putera dan puteri yakni Gus Adib, KH. Atabik Ali, KH. Jirjis Ali, Ny. Hanifah, Ny. Durroh Nafisah, Ny Nafi’ah, Kiai Muhammad Rifqi Ali, Ny. Rufaida Ali. []