Mengenal JIB, Organisasi Pemuda Islam yang Turut Pelopori Sumpah Pemuda
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – JIB merupakan singkatan dari Jong Islamieten Bond, berasal dari bahasa Belanda yang berarti perkumpulan pemuda Islam. JIB lahir pada 1 Januari tahun 1925 di Jakarta.
Bermula dari rapat pada tanggal 27-31 Desember 1924 di Yogyakarta, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto dan mendapatkan restu dari Haji Agus Salim dan KH Achmad Dahlan, JIB dideklarasikan oleh Sjamsoeridjal.
Raden Sjamsoeridjal lahir tanggal 11 Oktober 1903 dan berasal dari kalangan Islam taat. Ayahnya merupakan penghulu di Karanganyar, Karesidenan Surakarta. Ia terpilih menjadi ketua Jong Java pada Kongres ke-6 1923.
Dalam pertemuan tahunan Jong Java di Yogyakarta 27-31 Desember 1924 ia mengusulkan agar di dalam Jong Java diadakan kursus agama Islam supaya kaum muda (Jawa) yang beragama Islam tidak menjauh dari paham keagamaan yang dipeluknya.
Seperti ditulis Jamaludin dalam skripsinya berjudul “Jong Islamieten Bond 1925-1942 sebagai Gerakan Pemuda Islam di Indonesia” (2008), bagi Sjamsoeridjal, barang siapa yang hendak mengenal roh bangsa Indonesia harus mempelajari dengan sungguh-sungguh agama Islam.
Usulan Sjamsoeridjal mendapatkan simpati dan dukungan dari beberapa pihak. Dikutip dari buku “Jong Islamieten Bond; Pergerakan Pemuda Islam 1925-1942” (2006) yang ditulis oleh Momon Abdul Rahman dkk., usulan Sjam (panggilan Syamsoeridjal) didukung oleh R Kasman Singodimedjo, Supinah (Kemudian menjadi Nyonya Kasman), Moeso al Mahfoeld (Gus Muso, bukan tokoh PKI) dan Soehodo (Sekpri Sri Paku Alam VIII).
Meski demikian, gagasan Sjam tidak mendapatkan dukungan bulat dari peserta forum. Gagasan yang diajukannya dikhawatirkan oleh sebagian peserta dapat menghilangkan esensi Jong Java sebagai organisasi berbasis etnis yang netral dari identitas agama manapun.
Demi menjaga persatuan dalam perhimpunan Jong Java, Sjam menyatakan mundur dari Jong Java dan mendirikan JIB.
Ia mendapat dukungan dari Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, AM Sangaji, KH Achmad Dahlan, Moh Roem, M Natsir, Prawoto dan Jusuf.
JIB melaksanakan kongres pertamanya di Yogyakarta 25-27 Desember 1925 dan dihadiri oleh 47 organisasi pergerakan di Indonesia.
Tokoh seperti Dwidjosewojo dari Budi Utomo, H Fachrudin, Ki Hadjar Dewantara, Dr Satiman Wiriosandjojo, Gondoatmodjo, Surjopranoto dan HOS Tjokroaminoto turut hadir dalam acara tersebut.
Dalam Kongres Pertama berhasil disepakati susunan pengurus JlB yang terdiri dari :
Ketua : Raden Sjamsoeridjal
Wakil Ketua : Wiwoho Purbohadidjojo
Seketaris : dirangkap oleh tim ketua
Bendahara : P. Hadisuwignjo
Anggota :
- Sjahbuddin Latief
- Raden Kasman Singodimedjo
- Sugeng
- Mohammad Kushan
- Hasjirn
- Pusposukardjo
- Sapari
- Baron
Dalam kongres tersebut, disepakati bahwa tujuan JIB adalah menghidupkan dan menguatkan kembali Islam sebagai basis penguatan umat Islam dan menjaga sikap toleransi terhadap golongan lain.
Perkembangan JIB hingga tahun 1928 tercatat sudah memiliki 20 cabang dengan jumlah anggota 2.000 orang.
Beberapa cabang yang sudah berdiri di antaranya cabang Semarang, Tegal, Pekalongan, Banjarmasin, Makasar, dan Palembang.
Kemunculan JIB melahirkan banyak reaksi dari berbagai pihak.
Tokoh-tokoh Islam terpelajar seperti disebut di atas pada umumnya mendukung dan membela kelahiran JIB.
Keberatan datang dari tokoh-tokoh Jong Java yang masih menyangsikan hakikat dan tujuan JIB seperti yang dituturkan Soemarto dalam petikan pidatonya pada Kongres Pemuda pertama 1926:
“Saya tidak berani mengatakan lebih banyak tentang perkumpulan baru ini, karena perkumpulan ini belum jelas batas-batasnya. Sejauh ini belum jelas apakah yang diprioritaskan nasionalisme atau aliran Islam.”
Keraguan tersebut sebetulnya cukup beralasan, karena fokus perjuangan pemuda saat itu disamping mempertahankan ideologinya masing-masing juga bagaimana agar upaya menuju kemerdekaan dapat dicapai dengan persatuan.
Keraguan tersebut sebetulnya terjawab dengan hadirnya JIB pada Kongres Pemuda Pertama (30 April-2 Mei 1926), pertemuan lanjutan yakni Nationale Conferentie (15 Agustus 1926), dan tentunya Kongres Pemuda Kedua (28 Oktober 1928).
Pada kongresnya yang ketiga di Yogyakarta 23-27 Desember 1927, JIB membahas isu persatuan secara khusus.
Akan tetapi gagasan fusi organisasi pemuda tidak disepakati.
Namun demikian, dalam kongres kali ini dialokasikan sesi dari agama lain untuk menjadi preadviseur. Ini membuktikan bahwa JIB tidak ekslusif.
Keterlibatan JIB pada momen bersejarah Kongres Pemuda Kedua sudah dapat dilihat sejak pembentukan panitia pada tanggal 3 Mei 1928 dan 12 Agustus 1928.
Dalam struktur kepanitiaan yang dibentuk, Johan Mohammad Tjaya dipercaya mewakili JIB sebagai Pembantu I.
Sebagai informasi, panitia Kongres Pemuda Kedua diketuai oleh Soegondo Djojopuspito dari PPPI dan Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond sebagai sektretarisnya.
Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond menjabat sebagai Bendahara.
Pada pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua, JIB mengutus Ma’mun ar Rasjid.
Pada rapat pertama, Ma’mun menyampaikan pidatonya dan menyerukan persatuan dan kecintaan terhadap tanah air.
Wakil JIB lainnya, Emma Puradiredja, menyatakan simpatinya terhadap kongres dan menganjurkan kepada kaum wanita untuk turut aktif dalam pergerakan, tidak hanya bicara, tetapi harus dengan perbuatan.
Kehadiran JIB dalam Kongres Pemuda Kedua mencatatkan dirinya dalam sejarah kepemudaan di tanah air yang bersama organisasi kepemudaan lainnya turut membacakan ikrar Sumpah Pemuda yang fenomenal:
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
- Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Demikian pembahasan mengenai JIB, sebuah organisasi pemuda Islam yang turut pelopori Sumpah Pemuda. []