Mengenal Imam An-Nadhr bin Syuma`il Al-Mazini
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Imam An-Nadhr bin Syuma il Al-Mazini adalah salah satu ulama dan cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang ilmu nahwu, syair, sastra, dan hadits.
Beliau pada tahun 122 H dan meninggal dunia pada tahun 203 H. Biografinya disebutkan Qadhi Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A’yan, begitu pula Abu Ubaidah menyebutkannya dalam kitab Matsalib Al-Bashrah.
Beliau mengatakan; Kondisi ekonomi An-Nadhr bin Syuma`il semakin sulit sehingga dia keluar untuk pergi ke Khurasan.
Penduduk Bashrah yang semuanya adalah ahli hadits, ahli nahwu, ahli arudh, dan ahli sejarah mengiringi kepergiannya. Jumlah mereka sekitar tiga ribu orang.
Sesampainya di daerah Al-Marbad, dia berhenti dan berkata,
“Wahai penduduk Basrah, kalian mengiringi kepergianku dan karena akan berpisah denganku. Demi Allah, seandainya aku mendapatkan kacang sebanyak satu kilo setiap harinya niscaya aku tidak akan berpisah dengan kalian.”
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat menjamin hal tersebut sehingga dia terus berjalan hingga sampai ke Khurasan.
Di sana dia lalu mendapatkan banyak harta dan dia kemudian tinggal di daerah Marwa. Ketika dia tinggal di Marwa ada kisah-kisah dan hikayat- hikayat yang menceritakan tentang dirinya dengan Al- Ma`mun bin Ar-Rasyid.
An-Nadhr mengatakan; Suatu ketika aku menemui Al-Ma`mun yang sedang begadang. Aku menemuinya pada malam itu dengan pakaian yang penuh tambalan.
Dia lalu berkata kepadaku, “Wahai An-Nadhr, apa maksud dari kebersahajaanmu ini sehingga engkau datang menemui amirul mukminin dengan menggunakan pakaian yang sudah usang ini?”
Aku menjawab, “Wahai amirul mukminin, aku ada orangtua yang sudah lemah, sedangkan cuaca Marwa sangat panas sekali sehingga aku ingin merasakan kesejukan dengan pakaian yang usang ini.”
Al-Ma’mun berkata, “Bukan itu, tetapi engkau memang laki- laki yang bersahaja.”
Selanjutnya terjadilah perbincangan di antara kami. Dia lalu menuturkan perihal perempuan.
Dia berkata, “Aku mendapat cerita dari Husyaim, dari Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan karena agamanya dan kecantikannya maka itu adalah as-saddad (menyeimbangkan) kebutuhannya.”
Al-Ma`mun menuturkan lafazh tersebut dengan membaca fathah huruf sin sehingga menjadi as-saddad.
Aku lalu berkata, “Benar apa yang dikatakan oleh Husayim, wahai amirul mukminin. Auf bin Abi Jamilah meriwayatkan kepadaku dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan karena agamanya dan kecantikannya maka itu adalah sidad (memenuhi) kebutuhannya.”
Pada saat itu Al-Ma’mun yang sedang berbaring serta merta duduk dan berkata, “Wahai An-Nadhr, apa yang barusan engkau katakan?”
Aku berkata, “Sebab kata as- saddad merupakan lahn (pelat lidah/pelo). Al-Ma’mun berkata, “Engkau mengatakan aku lahn?”
Aku menjawab, “Sesungguhnya itu adalah lahn dari Husyaim, dia san sangat banyak mengucapkan lahn sehingga amirul mukminin mengikuti lafazh sebagaimana yang dia ucapkan.”
Al-Ma`mun bertanya, “Lalu apa perbedaan makna dari kedua lafazh tersebut?”
Aku menjawab, “As-Saddad dengan membaca fathah huruf sin maknanya adalah seimbang dalam urusan agama dan jalan yang lurus. Sedangkan lafazh as-sidad dengan membaca kasrah huruf sin maknanya adalah bekal dan segala sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan.”
Al- Ma`mun bertanya, “Apakah engkau mengetahui bahwa orang Arab mengatakan hal tersebut?”
Aku menjawab, “Ya, Al-Araji mengatakan dalam syairnya. Mereka menyia-nyiakan diriku. Pemuda manakah yang akan mereka sia-siakan Di hari yang dibenci dengan membawa bekal di perbatasan.”
Al-Ma’mun berkata, “Allah akan memburukkan orang yang tidak memiliki kemampuan dalam bersastra.”
Dia menundukkan kepala sejenak lalu berkata, “Apa yang engkau inginkan wahai An-Nadhr?”
Aku menjawab, “Sebidang tanah kecil di daerah Marwa untuk aku tempati dan aku Tanami.”
Al-Ma`mun bertanya, “Apakah tidak bermanfaat bagimu jika disertai dengan sejumlah uang.”
Aku menjawab, “Sungguh aku berhajat terhadap hal itu.” Al-Ma`mun lalu mengambil kertas dan aku tidak tahu apa yang ditulisnya.
Selanjutnya dia berkata kepada pelayannya, “Sampaikan ini kepada Al-Fadhl bin Sahal.”
Ketika Al-Fadhl membawa kertas tersebut, dia berkata, “Wahai An-Nadhr, amirul mukminin memerintahkan untuk memberimu lima puluh ribu dirham. Apakah sebabnya?”
Aku lalu mengabarkan kepadanya dan aku tidak bicara bohong kepadanya.
Dia lalu memerintahkan supaya aku diberi tambahan tiga puluh ribu dirham. Aku lalu diberi sejumlah delapan puluh ribu dirham disebabkan satu huruf yang mereka dapatkan dariku.”
Demikian kisah ini secara singkat dari kitab Wafayat Al-A’yan. []