Mengenal Imam al-Jassash dan Tafsir Ideologis
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Setelah berakhirnya periode salaf (abad ke-3 H), muncullah berbagai mazhab di kalangan umat Islam. Mereka berusaha meyakinkan umat dalam rangka mendistribuskan paham dan doktrin mereka.
Untuk mensuskseskan misi itu, mereka menafsiri ayat-ayat Alqur’an atau hadis-hadis nabi untuk melegitimasi paham yang mereka anut.
Di antara mazhab yang ikut meramaikan kontestasi tafsir Alqur’an di pada periode adalah mazhab fikih.
Representasi dari mazhab Fikih antara lain adalah al-Jassash dengan tafsir yang yang berjudul Ahkam al-Qur’an.
Nama asli al-Jassash sendiri adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Husain al-Razi. Sebutan al-Jassas adalah nisbat untuk profesinya sebagai tukang kapur.
Al-Jassas lahir di Bagdad, Irak pada 305 H/917 M. Selain hidup dalam lingkungan keluarga religius, al-Jassas juga diuntungkan sejarah, karena ia hidup pada masa berkembangnya ilmu pengetahuan.
Al-Jassash disebut-sebut sebagai guru besar fikih mazhab Hanafi pada masanya.
Karena kompetensinya dalam bidang fikih, di akhir namanya sering disematkan kata al-faqih yang menunjukkan kemapananya dalam bidang itu.
Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Sabit dalam kitabnya Tarikh Madinah al-Salam yang memberi embel-embel al-faqih di akhir namanya, yaitu “Ahmad bin ‘Ali, Abu Bakar al-Razi al-Fakih”.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak orang yang berbondong-bondong ingin menjadi muridnya.
Di antaranya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yahya al-Jurjani, dan Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Za’faran.
Salah satu karya terpenting al-Jassash adalah kitab tafsir yang ia beri nama Ahkam al-Qur’an.
Hal itu didominasi oleh latar belakang keilmuannya yang sangat unggul dalam bidang fikih.
Meski begitu, al-Jassash juga produktif menulis fan-fan ilmu yang lain seperti Syarh Mukhtasar al-Kurkhi, Syarh Mukhtasar al-Thahawi, Syarh al-Jami’ li Muhammad bin al-Hasan, Syarh al-Asma’ al-Husna, Jawwabat ‘ala Masaila Waradat ‘Alaihi, dan lain-lain.
Ideologisasi dalam Tafsir Ahkam al-Qur’an
Sesuai dengan periode lahirnya tafsir karya al-Jassash, yaitu periode pertengahan yang disebut-sebut sebagai masa dimana karya-karya tafsir sangat didominasi oleh keahlian dan paradigma keilmuan yang dikuasai oleh para mufasirnya.
Maka, lahirnya tafsir Ahkam al-Qur’an menjadi bukti yang cukup kuat mengenai dugaan itu.
Dalam tafsir tersebut, al-Jassash tidak membatasi penafsirannya hanya sebatas menggali hukum (istinbat al-hukmi) yang terkandung dalam ayat-ayat Alqur’an, namun ia cenderung melibatkan diri untuk membahas persoalan-persoalan seputar hukum Islam.
Bahkan tidak jarang al-Jassash menghubung-hubungkan kajian fikih yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ayat al-Qur’an.
Sebagai contoh, misalnya ketika al-Jassash menafsirkan surah al-Baqarah ayat 25:
وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنۡهَا مِن ثَمَرَةٖ رِّزۡقٗا قَالُواْ هَٰذَا ٱلَّذِي رُزِقۡنَا مِن قَبۡلُۖ وَأُتُواْ بِهِۦ مُتَشَٰبِهٗاۖ وَلَهُمۡ فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞۖ وَهُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٥
Artinya:
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 25)
Ayat ini oleh mayoritas mufasir ditafsirkan sebagai gambaran tentang kenikmatan surga. Bahwa di surga kelak para penghuninya akan dapat menikmati buah-buahan surga yang serupa sebelumnya.
“Serupa sebelumnya” dimaknai bukan buah-buahan di dunia, tetapi yang dimaksud adalah rasa baru buah-buahan dari buah yang mereka makan sebelumnya di surga.
Namun oleh al-Jassash ayat ini dijadikan hujjah oleh mazhab yang diikutinya (Hanafi) terkait dengan pemerdekaan budak oleh tuannya.
Bahwa barang siapa yang berkata kepada budak-budaknya,
“Siapa pun di antara kalian yang bisa membahagiakanku dengan kelahiran seorang anak, maka dia aku merdekakan.”
Jika mereka merlaksanakan keinginan tuannya itu satu persatu, maka yang merdeka adalah budak pertama.”
Contoh lain ketika al-Jassash menafsirkan surah Yusuf ayat 26:
قَالَ هِيَ رَٰوَدَتۡنِي عَن نَّفۡسِيۚ وَشَهِدَ شَاهِدٞ مِّنۡ أَهۡلِهَآ إِن كَانَ قَمِيصُهُۥ قُدَّ مِن قُبُلٖ فَصَدَقَتۡ وَهُوَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ٢٦
Artinya:
“Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.” (Q.S. Yusuf ayat 26)
Ayat ini dihubung-hubungkan seputar perbedaan ulama’ mengenai luqathah (barang temuan) di mana si penemu mengaku menemukan barang itu dengan menyebutkan ciri-cirinya.
Di samping itu, ayat ini juga dihubungkan seputar perbedaan mereka mengenai laqith (anak temuan), di mana ketika ada dua orang mengaku menemukan laqith itu dan salah satu dari mereka menyebutkan ciri-ciri fisiknya, maka ialah yang berhak mendapatkannya, dan persoalan-persoalan khilafiyyah lainnya yang jauh dari yang dikehendaki ayat al-Qur’an itu sendiri. (Al-Jassash, Ahkam al-Qur’ān, Jilid I, hlm. 35)
Padahal secara zahir ayat ini berbicara tentang persaksian bayi dari keluarga Zulaikha untuk membebaskan Nabi Yusuf dari ketidakbersalahannya.
Bayi itu membuat persaksian bahwa jika terkoyaknya baju Nabi Yusuf dari itu dari bagian belakang merupakan tanda yang jelas bahwa Nabi Yusuf lari dari Zulaikha. Lalu Zulaikha menarik baju Nabi Yusuf dari belakang. []