Mengenal Figur Faqih Syaikh Ibn Athaillah

 Mengenal Figur Faqih Syaikh Ibn Athaillah

Keajaiban Intelektual Imam Ibnu Hajar: Sebuah Eksplorasi Kecerdasan dan Dedikasi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bagi kalangan pembelajar dan pengamal ajaran tasawuf, Kitab Al-Hikam menjadi salah satu diantara sekian kitab tasawuf yang mesti dibaca khatam.

Pengarangnya, Syaikh Ibn Athaillah merupakan mursyid Tarekat as-Syadziliyyah yang dinilai memiliki kecakapan level rohani yang mumpuni. Sampai-sampai kitabnya tersebut bisa dimaknai sangat berbeda sesuai tangga kedekatan si pembaca kepada-Nya.

Hanya saja banyak yang luput bahwa riwayatnya dulu, sebelum Syaikh Ibn Athaillah memutuskan untuk mendalami ajaran tasawuf, ia pernah menjadi figur yang turut menentang ajaran tasawuf.

Hal ini ditengarahi karena ada pengaruh dari kakeknya, Abdul Karim Ibn Athaillah yang saat itu terkenal sebagai ulama besar di bidang fikih.

Memang di masa silam, konfrontasi antara fikih dan tasawuf terjadi cukup intens di dunia Islam. Kendati keduanya bersumber dan memiliki orientasi yang sama, namun dalam proses berdialektika antara kedua keilmuan ini sering berseberangan.

Ahli fikih menilai ajaran tasawuf kerap ‘meremehkan’ peribadatan yang normatif, sementara ahli tasawuf menilai ajaran fikih melulu ‘menjebak’ manusia pada demarkasi tegas benar-salah, baik-buruk dan semacamnya.

Di masa itu, Ibn Athaillah memang dipersiapkan oleh keluarganya sebagai seorang faqih, khususnya faqih bermazhab Maliki. Mazhab yang dominan di tanah kelahirannya, Iskandaria.

Pendidikannya diperhatikan oleh keluarganya. Beberapa ulama mashur di masanya tercatat pernah menjadi gurunya. Bahkan karena kecakapan dan kecerdasannya di bidang keilmuan fikih, ia kerap peroleh pujian karena dinilai telah melampui kakeknya sendiri.

Meskipun pujian tersebut tidak membuatnya jumawa, namun secara tidak langsung juga turut mempengaruhi sikapnya pada penolakan ajaran tasawuf.

Dalam kitabnya Lathaiful Minan, Ibn Athaillah menceritakan bahwa kakeknya adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan tasawuf.

Abdul Karim Ibn Athaillah menyerang secara terang-terangan ajaran tasawuf, yang saat itu dialamatkan kepada Syaikh Abul Abbas al-Mursi. Ibn Athaillah pun turut mengamininya.

“Dulu aku termasuk orang yang mengingkari Abul Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau.

Pendapat saya waktu itu, yang benar hanyalah ulama ahli fikih, tapi ahli tasawuf mengklaim adanya hal-hal yang besar. Padahal ahli fikih dan syariat menentangnya”, ucap Syaikh Ibn Athaillah di kitabnya.

Hanya saja pengingkarannya pada tasawuf, tidak lantas menutup rasa ingin tahu pada ajaran tersebut. Ibn Athaillah merefleksikan sikapnya melalui banyak kalimat tanya,

“Mengapa aku harus membenci tasawuf? Apakah perbuatanku benar bila aku membenci Abul Abbas al-Mursi?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini membawanya pada keberanian melibatkan diri dengan melihat langsung ajaran dan kepribadian Abul Abbas al-Mursi.

Ibn Athaillah pun mendatangi majelis yang dipimpin Abul Abbas al-Mursi. Saat itu ceramah dan nasihat yang disampaikan seputar kewajiban, keutamaan, dan semacamnya.

Ceramah yang relevan dengan ilmu fikih yang dipelajarinya. Titik bedanya, ceramah Abul Abbas al-Mursi menurut penilaian Ibn Athaillah mengambil langsung dari-Nya, tidak melalui banyak pertimbangan akal. Pertanyaan yang menggelisahkan dirinya, akhirnya terjawab.

Sejak peristiwa itu, Ibn Athaillah memutuskan untuk menyelami ajaran tasawuf secara total. Tetapi keputusan ini mendapatkan sindiran dari gurunya, Abul Abbas al-Mursi yang bercerita mengenai temannya, Ibnu Naasyi yang mukim di Kota Qous. Sindiran ini menyadarkan Ibn Athaillah.

Sampai-sampai ada dugaan bahwa, di salah satu pasal Kitab Al-Hikam ada yang ditulis berdasarkan sindiran ini: iradatuka at-tajrida ma’a iqomatillah iyyaka fil ashabi minah syahwat al-khafiyah.

Keinginan manusia untuk melepaskan diri dari kesibukan duniawi, sementara Dia menempatkannya untuk itu adalah bagian dari bentuk syahwat yang samar.

Dari kisah perjalanan Syaikh Ibn Athaillah ini kita bisa mengambil pelajaran sederhana. Pertama, hanya Dia yang Maha Tahu ke mana arah baik laku manusia.

Kedua, pondasi awal keilmuan tidak lantas bisa ditanggalkan setelah peroleh ilmu baru yang lebih luas. Ketiga, hidayah untuk berubah, barangkali bisa datang dari ceramah.

Wallahul’alam

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *