Mengenal Fatima Seedat, Ulama Perempuan dari Afrika Selatan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Mendengar nama Fatima Seedat tentu tidak asing bagi kalangan cendikiawan muslim dan feminisme.
Fatima Seedat merupakan seorang aktivis yang bergerak dalam membela hak-hak perempuan, konsultan dan akademisi sebagai dosen senior dari Afrika Selatan.
Namanya terkenal karena karya dan pemikirannya yang begitu khas dalam bidang Gender, Hukum Islam, Islam dan feminisme.
Gerakannya dalam membela hak-hak perempuan tentunya sangat relevan dengan salah satu tugas yang diampunya sebagai salah satu dari tiga Petugas Perkawinan Muslimah di Afrika Selatan.
Karya-karyanya yang banyak mengangkat tentang karakteristik muslimah afrika Selatan menjadi salah satu perjalan perjuangannya dalam menyuarakan keadilan dan kemanusiaan terhadap perempuan.
Dalam dunia akademisi, Fatima Seedat merupakan dosen senior Studi Gender di University of Cape Town.
Selain itu ia aktif dalam penulisan karya ilmiah, di mana penelitiannya berfokus pada persimpangan sejarah dan tradisi, perbedaan gender dalam norma gender kontemporer dan prinsip hukum pemikiran Islam.
Selain itu, ia juga menulis tentang hubungan antara Islam dan feminisme melalui pembacaan dekolonial atas kedua nilai intelektual tersebut.
Dia memiliki spesialis dalam studi gender dan hubungan antara Islam, seksualitas dan hukum.
Khususnya pada teori feminis Afrika dan lainnya, dan penelitian feminis serta metode penulisan.
Merujuk dari Wise Muslim Woman, Fatima Seedat memiliki banyak capaian prestasi dalam memberikan keadilan bagi perempuan.
Pertama, Ms. Seedat merupakan salah satu dari pendiri Shura Yabafazi, sebuah lembaga yang berfokus mengamati dan menangani hak-hak perempuan dalam hukum keluarga muslim.
Selain berfokus pada yayasan yang didirikan ia juga bekerja sebagai Petugas Hubungan Parlemen Komisi Afrika Selatan untuk Kesetaraan Gender.
Kedua, kepeduliannya dalam mengamati dan mendampingi hak-hak perempuan, mengantarkannya menjadi bagian dari kelompok penelitian dan penulis dari Know Our Rights, panduan tentang hukum dan praktik keluarga muslim di seluruh dunia untuk wanita yang hidup di bawah hukum Muslim (WLUML).
Belum lama ini, ia pun turut andil dan bekerjasama dengan Equitas (sebelumnya Yayasan Hak Asasi Manusia Kanada) untuk mengembangkan sumber daya pelatihan bagi aktivis hak asasi manusia yang bekerja untuk hak-hak perempuan di komunitas muslim.
Ms. Seedat percaya bahwa ada banyak peluang untuk tumbuh dan berkembang dalam studi dan praktek hak-hak perempuan dan hukum keluarga muslim, terutama dalam kerangka teori yang kita gunakan untuk memahami perjuangan kita.
Kebahagiaan seorang aktivis hak-hak perempuan sekaligus akademisi adalah menjadi bagian dari pertumbuhan mewujudkan keadilan.
Salah satu penelitiannya yang berjudul “Positive Development in Muslim Family Laws: Study of South Africa” menjadi salah satu artikel yang dibahas dalam Kongres Ulama Perempuan (KUPI) 2, pada sesi Plenary I dengan mengangkat tema The Futures Of Muslims: Positive Development Of Gender Equality yang di gelar di Surabaya dan Jepara.
Pada sesi tersebut Fatima Seedat menyampaikan tantangan dan tugas berat perjuangan perempuan muslim di seluruh dunia pasti dirasakan.
Perjuangan dalam menyuarakan keadilan memang tidaklah mudah, tantangan dan hambatan selalu menjadi bayangan yang tak pernah lari.
Perjuangan itu antara lain dalam mengakses otoritas keagamaan dan akses terhadap hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Baik itu kesetaraan dalam pernikahan, perceraian, hukum waris, perencanaan kehamilan, atau akses ke pengadilan.
Perempuan berharap keadilan dalam etika dan hukum Islam dan etika, dan yang sering mereka dapatkan adalah rasa ketidakadilan yang mendalam.
Sehingganya kerjasama dan dukungan serta kekuatan dari pihak lain menjadi power untuk mewujudkan keadilan gender.
Kehadirannya di KUPI 2 membuktikan bahwasanya peranan perempuan memiliki esensi penting yang harus didukung.
Bahkan melalui KUPI 2 Fatima Seedat menyebutkan perjuangan untuk mewujudkan keadilan terhadap perempuan menjadi tanggung jawab seluruh dunia.
Beratnya perjuanyan perempuan adalah sebagai fakta adanya jarak antara harapan pada keadilan dan pengalaman menerima ketidakadilan.
Kondisi ini tentu lahir dari sifat patriarkis dari otoritas keagamaan.
Karena itulah, Fatima menilai KUPI sangat strategis karena kemampuannya untuk merebut otoritas keagamaan dengan mengklaim gelar ulama perempuan, yang selama ini gelar ulama hanya tertuju kepada laki-laki.
Ketika arus utama masyarakat selama ini menolak untuk memberikan gelar ulama terhadap perempuan, merupakan sebuah prestasi dan keberanian yang luar biasa.
KUPI bukan hanya merebut otoritas keagamaan untuk memperoleh gelar ulama perempuan saja, lebih dari itu melalui KUPI peran untuk peradaban yang berkeadilan akan menjadi lebih kuat dan luas.
Dengan demikian, gerakan-gerakan Fatima Seedat dalam membela dan memperjuangkan kemanusiaan sangatlah besar.
Bahkan hal ini membuktikan bagaimana seorang akademisi mampu mengaktualisasikan segala pemahamannya untuk memberikan ruang keadilan bagi perempuan.
Tentu tidak hanya Fatima Seedat yang aktif dalam menyuarakan kemanusiaan dan keadilan, masih banyak ulama-ulama perempuan lain yang berjuang seperti Fatima sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Tokoh perempuan seperti Fatima Seedat dan ulama-ulama perempuan lain yang dihadirkan di KUPI, tentu bersama-sama bersinergi untuk membangun peradaban yang berkeadilan, memberikan tauladan, rasa aman dan kedamaian untuk perempuan.
Hal ini membuktikan bahwa misi menjadi kholifah fi al ardh bukan hanya menjadi tugas laki-laki saja, melainkan menjadi tugas bersama setiap manusia.
Serta membuktikan bahwasa perempuan mampu bergerak dan membangun peradaban sebagaimana manusia seutuhnya. []