Mengembalikan Marwah Pesantren

UAH: Manajemen Pendidikan Islam Satu-Satunya Solusi Terbaik (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa waktu lalu, pesantren banyak memperoleh kritik tajam dari berbagai pihak. Sekian kasus yang mestinya tidak terjadi di lingkungan pesantren, malah dilakukan dengan dalih kepatuhan pada gus atau kyai.
Pun ayat-ayat, hadis dan kalam ulama dijadikan dalih untuk memuluskan laku tidak baik tersebut.
Kasus-kasus yang terkuak ini barangkali layaknya gunung es, yang kelihatan di permukaan tidak seberapa dibandingkan dengan yang masih tertutupi.
Kasus-kasus tersebut secara tidak langsung juga mencoreng nama pesantren kebanyakan.
Tidak hanya pesantren baru dengan bangunan kokoh bergedung megah, tetapi juga pesantren lama yang kiprahnya tidak bisa lagi dinilai dengan materi, juga berada pada kondisi yang serupa, peroleh kritik tajam.
Padahal bila ditilik dalam riwayat keberislaman di negeri ini, pesantren memiliki andil yang cukup signifikan dalam pemajuan bangsa maupun kualitas manusianya.
Kerja-kerja kepesantrenan tidak hanya pada wilayah ukhrawi saja, tetapi juga telah merangsek pada hal-hal keduniawian; politik, budaya dan tentu saja ekonomi.
Dari kerja-kerja inilah, marwah dunia pesantren cukup patut untuk diperhitungkan pada tataran nasional-internasional.
Kilas Balik: Raden Rahmat
Di masa silam tercatat nama Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang dinilai sebagai figur pengembang pondok pesantren dalam arti sesungguhnya.
Raden Rahmat mendirikan pesantren di daerah Kembang Kuning dengan tiga orang santri; Wiryo Suroyo, Abu Hurayrah, dan Kiai Bangkuning.
Ketiga muridnya ini usai rampung nyantri, lantas berdakwah menjelajah ke berbagai daerah baru.
Salah satu konsekuensinya kemudian, ketiga santri Sunan Ampel akhirnya dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan untuk menyamarkan identitas, maupun sebagai strategi membaur dengan masyarakat setempat.
Hanya saja oleh Sunan Ampel, pesantren ini dipindahkan ke Denta, Surabaya. Sampai kini pesantren tersebut akrab dikenal dengan sebutan Pesantren Ampel Denta.
Kita bisa membaca riwayat marwah pesantren ini pada artikelnya Hasani Ahmad Said, Meneguhkan Kembali Tradisi Pesantren di Nusantara (2011).
Hasani juga mencatat beberapa faktor pendukung perkembangan Pesantren Ampel Denta, yang saya rasa dapat dijadikan tolok ukur untuk mengelola dan mengembalikan marwah pesantren.
Selain letaknya yang cukup strategis, pesantren ini juga menerima siapa saja tanpa memandang keturunan dan kedudukannya.
Di titik ini kita bisa menduga bahwa Pesantren Ampel Denta memiliki orientasi dakwah yang tidak memusingkan kalkulasi biaya dari santri yang ngudi ilmu di dalamnya.
Di bagian lain, Hasani mencatat tantangan pesantren kini cukup beragam. Bukan hanya polemik mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Tetapi juga bagaimana cara menyikapi gempuran modernitas, globalisasi, dan paham lain yang pelan-pelan merangsek masuk menjalari dunia pesantren dengan segala variabelnya.
Kutipan di buku:
“Untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan ideal, tentu saja ia harus menghadapi dan menuntaskan beragam persoalan yang saat ini sedang menantang atau bahkan mengancamnya.”
Kita bisa menduga pesantren menemui persoalan rumit yang perlu segera dibenahi. Tidak hanya dari segi bangunannya yang dipoles, tetapi juga orientasi pesantren mesti bisa menjawab tantang pergolakan zaman yang tengah berkembang dan yang akan datang.
Maka dari itu, pertama-tama pesantren perlu terus memantaskan diri sebagai lembaga yang berada paling depan dalam mengkampanyekan sekian laku baik berdasarkan ajaran Islam, bukan malah sebaliknya.
Kemudian selanjutnya, pesantren pelan-pelan juga perlu merambah ke keilmuan umum dengan nafas yang tidak menegasikan ajaran kitab kuning, dawuh kyai, maupun kalam ulama.
Terakhir yang tidak bisa luput dari keberadaan pesantren adalah sebagai ruang pengkaderan ulama-ulama lokal. Ulama yang mendakwahkan laku berislam secara santun dan ramah.
Wallahula’lam. []