Mengecap Manisnya Iman dengan Mencintai Allah dan Rasul
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka” (HR. Bukhari. 15)
Dalam Fathul Baari, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa sesungguhnya manis adalah buah dari iman. Karena itu disebutkan bahwa mencintai Rasulullah adalah sebagian dari pada iman, maka dijelaskan bahwa cinta tersebut akan membuahkan sesuatu yang manis. dalam ilmu balaghah kalimat ini disebut isti’arah takhyiliyyah, artinya menyamakan rasa cinta seorang mukmin terhadap keimanan dengan sesuatu yang manis.
Hadits di atas mengisyaratkan tentang orang yang sakit dan orang yang sehat. Orang dalam kondisi sehat akan dapat merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang menderita sakit kuning misalnya, rasa apapun itu sekalipun rasa manis jika mengecap lidahnya akan berubah menjadi pahit.
Penggunaan istilah “manisnya iman” tersebut, dikarenakan Allah mengumpamakan iman dengan sebatang pohon, sebagaimana dalam firman-Nya, مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ “Perumpamaan kalimah yang baik seperti pohon yang baik.'” Kalimat dalam firman tersebut adalah kalimat ikhlash, diisyaratkan bahwa pohon tersebut adalah dasar keimanan, rantingnya berupa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, daun-daun pohon itu merupakan kebaikan yang dilakukan seorang muslim, buahnya adalah perbuatan taat, dan manisnya buah adalah buah yang sudah siap untuk dipetik, karena buah yang siap untuk dipetik menunjukkan manisnya buah tersebut.
Imam Baidhawi mengatakan, bahwa maksud cinta dalam hadis diatas adalah cinta yang menggunakan akal. Artinya kecintaan tersebut lebih mengutamakan akal sehat, walaupun harus bertentangan dengan hawa nafsu.Seperti orang yang menderita sakit, pada dasarnya enggan untuk minum obat, namun karena akalnya mengatakan bahwa obat adalah alat yang dapat menyembuhkan penyakit, akhirnya akal memilih untuk minum obat. Pilihan akal inilah yang membuat “orang sakit tersebut” mau tidak mau harus meminum obat. Apabila manusia menganggap bahwa larangan dan perintah Allah pasti akan mendatangkan manfaat, dan akal pun cenderung membenarkan hal tersebut, maka orang tersebut akan membiasakan diri untuk melaksanakan semua perintah tersebut. Dengan demikian dalam masalah ini secara otomatis hawa nafsu seseorang akan mengikuti kemauan akal, artinya kemauan akal adalah kesadaran akan arti sesuatu yang sempurna dan baik.
Rasul menjadikan tiga perkara dalam hadits tersebut sebagai tanda kesempurnaan iman seseorang, karena jika seseorang telah meyakini bahwa sang pemberi nikmat hanya Allah semata, dan Rasululah telah menjelaskan apa yang diinginkan oleh Allah, maka menjadi keharusan bagi manusia untuk mengorientasikan semua yang dilakukannya hanya untuk Allah semata, sehingga ia tidak menyukai dan membenci kecuali apa yang disukai dan dibenci oleh Allah, dan tidak menyukai seseorang kecuali hanya karena Allah dan Rasui-Nya. Ia yakin bahwa semua yang dijanjikan oleh Allah akan menjadi kenyataan, dengan demikian iman kepada Allah dan Rasulnya adalah surga dan kembali kepada kekufuran adalah neraka.
Selain itu, makna hadis ini juga terkandung anjuran untuk selalu melaksanakan keutamaan dan meninggalkan kehinaan. Keutamaan itu menyangkut segala sesuatu yang diperintahkan Allah dan yang dikehendaki oleh-Nya, sedangkan kehinaan adalah segala hal yang dilarang oleh Allah, dan dilaknat-Nya.
Cinta manusia dalam hubungan vertikal dengan Tuhannya dalam suatu pendapat di bagi menjadi dua cakupan. Yaitu cinta sebagai kefardhuan, dan sebagai kesunahhan.
Cinta dalam kaitanya dengan Fardhu diartikan sebagai kecintaan yang mendorong manusia untuk melaksanakan segala macam perintah-Nya, meninggalkan segala macam maksiat dan ridha kepada ketetapan-Nya. Barangsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan, melaksanakan yang diharamkan dan meninggalkan yang wajib, maka dia telah lalai dan lebih mengedepankan hawa nafsunya dari pada kecintaan kepada Allah. Orang yang lalai terkadang lebih menyukai dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang mubah. Prilaku ini akan melahirkan ketidakpedulian, sehingga orang tersebut akan dengan mudah terperosok ke dalam maksiat yang menimbulkan penyesalan.
Sedangkan cinta dalam cakupan kesunahan adalah membiasakan diri untuk melaksanakan shalat sunnah dan berusaha meninggalkan hal-hal yang syubhat. Prilaku orang yang demikian ini masih sangat jarang kita temukan.Disamping itu termasuk cinta kepada Rasulullah, adalah tidak melaksanakan perintah atau tidak menjauhi larangan kecuali ada cahaya penerang dari Beliau, dengan demikian orang tersebut akan selalu berjalan di atas jalan yang sudah digariskan. Orang yang mencintai Rasul pasti akan meridhai syariat yang dibawanya dan berperangai seperti akhlaknya, seperti dermawan, mulia, sabar dan rendah hati. Oleh sebab itu orang yang berupaya untuk melakukan perbuatan seperti di atas, niscaya akan menemukan manisnya iman.
Syaikh Muhyiddin mengatakan, “Hadits ini mengandung makna yang mulia, karena hadits ini merupakan dasar agama. Adapun makna “manisnya iman” adalah kelezatan dalam melaksanakan ketaatan dan kemampuan menghadapi kesulitan dalam agama, serta mengutamakan agama dari pada hal-hal yang berbau keduniaan. Cinta kepada Allah dapat dicapai dengan ketaatan dan meninggalkan segala yang melanggar aturan-Nya. Wallahu A’lam.