Mengatasi Penyakit Sosial

 Mengatasi Penyakit Sosial

Penyaki Sosial Terkadang Sangat Meresahkan. Lantas Bagaimana Mengatasi Penyakit Sosial. Berikut Ini Adalah Penjelasannya.


اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

Hadirin Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 disebutkan bahwa:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ

Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dari scorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya manusia saling mengenal. Karena sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di Sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (bukan yang ringgi status sosialnya)

Firman Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan untuk menjaga hubungan sosial dengan baik. Manusia menurut Aristoteles adalah Zoon Politicon (makhluk sosial). Sedangkan hubungan sosial dalam Islam ada istilah yang disebut dengan hablumminannas (hubungan antar manusia), sehingga eksistensinya di muka bumi ini tidak lain adalah untuk saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak mungkin manusia memenuhi kebutuhan individunya sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Ada keterikatan emosional, sosial, ekonomi, ataupun hubungan sosial lainnya diantara manusia. Karena itu sebagai makhluk sosial hendaknya kita menjaga keharmonisan sosial dan senantiasa menciptakan

lingkungan sosial yang beretika dan berakhlakul Namun lingkungan sosial yang harmonis dan berakhlakul karimah dewasa ini tidak mudah untuk diwujudkan. Banyak masalah atau penyakit-penyakit sosial yang hinggap di masyarakat, yang bisa menimbulkan disharmonisasi ataupun disintegrasi sosial. Untuk itulah pada kesempatakan kali ini kita akan sedikit membahas tentang beberapa penyakit sosial dan cara mengatasmya.

1. Hilangnya kepedulian sosial

Fenomena yang masih menjadi problem sosial sampai Saat ini adalah hilangnya kepedulian sosial. Masalah-masalah sosial menunggu di pinggir jalan, kolom jembatan, perumahan kurnuh dan daerah-daerah miskin yang terisolir dari pantauan kaca mata kepedulian pemerintah setempat. Menurut data BPS tahun 2014, persentase kemiskinan Indonesia mencapai 11 %, ini dihitung dari standar pemerintah berdasarkan pendapatan perkapita (per bulannya), yaitu Rp. 312.328, setara dengan USD $25, dan ini adalah standar hidup yang rendah. Jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia di mana standar pendapatan adalah USD $1.25 per hari, maka penduduk yang pendapatannya kurang dari USD $2 per hari mencapai angka 50,6 % dari jumlah penduduk pada tahun 2009. Itu artinya sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan.

Kini, jarak komunitas orang-orang kaya dan miskin semakin renggang. Yang tiap hari menghirup udara segar dari air conditioner lupa masyarakat miskin yang mandi keringat banting tulang demi sesuap nasi. yang menumpangi kendaraan mewah tidak tersentuh dengan pengamen. orang-orang cacat dan yang tidur beralaskan aspal dan batu-batu kerikil trotoar. Yang hidup di apartemen rnewah, villa dan istana, kurang tersentuh dan terpanggil untuk melihat masalah masyarakat miskin sekitar dengan dekat, tidak terpanggil memberi jalan keluar meski itu hanya untuk sementara waktu.

Sesungguhnya masyarakat Islam Iidak seperti itu. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang menginginkan kebaikan terhadap sesama, mengikutsertakan orang lain merasakan nikmat, dan menghindarkannya dari hal-hal yang ditakutkan. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang tiap individunya peduli terhadap lingkungan sosialnya. Nabi Muhammad SAW telah bersabda tentang masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sosialnya:

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranva segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan” (HR Bukhåri-Muslim).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam mengajarkan agar umat Islam bisa berbagi dan peduli dengan sesamanya. Umat Islam seharusnya bisa membuang jauh egoisme (ananiyyah) yang seringkali justru menjerumuskan umat Islam sendiri. Dengan mengubur egoisme, maka kepedulian dan kesejahteraan bisa diwujudkan bersama. Persaudaraan (ukhuwwah) juga semakin erat, sehingga komitmen persatuan dan kesatuan semakin teguh.

Nabi Muhammad SAW selalu mengajarkan bahwa yang terbaik dari manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi sesama (khoiru al-nas anfa’uhum li al-nas). Totalitas menjadi umat Nabi Muhammad SAW bisa mencapai derajat “sukses” kalau bisa bermanfaat dan mensukseskan sesamanya. Selalu mendahulukan kepentingan sosial dari pada terjebak dalam kepribadian yang egois. Jika ingin menciptakan lingkungan sosial yang sejahtera muslim turus berkompetisi menjalankan kepedulian sosial. Senantiasa menginfakkan harta dan tenaganya untuk kepentingan bersama. Dalam Al-Qur’an Allah telah menjelaskan bahwa perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah akan dilipatgandakan 700 kali. Dan Allah juga akan melipatgandakan kembali hambanya yang dikehendaki.

2. Hilangnya kesetiakawanan atau Persaudaraan

Berbicara kesetiakawanan atau persaudaraan terdapat beberapa konsep persaudaraan yang diatur oleh Islam.

Pertama persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah). Di dalam sejarah Islam tentang persaudaraan sesama muslim yang paling masyhur ialah ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Sehingga, setiap orang Anshar memiliki saudara dari kalangan Muhajirin. Bahkan, ada orang Anshar yang mengajak saudaranya dari kalangan Muhajirin ke rumahnya, kemudian ia menawarkan kepadanya untuk berbagi harta bendanya yang ada di rumahnya. Dan ia pun siap berbagi Suka dengannya. Allah SWT

berfirman;

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang bcrhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang ,Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr: 9)

Ayat tersebut menunjukkan betapa pentingnya menciptakan kondisi kesetiakawanan dalam bentuk persaudaraan sesama muslim. Karena setiap mukmin adalah saudara. Sebagaimana firman-Nya: اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ

Kedua ukhuwah warhoniyah. Dalam konsep ukhuwah wuthaniyah, seseorang merasa Saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia. Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 61 Allah SWT berfirman:

وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh”.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa selain pemeluk agama Allah pun dianggap sebagai saudara. Karena itu berbuat baiklah terhadap sesama saudara sebangsa.

Ketiga ukhuwuh basyariyah. Seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Allah menyebut persaudaraan sesama manusia dengan . begitu juga pada surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beherapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu Saling mengenal (bukan supaya saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di dalam pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha tahu, Maha Mengenal“.

Keempat ukhuwah makhluqiyah, Al-Quran bukan hanya menyebut persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyyah) tetapi bahkan menyebut binatang dan burung sebagai umat seperti manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi persaudaraan sesama makhluk. Dalam surat Al-An’am ayat 38 Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung- burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umal-umat (juga) seperti kamu

Hadirin Sidang Jumat yang dirahmati Allah,

Saat ini banyak sekali fenomena yang menunjukkan bahwa dewasa ini kesetiakawanan semakin hilang di lingkungan sosial. Ada kawan dekat dan teman akrab yang bersahabat selama bertahun-tahun dalam suasana yang harmonis. Tiba-tiba terjadi sedikit kesalahpahaman dan mendadak tali persahabatannya putus begitu saja, bahkan berubah menjadi permusuhan, dendam, dan buruk sangka. Ada tetangga dekat yang dinding rumahnya berhimpitan dengan dinding rumah kita. kita menyukainya dan dia pun menyukai kita. Kita suka berkunjung ke rumahnya dan dia pun suka berkunjung kerumah kita. Tiba-tiba anak-anak seperti biasa bertengkar, lalu para ibu ikut campur, teriakan membahana, dan para ayah yang berakal sehat pun terlibat. Akibatnya, terjadi perang dahsyat di antara mereka. Kata-kata kotor meluncur, tangan diacung-acungkan, dan pihak berwenang pun ikut campur. Hasilnya, terputusnya hubungan secara permanen, permusuhan abadi dan caci maki di depan umum. Bahkan, tidak jarang mendorong seseorang untuk pindah rumah dan balas dendam. Untuk itu marilah kita bangun kesetiakawanan dengan meneladani kisah-kisah kesetiakawanan umat Islam terdahulu.

3. Hilang atau menipisnya kerjasama

Hilangnya atau menipisnya kerjasama di lingkungan sosial merupakan salah satu penyakit sosial dewasa ini. Perkembangan masyarakat kekinian di Indonesia ialah makin menipis, atau bahkan mulai hilangnya semangat kegotongroyongan. Padahal, gotong royong, merupakan salah satu Ciri spesifik yang membedakan masyarakat Indonesia dengan masyarakat lain di berbagai belahan dunia lainnya.

Terdapat kecenderungan-kecenderungan yang tidak dapat ditolak, bahwa individualisme telah menjadi alternatif dari sistem nilai yang gejalanya terus menguat pada masyarakat. Kerjasama atau gotong royong yang menjadi sistem nilai dasar telah tergantikan nilai baru yang merupakan dampak dari arus modernsisasi. Tak ada lagi perasaan kebersamaan sebagai warga, baik di perkotaan maupun pedesaan. Contoh sederhana ialah soal rembug desa yang biasa mengawali adanya hajatan warga, misalnya membangun rumah, selokan atau jalan desa, sekarang telah tergantikan. Sebab jalan desa, pembuatan saluran irigasi telah menjadi paket-paket proyek anggaran yang dikerjakan oleh pemborong. Juga gotong royong membangun rumah. Sudah jarang ditemui ada warga tanpa pamrih bekerjasama membangun rumah salah satu warganya. Sekarang, untuk bekerja, setidaknya si pemilik rumah harus menyediakan dana untuk memberi upah. Nilai-nilai kegotongroyongan telah terkomersialisasikan dari kerja dengan penuh kerelaan menjadi kerja dengan motivasi memperoleh upah (uang). Peribahasa Jawa yang berbunyi “Sepi ing Pamrih, Rame Ing Gawe“, kini telah berubah menjadi “Sepi Ing Gawe, Rame Ing Pamrih“. Artinya, masyarakat baru mau bekerja bila ada pamrih (berupa upah).

Untuk itulah Saat ini kita perlu merekonstruksi ulang konsep ta’awun dalam suatu lingkungan sosial. Budaya gotong royong kita harus kita bangun kembali agar lestari. Marilah kita senantiasa bekerjasama dalam hal kebaikan, jangan malah dalam hal kejelekan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2;

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”

4. Hilangnya kehormatan sosial Kehomatan sosial

Yang kita bahas kali ini adalah terkait kehormatan pemegang status sosial tinggi dari masing-masing aspek kehidupan. Kenapa tidak dari status sosial menengah-ke bawah?. Karena figur yang status sosial tinggi dalam suatu masyarakat adalah sosok yang paling disorot. bahkan diteladani, Mereka pemegang status sosial tinggi adalah: 1) para kyai. dosen, guru, mahasiswa (dari aspek pendidikan); 2) para tuan tanah. konglomerat. dsb. (dari aspek kekayaan); 3) para bangsawan, keturunan kerajaan. keturunan tokoh (dari aspek keturunan); 4) para pejabat eksekutif. legislatif. maupun yudikatif. dari tingkat nasional sampai daerah (dari aspek jabatan).

Dewasa ini para pemegang status sosial tinggi dalam suatu masyarakat tidak lagi peduli akan kehomatan (Muru’ah) yang ia sandang. Banyak mahasiswa dan pejabat berbuat yang melawan norma, mengkonsumsi narkoba dan Suka bikin huru-hara; banyak konglomerat yang bertindak laknat menggusur rakyat; banyak bangsawan yang bertindak amoral atas nama kewenangan; banyak juga pejabat yang suka menilap uang rakyat. politik dijadikan Sarana menciptakan polemik. Yang paling miris adalah ketika pejabat Suka mengumpat, ia berkhianat atas amanat yang diberikan rakyat. Hal ini tentu sangat ironi dan bertentangan dengan norma sosial maupun agama. Ternyata kalangan pemilik kehormatan sosial tinggi memiliki akhlak yang buruk. sehingga menjadi orang yang hina secara moral karena sudah hilang kehomatan sosial yang ia punya. Rasulullah SAW’ sendiri sangat benci terhadap manusia yang berakhlak buruk. Nabi Muhammad SAW bersabda:

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن من أحبكم إليّ وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا وإن أبغضكم إليّ  وأبعدكم منّي مجلسا يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون

“Dari Jabir bin Abdullah ra, berkata; Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling saya cintai dan paling dekat dengan tempat saya kelak di hari kiamat adalah mereka yang memiliki akhlak mulia. Sementara orang yang paling saya benci dan tempatnya paling jauh dari saya kelak di hari kiamat adalah mereka yang keras dan rakus, suka menghina dan sombong.” (HR. Tirmizi)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa akhlak yang mulia adalah sumber segala kebaikan baik di dunia maupun di sedang akhlak tercela adalah sumber segala keburukan baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia baik buruknya akhlak menjadi penentu kehormatan sosial. Sedangkan di akhirat Rasulullah SAW menjadikan baik dan buruknya akhlak seseorang sebagai ukuran kedekatannya dengan beliau di hari Kiamat.

5. Hilangnya kepercayaan sosial

Dewasa ini kepercayaan sosial di masyarakat semakin menghilang. Banyak oknum yang mempropagandakan berbagai program menguntungkan namun pada intinya hanyalah sebuah penipuan. Hal itu merugikan pihak lain yang menawarkan program serupa namun tidak berbasis penipuan. Dari segi ekonomi misalnya muncul investasi-investasi bodong, money game, kejahatan perbankan, skema ponzi, dan sebagainya. Dari segi kepemimpinan, kepercayaan hilang akibat ulah oknum-oknum pejabat tingkat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang berperilaku menyimpang dari norma-norma agama dan sosial. Mereka telah menyelewengkan amanah kepemimpinannya. Mereka lupa bahwa kepemimpinan akan dipenanggungjawabkan. Mereka lupa bahwa pejabat adalah pelayan rakyat. Inilah yang kemudian membuat masyarakat trauma dan hilang kepercayaan terhadap para pemimpin dan pelaku ekonomi.

Untuk meminimalisir hilangnya kepercayaan sosial serta merekonstruksinya ulang, Stephen R. Covey, dalam buku terbarunya (Smart Trust: Creating Prosperity, Energy, and Joy in a Low-Trust World) memaparkan tiga ide besar mengenai kepercayaan (trust). Pertama, trust merupakan pendorong ekonomi, bukan gambaran sosial saja. Hal itu menunjukkan bahwa kepercayaan sosial menjadi penentu pertumbuhan ekonomi. Gimana mau maju perekonomiannya kalau masyarakat sudah tidak percaya terhadap pelaku-pelaku ekonomi. Artinya disamping pelaku ekonomi membangun kredibilitasnya, pemerintah juga harus membasmi mafia-mafia ekonomi. Kedua, trust merupakan kompetensi utama dari kepemimpinan yang dibutuhkan Saat ini. Gimana mau maju negara ini kalau pemimpin-pemimpinnya korupsi, mendesain kebijakan yang berpihak terhadap sebuah golongan, bermanuver yang menyebabkan instabilitas politik. Ketiga, trust merupakan kompetensi yang dapat dipelajari. Kita bisa mengupayakan agar kepercayaan sosial itu tetap ada dan semakin besar, sehingga terwujudlah kondisi yang nyaman, aman, dan sejahtera. Allah SWT telah menyuruh kita agar memegang kepercayaan (Amanah) yang dibebankan kepada kita. Sebagaimana firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa kepercayaan adalah suatu tanda keimanan. لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ“tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya” Jadi, pada prinsipnya hilangnya kepercayaan sosial karena ulah oknum-oknum pemegang amanah yang tidak bertanggung jawab. Dan kita (sebagai insan yang sadar amanah) tidak perlu pesimis untuk terus membangun kepercayaan masyarakat demi mewujudkan sebuah kesejahteraan.

Hadirin-hadirat Jamaah Jumat yang dirahmati Allah

Sebagai suatu kesimpulan, sesungguhnya penyakit atau masalah sosial itu bisa diatasi asal kita mau optimis (tafa’ul) merubah stigma masyarakat yang sudah terlanjur negatif. Hilangnya kepedulian sosial bisa kita atasi dengan membuang sifat ananiyyah (egoisme) untuk kepentingan bersama. Hilangnya kesetiakawanan bisa kita basmi dengan mempererat ukhuwah Islamiyyah, ukhuwah wathaniyah, ukhuuuh basyariyah, dan ukhuwah makhluqiyah. Hilangnya kerjasama bisa kita ganti dengan merekonstruksi ulang konsep ta’awun. Hilangnya kehormatan sosial bisa kita hadapi melalui internalisasi Akhlakul Karimah. Dan, hilangnya kepercayaan sosial bisa kita hindari dengan menciptakan kredibilitas dan perilaku yang amanah.

Semua itu tidak bisa dicapai dengan mudah tanpa adanya komitmen yang kuat dan Istiqomah. Untuk itu mari kita gunakan bulan Ramadhan ini sebagai bulan imsak sosial. Yaitu suatu latihan untuk menahan serta mengendalikan diri secara bersama demi upaya pemulihan dari penyakit-penyakit sosial. Karena hakikat puasa tidak hanya menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa saja, tapi juga menahan diri dari segala Sesuatu yang membatalkan pahala ibadah puasa.


أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *