Mengapa Perkembangan Sastrawan Arab, Tokoh Perempuan Jarang Sekali Terdengar?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Mendengar kata sastrawan Arab, barangkali ingatan saya hanya tertuju pada Nizar Qabbani, di mana karya puisinya, cukup terkenal di Indonesia.
Kepopuleran Nizar Qabbani di Indonesia, salah satunya adalah berbagai penggalan puisi yang diciptakannya tersebar luas di media sosial.
Salah satu bukunya yang diterjemah oleh Musyfiqur Rahman, mendapat respon yang cukup baik dari pembaca dengan judulnya, Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau.
Ada banyak sekali kanal instagram yang mempromosikan puisi-puisi dari sastrawan Arab, namun jarang sekali memunculkan nama sastrawan perempuan.
Fenomena kekosongan perempuan dalam sastrawan ini sebenarnya pernah dikiritisi oleh Toshiko Tamura dalam bukunya, Gincu Sang Mumi.
Sejalan dengan kehidupannya, karir seorang perempuan dalam dunia sastra dianggap tidak memiliki novelti dibandingkan dengan sastrawan laki-laki.
Minoru, tokoh dalam cerita tersebut adalah seorang penulis yang sukses. Tidak hanya sukses, ia berhasil menjadi sosok yang mendapatkan penghargaan di bidang kepenulisannya tersebut.
Akan tetapi, budaya patriarki yang mengakar di lingkungannya, membuat Minoru menjadi penulis yang tidak memiliki kontribusi apapun.
Sebab dalam kesuksesannya itu, ada banyak peran laki-laki yang diakui sebagai faktor besar dalam kesuksesannya. Artinya, kemampuan Minoru di balik segala kesuksesannya bukanlah
Dalam bukunya, Toshiko menceritakan secara mendalam, bagaimana keterlibatan perempuan dalam dunia sastra dianggap tidak memiliki peran sama sekali.
Kisah dalam bukunya itu, sejalan dengan kehidupan aslinya. Sebab di antara sekian banyak karya yang dihasilkan, hanya tulisan yang berjudul Gincu Sang Mumi itu yang berhasil dikumpulkan.
Dalam tulisan itu pula, sastrawan perempuan dianggap hanya melihat masalah yang dialami oleh perempuan saja.
Jarang sekali mengkritik fenomena sosial, ataupun masalah yang berkenaan dengan keilmuan.
Sehingga karya yang dilahirkan oleh seorang perempuan, dianggap hanyalah sebuah keresahan menjadi perempuan yang, oleh masyarakat karya tersebut tidak menarik.
Fenomena ini ternyata tidak jauh berbeda dengan eksistensi sastrawan Arab.
Beberapa sastrawan Arab seperti: Nawal El-Sa’dawi, Samirah Binti al-Jazirah al-Arabiyyah, Fatwa Tawqan, Nazek Al-Mala’kah (Palestina), Layla Ba’albaki (Libanon) dan Salma Khdra’ Al-Jayyusi.
Nawal el-Sa’dawi misalnya. Novelnya mengkritik budaya patriarki yang mengakar di lingkungannya.
Karya Nawal el-Sa’dawi, meskipun sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, rasanya hanya familiar kepada para aktivis yang konsen dengan isu-isu perempuan semata.
Jarang sekali ia dikenal sebagai sebagai sastrawan dengan karya briliantnya itu. Akan tetapi publik lebih mengingat dia sebagai aktivis perempuan.
Bachrudin Ahmad, dalam buku “Sastrawan Arab Modern” mengungkapkan, ada beberapa faktor mengapa sastrawan perempuan tidak banyak muncul dibandingkan dengan laki-laki, di antaranya:
Pertama, taraf penguasaan bahasa yang dimiliki oleh laki-laki lebih mumpuni dibandingkan dengan perempuan.
Kedua, sepanjang sejarah perkembangan sastra di Arab. Belum pernah ada sosok perempuan yang lebih unggul dibandingkan dengan sastrawan laki-laki.
Artinya, eksistensi laki-laki lebih diakui dibandingkan dengan perempuan. Hal ini juga menunjukkan ada tirai pemisah yang menjauhkannya.
Ketiga, perempuan biasanya dilindungi dengan pedang dan dijadikan sebagai saksi sejarah untuk kejadian yang menimpa bangsanya.
Keempat, eksistensi perempuan tidak pernah lepas dari konstruksi sosial yang dilekatkan seperti menjadi ibu, tugas domestik dan peran-peran serupa.
Peran ini sejalan dengan alasan ketiga yang menyebabkan ciptaan puisinya begitu sedikit karena fokus terhadap perbuatan dan ajakan untuk beraksi dan berkobar dalam perkobaran perang.
Kelima, juru bicara dalam sebuah bangsa, khususnya di Arab selalu diberikan kepada pihak laki-laki.
Peran juru bicara ini rasanya seperti tidak mungkin diberikan kepada seorang perempuan, sama halnya dengan kehadiran sastrawan perempuan yang jarang sekali mendapatkan panggung untuk dikenal oleh publik.
Fenomena sastrawan perempuan ini pernah ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi:
Bahwasanya Abu Daud pernah berkata:
“Tidak seorang dari bangsa Arab, kecuali ia mampu menyusun puisi. Hal ini merupakan fitrah yang ada pada diri mereka. apakah puisi yang diciptakan itu banyak atau sedikit.
Dan ini merupakan suatu yang umum: sebagaimana mengenal perempuannya.
Karena tabiatnya satu, bahasanya sama, dan fitrahnya pun tidak berbeda. Perbedaannya hanya terdapat dalam macam-macamnya bukan dalam perkataannya.”
Berdasarkan realitas di atas, kita dapat memahami bahwa, eksistensi perempuan dalam dunia sastra masih dianggap tabu.
Kemampuan dan karya yang dimiliki, masih kalah dengan budaya patriarki yang mengakar. Meskipun dalam budaya Arab itu sendiri. []