Mengapa LBM PWNU Jatim Mengharamkan Cryptocurrency?

The Power Of Receh, Sebuah Refleksi (Ilustrasi/Hidaytauna)
HIDAYATUNA.COM – Ketika membaca tulisan KH. Imam Jazuli di salah satu media online yang berjudul “LBM-NU, Cryptocurrency dan Kejumudan Nalar”, rasanya saya tidak bisa lagi menahan diri. Saya tidak hendak menolak kritik atau perbedaan pendapat sebab dalam dunia Bahtsul Masail itu adalah hal yang sangat diapresiasi.
Beda putusan antara satu Bahtsu dan Bahtsu lain adalah hal lumrah yang sudah ada sejak dahulu. Tetapi, selain seharusnya disampaikan dengan cara elegan, sebuah kritik haruslah berdasarkan fakta yang benar-benar diungkapkan lawan. Bukan hanya berdasar asumsi pribadi pengkritik terhadap lawan.
Alih-alih tepat sasaran, kritik KH. Imam Jazuli bagi saya sama sekali tidak menyentuh mahallun niza’ (titik tengkar) yang dibahas oleh LBM. Ini yang akan saya bahas satu persatu.
Dalam artikel beliau yang dimaksud, ada 5 poin krusial yang menurut saya patut dibaca dengan kritis. Namun dalam tulisan kali ini kita akan mengupasnya satu persatu lebih dulu. Berikut poin yang akan kita kritisi pertama:
Tuduhan Mengultuskan Kitab Kuning
Kyai Imam Jazuli berkata: “Ada kesan lembaga ini “mengkultuskan” kitab kuning, dan terperosok jatuh ke jurang kejumudan berpikir dalam menafsirkannya. Tidak heran salah satu bentuk fatwa keagamaan mereka mengharamkan mata uang kripto (cryptocurrency) dengan menyebutnya sebagai bukan komoditas yang boleh diperdagangkan (trading).”
Saya tidak tahu bagaimana bisa kejumudan berpikir bisa dinilai dari keputusan mengharamkan cryptocurrency? Apakah bila menghalalkannya artinya pikirannya tidak jumud? Ini simplifikasi yang melanggar kaidah berpikir sehat. Dari poin ini saja saya sudah kecewa pada pola berpikir simplistik beliau.
Selanjutnya, tuduhan mengultuskan kitab kuning pada LBM adalah isu lama yang seharusnya mudah dijawab oleh para santri, namun anehnya diucapkan juga oleh seorang kiai NU. Disertasi saya di UIN Sunan Kalijaga (belum diterbitkan) yang menguliti habis putusan-putusan LBM telah membantah tuduhan semacam ini.
Intinya, ibarah (nukilan kitab kitab kuning) yang selalu menghiasi putusan LBM mengandung dua sisi, yakni: sisi substansi dan sisi konteks. Sisi konteks berupa contoh-contoh dan implementasi yang selalu menyesuaikan dengan masa di saat kitab tersebut itu ditulis. Namun sisi substansinya tetap sama dan tidak berubah sehingga bisa ditarik untuk diberlakukan di masa mana pun.
Sisi substansi inilah yang dibaca oleh para pelaku Bahtsul Masail dan diracik kembali sesuai kaidah-kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyah. Dengan demikian menjadi narasi putusan yang relevan dengan kasus yang ada di masa ini.
Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyah
Pembaca umum yang tidak familiar dengan Bahtsul Masail kebanyakan gagal paham dalam poin ini. Sehingga merasa ibarah tersebut tidak nyambung atau dipaksa-paksakan. Sebab memang “proses ijtihad” dan perdebatan panjang hingga dipilihlah ibarah itu. Bagaimana cara membaca substansinya biasanya juga tidak dinarasikan dengan baik dalam putusan LBM.
Contoh sederhananya begini, dalam kitab klasik (baca: kitab kuning) dinyatakan bahwa ketika seorang penjual berkata: “Kujual salah satu ikanku yang masih berenang di kolam ikan itu”. Maka jual belinya tidak sah.
Bagi orang luar, pernyataan tersebut hanya tentang hukum jual beli ikan yang masih belum ditangkap. Tetapi aktivis BM akan membacanya sebagai larangan memperjualbelikan apa pun yang masih belum ditentukan secara definitif sehingga sifat-sifatnya masih samar.
Dilarang pula menjual (bai’) apa pun yang pada saat transaksi berlangsung belum dapat diserahterimakan sebab berpotensi ada pihak yang dirugikan. Aplikasinya bisa pada berbagai kasus jual-beli yang terjadi sekarang atau di masa depan.
Dalam pembacaan semacam ini kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah sangat terlibat sehingga penguasaan terhadap kedua perangkat “ijtihad” tersebut menjadi keniscayaan. Namun tulisan ini tidak dalam posisi membahas proses istinbat ini secara detail.
Jadi, kesan bahwa putusan LBM jumud dan terpaku pada teks-teks yang diproduksi di masa lalu sejatinya hanya karena tidak tahu saja. Tentang bagaimana “style” LBM dalam menyampaikan putusan-putusannya. Apakah “style” seperti ini berarti mengultuskan kitab kuning? Tentu tidak, sebab bukan bunyi teks itu yang menjadi patokan tetapi substansi di baliknya.
Orang luar boleh berkata bahwa ini ribet, tapi kami para santri Nahdliyyin menyebutnya sebagai kecintaan terhadap turats para fukaha. Sekaligus kepiawaian dalam beradaptasi dengan konteks baru. Inilah kebanggaan kami!