Mengapa Kitab Syaikh Nawawi Banten Ini Tidak Jadi Pelajaran Resmi Pesantren?

 Mengapa Kitab Syaikh Nawawi Banten Ini Tidak Jadi Pelajaran Resmi Pesantren?

Qatar dan OKI Kecam Israel Serbu Masjid Al Aqsa (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Sebagai ulama besar dunia, Syaikh Imam Nawawi Banten terkenal telah menulis banyak kitab. Namun ada salah satu kitabnya yang berjudul ‘Uqud al-Lujjayn justru tak menjadi kitab yang dijadikan pelajaran resmi di pesantren.

Mengenai hal itu, ulama kharismatik asal Rembang Jawa Tengah, KH. A. Mustofa Bisri atau biasa akrab disapa Gus Mus mempunyai jawabannya.

“Kitab (‘Uqud al-Lujjayn) yang selesai ditulis tahun 1294 H ini, memang sangat populer di kalangan pesantren. Namun ia tidak termasuk kitab muqarrar (referensi wajib),” tulis Gus Mus dalam kata sambutannya di buku “Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn” yang disusun oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3).

Menurut Gus Mus dilihat dari sisi materinya, kitab ‘Uqud al-Lujjayn karya Syaikh Imam Nawawi Banten ini, disebutkan bahwa sebenarnya banyak kiai pesantren yang tidak begitu sreg. Kata sreg ini untuk tidak mengatakan tidak setuju terhadapnya.

“Inilah barangkali yang menyebabkan kitab itu biasa “hanya” dibaca untuk pasanan di bulan Ramadhan, dan tidak sebagai “pelajaran resmi”. Wallahu a’lam,” ungkap Gus Mus.

Bahkan lanjut Gus Mus, sosok Kiai Bisri Mustofa sendiri yang tak lain adalah ayah Gus Mus mengaku tidak sejutu kalau kitab tersebut diajarkan di pondok pesantren.

“Ayah saya sendiri, al-maghfurlah Kiai Bisri Mustofa pernah menyatakan kurang setujunya kitab ‘Uqud al-Lujjayn diajarkan. Secara kelakar beliau mengatakan bahwa kitab ini membuat lelaki besar kepala,” jelasnya.

Oleh sebab itu, umumnya kitab tersebut hanya dibaca di acara “pesantren kilat” pada bulan Ramadhan. Seperti dimaklumi, pengajian Ramadhan pada dasarnya lebih merupakan pengajian untuk bil barakah (memperoleh berkah).

Sebagai informasi, Gus Mus menjelaskan bahwa secara makna ‘Uqud al-Lujjayn, bisa berarti “ikatan dua gelombang”, bisa juga “ikatan dua perak.”

Kedua kemungkinan makna itu boleh jadi memang dipertimbangkan oleh Imam Nawawi Banten (1813-1898 M) saat membuatnya sebagai nama kitabnya yang mengupas soal hal dan tanggung jawab suami istri. []

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *