Mengamalkan ‘Saling Mempersembahkan’ dan Tawadhu’

 Mengamalkan ‘Saling Mempersembahkan’ dan Tawadhu’

Apakah Sah Jika Sholat Fardhu di Belakang Orang yang Sholat Sunnah? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Konsep ‘saling mempersembahkan’ bisa diartikan sebagai aktivitas melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, bukan hanya demi ego sendiri.

Sebab, Islam hadir membawa misi rahmatan li al-‘alamin. Hal ini membuat Islam tak selamanya soal aspek ritual, melainkan juga aspek sosial.

Dalam rukun Islam, aspek sosial bisa kita lihat dari praktik zakat. Secara sederhana, ibadah zakat bisa kita lihat sebagai upaya Islam dalam mengatasi masalah kesenjangan ekonomi serta krisis pangan.

Sebagai umat Islam, seyogianya kita juga memiliki mental kepedulian terhadap sesama. Kendati demikian, sebenarnya kepedulian sosial tidak melulu bersangkutan dengan agama.

Sebab secara fitrah, manusia memang merupakan makhluk sosial, makhluk yang tak bisa hidup tanpa bantuan makhluk (orang) lain. Harus diakui bahwa kehidupan bersifat dinamis.

Artinya, manusia tak akan selamanya menempati satu posisi. Kita tak melulu berada di posisi ‘dibantu orang lain’. Kadang, di momen tertentu kita mesti mengambil peran untuk membantu orang lain.

Anjuran ‘Saling Mempersembahkan’ dalam Alquran

Konsep ini penting dilakukan―utamanya di bulan Ramadan seperti saat ini―supaya ikatan antarsesama manusia (lebih spesifik lagi yang seagama) menjadi semakin erat. Praktik ‘saling mempersembahkan’ semestinya kita lakukan seperti yang disebut dalam surat al-An’am/6 ayat 162 berikut.

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“…Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”.

Kita melakukannya tanpa pamrih. Bagaimana pun, hukum alam (sunnatullah) akan selalu bekerja secara adil. Jika kita mempersembahkan yang baik, maka kebaikan tersebut akan kembali pada kita. Begitu pun sebaliknya.

Oleh sebab itu, kita tak perlu khawatir apa yang kita persembahkan akan berakhir sia-sia. Asalkan apa yang kita persembahkan itu bukan sesuatu yang mengundang mudarat.

Menghindari Riya’

Hal lain yang juga menjadi aturan tidak tertulis dari praktik ‘saling mempersembahkan’ adalah menghindari riya’. Jangan sampai kita mempersembahkan/melakukan sesuatu dengan menunggu orang lain melihatnya terlebih dahulu.

Apabila kita melakukan hal tersebut, mungkin secara lahir kita akan dapat pujian dari orang lain, tapi secara batin pahala dari kebaikan yang kita lakukan justru terhapus. Apa gunanya pujian dari orang lain di hadapan Allah SWT?

Saking bahayanya riya’, dalam salah satu hadis riwayat Imam Ahmad, Nabi saw pernah menyebut bahwa ia (riya’) merupakan al-syirk al-ashghar (syirik kecil). Oleh sebab itulah kita mesti selalu belajar melatih diri untuk melakukan segala sesuatu dengan nurani yang ikhlas.

Konsep ‘saling mempersembahkan’ merupakan bagian dari upaya mengikis ego. Adalah sesuatu yang tidak mungkin bila kita hidup hanya demi kepentingan diri sendiri.

Semakin egois kita, semakin jauh pula kita dari misi rahmatan li al-‘alamin. Padahal sebagai umat Islam kita harus meneladani Nabi Muhammad saw yang diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Jika kita selalu mengedepankan egoisme, lalu siapa yang kita teladani? Sebenarnya, Nabi Saw menggambarkan konsep ‘saling mempersembahkan’ dengan sesuatu yang sangat sederhana, yakni senyuman.

Saat kita melempar senyum pada orang lain, hal tersebut telah dinilai sedekah. Dengan demikian, tampaknya tak ada alasan bagi kita untuk tidak mempraktikkan konsep ‘saling mempersembahkan’.

Tawadhu’ di Bulan Ramadan

Konsep berikutnya yang juga patut diimplementasikan di bulan Ramadan ini adalah tawadhu’. Jika konsep ‘saling mempersembahkan’ bertujuan untuk mengikis ego, maka tawadhu’ dimaksudkan supaya kita tidak terjebak dalam kearoganan.

Ini menjadi penting disebabkan apabila kita terjebak dalam sifat arogansi maka kita mungkin tidak mau lagi melakukan sesuatu yang lebih. Kita hanya terbelenggu di alam pikiran, merasa seolah selalu lebih baik daripada orang lain.

Kejadian seperti ini tentu tak baik bagi kita, sebab ia sangat berpotensi untuk mencelakakan diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita mesti selalu menghindarinya dengan belajar membiasakan diri tawadhu’.

Tawadhu’ juga bertujuan supaya kita tak segan belajar pada siapa pun dan di mana pun. Dengan tawadhu’, kita akan menjadi pribadi yang selalu berkenan mengambil hikmah di setiap episode hidup yang kita jalani.

Akan menjadi hal yang sangat disayangkan jika kita melakoni hidup tanpa mengambil pelajaran sedikit pun darinya. Mengambil pelajaran (menuntut ilmu) merupakan salah satu kewajiban kita.

Hal ini juga pernah disinggung oleh Nabi Muhammad Saw bahwa durasi belajar itu dimulai sejak kita dilahirkan dan berakhir saat kita telah dikuburkan. Artinya, sepanjang hidup kita harus menjadi pribadi pembelajar dan, untuk menjadi pribadi pembelajar mau-tidak mau kita mesti senantiasa tawadhu’.

Menempa Diri, Mengikis Ego

Bulan Ramadan merupakan waktu yang sangat tepat bagi kita untuk menempa diri. Harapannya selepas Ramadan usai nanti kita bisa menjadi hamba yang naik kelas, baik itu dalam segi intelektual, spriritual, maupun kepekaan sosial.

Dua metode yang bisa kita tempuh untuk merengkuh hal tersebut adalah konsep ‘saling mempersembahkan’ dan tawadhu’. Jika selama ini dalam hati ktia sering mendikte orang agar bermanfaat untuk diri kita sendiri maupun khalayak luas.

Maka dengan dua konsep tadi kita melakukan yang sebaliknya, kita mendidik diri kita sendiri supaya dapat menebar manfaat bagi sesama. Bukankah Nabi saw pernah menyebut bahwa manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya?

Mengimplementasikan konsep ‘saling mempersembahkan’ dan tawadhu’ di bulan Ramadan ini mungkin bukan perkara mudah bagi sebagian besar kita. Pasalnya, kita harus mengikis ego yang selama ini hampir selalu kita penuhi kemauannya. Kita pun harus menyingkirkan sifat bangga diri yang selama ini lekat dalam nurani.

Namun, hal tersebut memang menjadi bentuk jihad kita di masa sekarang, masa di mana hampir seluruh manusia selalu mengedepankan kepuasan dirinya sendiri. Tampaknya ini merupakan ujian bagi kita (umat Islam), mampukah kita melanjutkan misi untuk menjadi rahmatan li al-‘alamin? Wallahu A’lam.

Mohammad Azharudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *