Menengok Urgensi Keberadaan Santri Penulis di Tiap Generasi
HIDAYATUNA.COM – Masih cukup banyak kita jumpai orang-orang yang memandang sebelah mata ‘produk pesantren’. Produk pesantren yang dimaksud di sini adalah santri.
Orang-orang yang sama sekali belum pernah bersinggungan dengan pesantren umumnya menganggap santri hanya sebagai kaum yang belajar ilmu agama. Oleh sebab itu, tak heran bila mereka memandang bahwa santri nantinya cuma jadi modin, tak lebih.
Anggapan ini lantas menimbulkan efek domino. Orang-orang tersebut kemudian menaruh sikap skeptis terhadap masa depan santri. Mereka ragu apakah santri dapat menjawab tantangan perubahan zaman.
Dalam derasnya gelombang modernisasi, nyatanya agama tak pernah terpinggirkan dan dilupakan begitu saja. Secara kasat mata manusia telah banyak melakukan inovasi di berbagai bidang.
Ini bisa dibaca sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan sisi zhahiriyyah. Di sisi lain, manusia diciptakan juga memiliki sisi bathiniyyah.
Guna memenuhi kebutuhan sisi yang tak tampak oleh mata tersebut, hal yang perlu dilakukan adalah menjalin hubungan dengan Tuhan. Dalam Islam hal tersebut dinamakan habl min Allah.
Dari sini peran penting pesantren tampak jelas. Pesantren―juga santri―harus menjadi kiblat yang baik dari praktik menjalin hubungan dengan Allah swt. Pertanyannya sekarang, apakah peran santri berhenti di situ?
***
Bila dilihat secara lebih luas, santri tak hanya ambil peran dalam bidang agama. Ada banyak sisi kehidupan lain yang juga diisi oleh para santri.
Di era digital sekarang, kita bisa dengan mudah menemukan santri yang menuangkan kreativitasnya dalam berbagai platform, misalnya, YouTube dan TikTok. Ini menjadi indikasi bahwa santri mampu menjadi content creator tanpa menghilangkan esensi dakwah dalam karyanya.
Peran yang juga tak kalah penting yang mestinya santri ikut pula ambil bagian di dalamnya adalah penulis. Mengapa demikian?
Sejak dahulu penulis punya andil yang besar terhadap kemajuan peradaban. Entah disadari atau tidak, saat kita mengulas seorang tokoh (khususnya ulama mutaqaddimun), karya tulisnya tak luput untuk disebutkan.
Ini menunjukkan bahwa kontribusi seseorang terhadap peradaban dapat dilihat dari karya tulisnya.
Tanpa karya tulis mungkin andil orang (tokoh) tersebut sulit untuk dilacak di masa yang akan datang. Bahkan tak menutup kemungkinan eksistensi dirinya sama sekali tak diketahui oleh generasi berikutnya.
***
Berangkat dari hal tersebut, maka sudah semestinya ada sebagian santri yang turut terjun dalam dunia kepenulisan. Santri yang mampu melahirkan karya tulis akan punya pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan.
Sebagai misal, kita dapat mengenal ushul fiqh berkat karya Imam al-Syafi’i yang berjudul “al-Risalah”.
Dalam konteks era sekarang, karya tulis bukan hanya dalam bentuk cetak melainkan juga digital. Karya tulis dalam bentuk digital bahkan bisa menjangkau pembaca yang lebih luas ketimbang karya tulis cetak.
Kita tahu manusia saat ini ketika menemui problematika pasti akan mencari jawaban di internet. Termasuk di sini juga persoalan agama, khususnya hukum.
Atas dasar fenomena tersebut, para santri perlu untuk ikut menulis artikel-artikel tentang hukum di internet. Tujuannya adalah supaya orang-orang awam tadi dapat menemukan jawaban yang kredibel, memiliki dasar yang kuat, dan sesuai dengan keadaan zaman.
Tanpa hal itu, tak menutup kemungkinan orang-orang awam tadi justru menemukan jawaban yang terkesan tekstual. Hal ini menimbulkan pemahaman yang cenderung sempit dan kaku.
***
Perkembangan zaman nyatanya berpengaruh terhadap perkembangan problematika hukum Islam. Banyak hal baru muncul yang menyangkut hukum Islam.
Hal baru ini tentu saja belum pernah ditemui oleh ulama mutaqaddimun. Oleh sebab itu, ia tak mungkin ditemukan dalam karya-karya tulis klasik.
Di sinilah peran penting santri penulis kembali tampak. Santri dituntut untuk menghasilkan karya tulis baru yang dapat menjawab problematika hukum Islam yang muncul di era sekarang.
Mengingat perkembangan zaman sekaligus perkembangan hukum Islam akan terus terjadi. Maka bisa dikatakan bahwa di setiap generasi harus ada sebagian santri yang ambil peran sebagai penulis.
Pesantren rasanya perlu menanamkan semangat menulis pada para santri. Jika selama ini model dakwah yang dipahami hanya dakwah lisan, maka sudah saatnya untuk membuka sudut pandang bahwa model dakwah lainnya adalah dakwah tulisan.
***
Apabila ada banyak santri yang punya semangat tinggi dalam menulis, maka tak menutup kemungkinan literatur keislaman akan semakin beragam. Banyaknya karya tulis akan mengakselerasi kemajuan peradaban.
Bukti pernyataan ini bisa kita lihat dalam sejarah Islam, khususnya pada masa Dinasti Abbasiyah.
Salah satu hal negatif yang bertebaran di Internet adalah penggambaran Islam yang keras dan mengerikan. Masalahnya adalah ia tak dapat dibendung.
Cara terbaik untuk melawan hal negatif tersebut adalah memperbanyak hal positif. Santri bisa mengejawantahkan cara itu dengan menulis tentang Islam yang sebenar-benarnya.
Islam yang rahmatan li al-‘alamin, dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Tanpa upaya semacam itu, bisa jadi virus Islamophobia kian menyebar dan memberi dampak buruk terhadap umat Islam sendiri.
Mendorong santri untuk giat menulsi berarti sama dengan mendorong mereka untuk banyak membaca, berpikir, dan merenung. Ini sangat relevan dengan perintah yang terdapat dalam wahyu yang pertama diturunkan pada Nabi Saw.
Adalah sesuatu yang tidak mungkin ketika santri menghasilkan karya tulis tanpa banyak membaca. Dengan adanya santri penulis, kita akan melihat para penerus ulama mutaqaddimun yang telah mewariskan banyak karya tulis untuk peradaban umat manusia (khususnya umat Islam).