Menengok Pendidikan dan Budaya di Mesir
HIDAYATUNA.COM – Pertama kali menginjakkan kaki di Mesir, yang ada dalam benak saya saat itu adalah takjub melihat dan mendengar banyak sekali hal. Mengamati dan meneliti banyak sekali peristiwa, yah kejadian itu sudah tiga tahun yang lalu.
Sebagai seorang pelajar yang budiman, saya pribadi tidak diam begitu saja, bak burung dalam sangkar barunya. Namun terus-menerus mempelajari apa-apa yang telah aku dapatkan selama tiga tahun ini.
Pelajar baru tadi, merasa seperti manusia yang hidup di bumi yang baru. Banyak hal terasa asing di matanya. Bahasa, budaya, dan lingkungan adalah salah satu aspek yang paling dekat dengannya sehingga ia tidak bisa menolak untuk melebur bersama hal-hal asing itu.
Tentunya bahasa, budaya, dan lingkungan itu ada yang bernilai baik, ada yang sebaliknya. Tidak bodoh untuk memilah mana yang baik, mana yang buruk.
Mesir sebagai tempat belajar yang ideal adalah pilihan yang tidak terlalu salah, juga tak sepenuhnya benar. Bahkan sebagian orang menyebutnya dengan lumbung ilmu. Tidak berlebihan, jika kenyataanya demikian.
Tetapi sangat disayangkan, akhir-akhir ini banyak masalah krusial yang berkaitan dengan oknum-oknum yang tak perlu saya perjelas di sini. Lebih penting di sini adalah pertanyaan yang menggangguku sejak pertamakali tiba di sini, oh tidak, bahkan sebelumnya. ‘Bagaimana Mesir, atau lebih khusus lagi lembaga al-Azhar, bisa menjadi pusat pendidikan Islam dan dalam waktu yang lama sekali masih bisa mempertahankanya sampai saat ini?’
***
Setelah sekian lama saya merenung, ternyata jawaban dari keresahan saya waktu itu adalah karena al-Azhar masih konsisten dengan manhaj-manhaj wasathinya. Ideologi moderatnya yang sudah mendarah daging, layaknya ruh dalam jasad manusia.
Selain itu, dengan kultur lingkungan yang membantu sistem pendidikan yang ada di al-Azhar, seperti Ulama-ulamanya yang terbuka dengan kemajuan teknologi, tidak konservatif, jumud. Terlebih budaya produktif yang selalu dilestarikan, sehingga banyak ditemui buku-buku -mulai dari turost sampai kontemporer – yang berserakan di pinggiran kota kairo.
Semua itu, walaupun masih banyak faktor lain, saya rasa yang menjadikan pendidikan di al-Azhar tetap eksis dan relevan dengan spirit kemajuan zaman. Konsep moderat itu sejalan dengan sabda Nabi saw “sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah”.
Dalam prakteknya, al-Azhar sungguh-sungguh menerapkan konsep moderatnya. Ini, terlihat bukan hanya di sistem pendidikanya, menurut saya, ini terlihat dalam cakupan yang lebih luas dan juga fakta keberhasilanya memegang tampuk pusat pendidikan Islam terbesar di dunia. Dengan ajaranya yang tidak berlebihan, juga tidak kekurangan alias ideal, tentunya ideal dengan makna sesungguhnya, secara tidak langsung al-Azhar adalah representasi dari makna hadis di atas.
Jika bicara Mesir, sepertinya kita tidak akan berhenti dalam obrolan pendidikannya saja. Mesir yang dijuluki “Ibu peradaban” bukanlah omong kosong dari negeri dongeng. Ada isyarat penting dalam suatu gelar yang disematkan kepadanya. Saya menyaksikan sendiri betapa negeri ini kaya sekali akan budayanya.
Budaya paling berkesan selama di Mesir, pasti semua orang yang pernah ke sini akan menjawab maidah rohman (hidangan tuhan). Sebuah budaya yang hanya ada pada bulan Ramadhan saja, berupa bagi-bagi takjil, bahkan menu makanan buka puasa dengan berbagai varianya khasnya serta tempat yang sudah disediakan. Selain itu masih banyak, tidak penting untuk menyebutkannya.
***
Saya sebutkan satu lagi yang paling berkesan, yaitu Pameran Buku ma’rold kutub kami menyebutknya, sebuah pagelaran bazar buku terbesar di afrika. Setiap awal tahun, lebih tepatnya pas puncak musim dingin. Belum lagi orang-orang baiknya para mukhsinin kami menyebutnya, mereka tidak tanggung-tanggung ketika memberi bantuan kepada masisir (baca: mahasiswa Indonesia yang di Mesir). Biasanya mereka memberi kebutuhan hidup, entah beras, minyak, atau telur.
Sedangkan budaya yang bersinggungan dengan pendidikan itu tidak perlu ditanya kembali, bagaimana masjid-masjid sesak oleh pengajian tahsin Alquran, berjubel-jubel oleh kajian-kajian kitab turost. Ada juga pengajian yang diadakan di Majlis ta’lim madyafah istilahnya. Selain itu Ulamanya juga tak jarang membagikan karya-karyanya sendiri secara cuma-cuma, bahkan karya Ulama lain, bisa jadi yang sedang dikaji waktu itu.
Kehebatan Mesir, yang menghadiri pengajian itu tidak hanya para pelajar luarnya wafidin disebutnya, tetapi banyak juga dari pribumi sendiri yang berbondong-bondong mengikuti pengajian. Mulai orangtua sampai anak kecil, mereka dengan penuh kegembiraan mengikuti pengajian itu, tanpa ada paksaan. Oleh karenanya lagi, di Mesir budaya solat berjemaah itu patut kita acungi jempol.
Bagaimana tidak, orang sesibuk apapun, saat mendengar adzan mereka akan bergegas menuju masjid. Sekalipun juga sayangnya dengan pakaian kotornya (kotor belum tentu najis). Makanya akan banyak didapati para jemaah di masjid-masjid kecil kairo yang pakaianya kotor-kotor. Itu tidak lain karena mereka sebenarnya sedang berkerja, namun masih menyempatkan waktu untuk solat, dan itu memang tabiat mereka.
Lebih jauh lagi kalau menengok pojok-pojok kos ‘Imaroh wafidin sebutannya, serak-serak suara kajian dari para mahasiswa Indonesia akan terdengar sampai lantai bawah. Mereka berjibaku dengan lawan debatnya.
***
Ada yang memperdebatkan pemikiran kapitalis, ada juga yang menyoal kuota mahasiswa baru Mesir yang tidak masuk akal itu. Semua itu tidak lepas dari kesadaran akan pentingnya membuat lingkungan keilmuan yang subur, bebas dan tanpa beban paksaan. Mereka melakukan itu semua karena kesadarannya sendiri-sendiri. bagaimana tidak, al-Azhar sendiri tidak pernah menyuruh kita untuk membuat kajian-kajian mandiri itu, mutlak inisiatif masisir.
Setelah melihat potret ini semua, apa yang terlintas di benak kita (sebagai masisir) yang nantinya akan lulus dan menjadi duta al-Azhar? Apa yang perlu kita benahi dan apa yang seharusnya dilakukan? Apakah kita hanya mencukupkan dengan mengadopsi sistem pendidikanya, atau seharusnya kita bertindak lebih jauh lagi, yakni meresap budayanya sekaligus.
Di sini saya ingin menegaskan bahwa untuk mengadopsi sistem pendidikan yang ada di al-Azhar itu sudah menjadi keharusan kita. hukumnya lazim, lebih kuat dari wajib. Alasanya wajar, kita belajar jauh-jauh sampai banyak berkorban itu untuk apa?. tetapi sistem atau metode yang seperti apa yang harus kita adopsi? Jawabanya jelas, metode wasatiyahnya.
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah hanya mencukupkan dengan metodenya saja atau harus lebih dari itu? Ya, harus lebih dari sekadar menyerap metodenya.Kita harus sadari bahwa, metode itu sudah satu paket dengan kultur di dalamnya.
Sudah seharusnya membawa bersama budayanya. Agar apa? agar membantu metode itu berlangsung menuju keberhasilannya.
***
Bayangkan! jika kelak di indonesia akan ditemui masjid-masjid yang ramai dengan pengajian Alquran, momen Ramadlan ramai dengan orang-orang baik yang bersedekah. Mahasiswa tidak lagi kesusahan hidupnya. Jemaah masjid akan selalu penuh barisanya dan pojok-pojok kos di belakang kampus-kampus UIN menggema suara diskusi-diskusi berat, bukankah itu indah? Jika hanya dibayangkan, keindahan itu tidak benar-benar nyata. Maka dari itu, sadarlah dan jadikan keindahan itu nyata.
Saya pribadi tidak menafikan budaya itu tidak pernah ada di indonesia. Budaya-budaya itu ada, dan sampai sekarang masih lestari. Namun mengatakan untuk sekaligus membawa budayanya itu supaya kitalah salah satu dari pengajar di masjid yang ramai pengajian itu, salah satu dari orang baik yang bersedekah di bulan suci itu.
Salah satu dari pegiat kajian di pojok-pojok kamar itu dan salah satu dari jemaah yang istiqomah di masjid kecil itu. Sebenarnya itu ide besarnya. Kitalah duta al-Azhar. Tidak cukup dengan gembar-gembor. Tapi kitalah orang pertama yang harus mempraktekan omongan kita sendiri.
Akhir kata, setelah mendengar pemaparan di atas hati kita sebagai masisir atau alumni masisir yang sudah berjuang di negerinya masing-masing dapat terketuk hatinya. Kemudian tersadarkan akan pentingnya menjaga almamater al-Azhar. Tidak hanya menjaga reputasinya, tetapi melanjutkan ajaran-ajaranya.
Metode wasatiyah, budaya baiknya, harus kita pegang sekuat-kuatnya. Agar gelar duta al-Azhar tidak menjadi omong kosong belaka. Sekian.
Penulis : Ahmad Reza Wibowo
Mahasiswa Tafsir dan Filsafat al-Azhar, Mesir