Menelusuri Tradisi Keagamaan Islam Champa
HIDAYATUNA.COM – Proses Islamisasi secara terorganisasi dan sistematis di Nusantara dilakukan setelah kehadiran dua bersaudara asal negri Champa, yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Raden Ali Murthado (Sunan Gresik). Jejak-jejak dakwah Islam-nya masih terlihat jelas dengan mencermati tradisi keagamaan, takhayul, system nilai, dan pola-pola sosial masyarakat muslim Indonesia yang menampakkan pengaruh kuat Champa.
Pengaruh terbesar Champa di Indonesia adalah terjadinya asimilasi dalam tradisi keagamaan yang sampai saat ini masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat.
Bagi kebanyakan umat islam yang memahami sejarah, ada anggapan bahwa adat kebiasaan dan tradisi keagamaan yang dilakukan kalangan muslim tradisional adalah hasil pencampuradukan antara ajaran Hindu-Budha dengan Islam.
Tanpa didukung fakta sejarah, dinyatakan bahwa tradisi keagamaan yang berkaitan dengan kenduri memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 adalah warisan Hindu-Budha. Padahal, dalam, Agama Hindu dan Buddha tidak dikenal tradisi kenduri dan tradisi memperingati kematiaan seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-100 dan ke-1000. Pemeluk Hindu mengenal peringatan kematian seseorang dalam upacara sraddha yang dilaksanakan dua belas tahun setelah kematian seseorang.
Ditinjau dari aspek sosio-historis, terjadinya perubahan pada adat kebiasaan dan tradisi kepercayaan di Nusantara khusunya di Jawa pasca runtuhnya Majapahit, tidak bisa ditafsirkan lain kecuali sebagai akibat dari pengaruh kuat para pendatang asal negri Champa beragama Islam, yang ditandai kehadiran dua bersaudara Raden Rahmat dan Raden Ali Murtadho.
Peristiwa yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 1440 Masehi yang disusul hadirnya pengungsi-pengungsi asal Champa pada rentang waktu antara tahun 1446 hingga 1471 Masehi, yaitu masa runtuhnya kekuasaan Kerajaan Champa akibat serbuan Vietnam, kiranya telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosio-kultural-religius masyarakat Majapahit yang mengalami kemunduran.
Antoine Cabaton dalam Les Champs Musulmans de L’Indochine Francaise (1907), mengungkapkan bahwa orang-orang Cam Bani (orang Champa muslim ) di Binth-thuan setelah melakukan upacara pemakaman anggota keluarganya yang meninggal dunia, megadakan upacara peringatan pada hari ke-3, ke-7 ke-10, ke-30, ke-40, ke-100 dan ke -1000.
Masih menurut Antoine Cabaton, orang-orang Champa selain melaksanakan tradisi keagamaan memperingati hari kematian seseorang, juga menjalankan peringatan haul tahunan, perayaan Hari Asyura, Maulid Nabi Saw, upacara menikahkan anak, dan adat kebiasaan melayu-Polinesia lainya. Berdasar uraian Antoine Cabaton ini, dapat disimpulkan bahwa tradisi peringatan hari kematian seseorang, peringatan haul, perayaan Hari Asyura, Maulid Nabi Saw, dan berbagai adat kebiasaan Melayu-Polinesia lainnya.
Berdasar uraian Antoine Cabaton ini, dapat disimpulkan bahwa tradisi peringatan hari kematian seseorang, peringatan haul, perayaan Hari Asyura, Maulid Nabi Saw, dan berbagai adat kebiasaan Melayu-Polinesia lain yang dijalankan penduduk muslim Nusantara adalah akibat pengaruh dari tradisi keagamaan muslim Champa yang di bawa oleh dua bersaudara Raden Rahmat dan Raden Ali Murtadho.
Menurut Antonie Cabaton, sebuah peringatan di mulai dengan doa yang disebut orang Bani (Champa muslim ) ngap kamrwai, bersembahyang, yaitu membaca sunsamillah (bismilah ) disusul dengan phwatihah (fatihah ) dan pujaan kepada para Po yang (Pu Hyang ), dan kepada arwah leluhur dan kemudian di tutup dengan jamuan makan di mana Ong Gru (tuan guru) Bersama imamnya di persilahkan untuk makan lebih dulu.
Tradisi keagamaan yang dijalankan umat Islam di Indonesia, khususnya di jawa, yang disebut kenduri yang sebelum membaca doa-doa islam didahului oleh apa yang disebut ujub, yaitu pernyataan dari pemimpin upacara tentang niat orang yang punya hajat, memohon restu leluhur, memberikan “hidangan” kepada ruh-ruh leluhur, ruh pelindung desa, membaca alfatihah berkali-kali yang hadiah pahalanya dikirimkan kepada arwah dimaksud.
Istilah kenduri sendiri dipungut dari Bahasa Persia, yang berkaitan dengan tradisi memperingati Fatimah az-Zahrah dengan berdoa dan makan-makan yang disebut “kanduri”. Tradisi kenduri yang dijalankan orang-orang Champa yang kemudian disebarkan ke Nusantara, khusunya jawa, sangat mungkin berkaitan dengan pengaruh Syi’ah dimana menurut S.Q. Fatimy (1963) mazhab orang-orang Islam di Champa beraliran Syi’ah.
Masuknya kepercayaan muslim Champa dalam tradisi keagamaan Islam di Nusantara, khususnya di jawa, ternyata diikuti pula oleh masuknya kepercayaan terhadap makhluk-makhluk gaib dan takhayul Champa yang berkaitan dengan keberadaan makhluk-makhluk halus yang diyakini hidup di sekitar dunia manusia.
Berbeda dengan kepercayaan orang-orang Majapahit terhadap makhluk halus yang dianggap setengah dewa yang menurut Sedyawati (1994) mencakup “yakhsa, raksasa, pisaca, pretasura, gandharwa, bhuta, khinnara widyadara, mahakala, nandiswara, caturasra, rahyangta rumuhan, sirangbasa ring wanua, sang mangdyan kahyangan, sang magawai kedhaton”, kepercayaan masyarakat muslim Nusantara yang terpengaruh Champa meliputi berbagai jenis makhluk halus yang mengindikasikan pengaruh Islam seperti “pocongan,, jin muslim,jin setan, gendruwo,wewe, kuntilanak, kemamang, tuyul,kalap, siluman, hantu penunggu pohon, dan arwah penasaran”.
Didalam proses penyebaran kepercayaan terhadap makhluk-makhluk gaib itu, orang-orang Indonesia terpengaruh pula oleh kepercayaan takhayul-takhayul khas Champa seperti percaya terhadap hitungan suara tokek, kesurupan, ilmu sihir, ilmu hitam, tabu mengambil padi di lumbung pada malam hari, menyebut harimau dengan sebutan “eyang”, dan sebagainya.
Sekalipun asimilasi ini awalnya kelihatanya dilakukan di pesantren-pesantren dan komunitas-komunitas masyarakat muslim di pesisir, namun dalam proses penyebaran hasil asimilasi tersebut kepada masyarakat terhadap kecendrungan menggunakan institusi keraton sebagai sentral. Kekuasaan Islam di pedalamanlah yang dengan cara terorganisir dan sistematis mengembangkan kepercayaan-kepercayaan terhadap makhluk gaib dan takhayul-takhayul dalam seperangkat tradisi budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pengaruh Champa lain yang terdapat dalam kebiasaan hidup sehari-hari penduduk Nusantara adalah terkait dengan kebiasaan hidup sehari-hari penduduk Nusantara adalah terkait dengan kebiasaan orang-orang Champa yang memanggil ibunya dengan sebutan “mak”, yang secara kultural telah mengubah kebiasaan orang-orang Majapahit yang menyebut ibunya dengan sebutan “ina”, “ra-ina”, dan “ibu”.
Di daerah Surabaya dan pesisir utara Jawa, tempat Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Raden patah menjadi tokoh-tokoh penting masyarakat, penduduknya sampai masa sekarang ini lazim memanggil ibunya dengan sebutan “mak” Kebiasaan orang-orang Champa memanggil kakaknya dengan sebutan “kak”.
Atau “kang”, menggantikan sebutan orang-orang Majapahit yang memanggil kakaknya dengan sebutan “raka”. Begitu pun kebiasaan orang-orang Champa memanggil adiknya dengan sebutan “adi”, menggantikan kebiasaan orang-orang Majapahit yang memanggil adiknya dengan sebutan “rayi”. Demikianlah, kebiasaan memanggil “mak”, “kak”, “kang”, dan “adi”yang lazimnya digunakan orang-orang Champa, yang ternyata berlaku juga di sejumlah daerah pedalaman jawa tampaknya berlangsung seiring proses menyebarnya Islam dari daerah pesisir utara ke pedalaman.
Sumber : Atlas Wali Songo