Menelisik Makna Kata Imra’ah dan Zauj dalam Al-Qur’an
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam Al-Qur’an, kata istri ditulis dalam dua istilah, yaitu إمرأت (imra’ah) dan زوج (zauj). Meski dalam konteks tertentu, kata زوج (zauj) juga bisa bermakna pasangan (suami-istri).
Untuk membedakan istilah istri dan perempuan, Al-Qur’an menggunakan pembeda ta’ marbutah dan ta’ mabsuthah.
Jika menggunakan ta’ marbuthah, maka yang dimaksud adalah perempuan. Sedangkan jika menggunakan penanda ta’ mabsuthah, maka maknanya adalah istri.
Kata إمرأة dan إمرأت
Dalam Al-Qur’an, kata imra’ah ditulis dalam dua bentuk yaitu إمرأة dan إمرأت.
Kata إمرأة digunakan untuk menunjuk perempuan secara umum. Misalnya dalam surah al-Nisa’ ayat 12, al-Ahzab ayat 50, al-Naml ayat 23, dan al-Nisa’ ayat 128.
Sedangkan penulisan إمرأت digunakan dalam konteks istri yang durhaka, kafir, tidak sempurna (memiliki beberapa kekurangan) dan memiliki aib atau cacat.
Di dalam Al-Qur’an, kata إمرأت terulang sebanyak 11 kali yakni dalam surah Yusuf ayat 21 dan 30, Ali Imran ayat 35, al-Anbiya’ ayat 90, Maryam ayat 5, al-Tahrim ayat 10 (terulang 2 kali) dan ayat 11, al-Qasas ayat 9, Hud ayat 71, dan Ali Imran ayat 35.
Jika istri yang berstatus إمرأت bertaubat sehingga menjadi muslimah yang taat, baik dan hilang aib serta ketidaksempurnaannya, maka terjadi pengalihan redaksi menjadi زوج.
Pengalihan redaksi ini misalnya terjadi dalam konteks istri Nabi Zakariya (Q.S. Maryam ayat 5 dan QS. Al-Anbiya ayat 90).
Kata إمرأت dan زوج
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kata إمرأت digunakan dalam konteks istri yang tidak taat, durhaka, dan tidak sempurna serta memiliki aib.
Sedangkan kata زوج berkonotasi sebaliknya. Yaitu untuk menunjuk istri yang baik, salihah, sempurna dan tidak memiliki aib. Untuk lebih jelasnya sebagaimana berikut:
Siti Hawa, Istri Nabi Adam
Untuk menyebut status istri Nabi Adam (Siti Hawa), redaksi yang digunakan Al-Qur’an adalah زوج.
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ
Penggunaan kata زوج (zauj) ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada Siti Hawa sebagai istri yang setia, baik, taat dan sempurna.
Kesempurnaan Siti Hawa dibuktikan dengan banyaknya jumlah anak yang dianugerahkan kepadanya.
Siti Asiyah, Istri Fir’aun
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya:
“Dan Allah membuat isteri Fir´aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir´aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (Q.S. Al-Tahrim:11)
وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ لَا تَقْتُلُوْهُ ۖ عَسٰٓى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَهٗ وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
Artinya:
“Dan istri Fir‘aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak,” sedang mereka tidak menyadari.” (Q.S. Al-Qasas:9)
Kedua ayat tersebut menggunakan diksi امْرَاَتُ padahal yang dimaksud adalah istri Fir’aun yang bernama Asiyah, perempuan beriman dan salihah.
Pemilihan diksi ini dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi rumah tangga Asiyah yang keluar dari tujuan pernikahan, karena memiliki suami yang kafir, durjana dan ahli maksiat.
Keimanan Asiyah tidak akan pernah menyatu dengan kekafiran Fir’aun. Pernikahan seperti ini merupakan aib bagi istri dari sisi yang lain.
Istri Nabi Zakariya
وَاِنِّيْ خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَّرَاۤءِيْ وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا فَهَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّا ۙ
Artinya:
“Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.” (Q.S. Maryam:5)
Bentuk kekurangan istri Nabi Zakariya adalah tidak bisa melahirkan anak (mandul).
Sebagaimana pernyataan beliau sendiri wakanat imra’ati ‘aqiran (istriku mandul).
Bagi pasangan pasutri, tidak memiliki anak adalah aib dan menyebabkan tidak sempurnanya kehidupan rumah tangga. \
Namun pada ayat setelahnya, Nabi Zakariya memohon kepada Allah agar diberi anak fahab li min ladunka waliyya (berilah aku seorang putra).
Pada surah al-Anbiya’ ayat 90, Allah mengabulkan do’a-do’a Nabi Zakariya dan menganugerahi beliau seorang putra salih yang akhirnya menjadi nabi.
Karena keadaan istri Nabi Zakariya telah berubah dari mandul menjadi hamil, maka Allah mengganti diksi امْرَاَتُ menjadi زوج.
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ
Zulaikha, Istri al-Aziz
Zulaikha, dulunya adalah istri al-Aziz, salah satu pejabat tinggi di Mesir. Saat masih berstatus sebagai istri sah dari al-Aziz, ia berkhianat karena tergoda dengan laki-laki lain.
Berdasarkan itulah diksi yang digunakan Al-Qur’an untuk menyebut istri al-Aziz adalah امْرَاَتُ yang menggambarkan sisi cacat atau aib Zulaikha.
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya:
“Dan sekelompok wanita di kota (Mesir) berkata, “Istri al-Aziz (pembesar negeri Mesir) menggoda pelayannya untuk (menyerahkan) dirinya. Sungguh pelayannya telah membuatnya mabuk cinta. Sesungguhnya kami benar-benar melihatnya berada di dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. Yusuf:30)
Istri Nabi Ibrahim dan Istri Imran
Dalam menggambarkan kondisi Sarah, istri Nabi Ibrahim dan istri Imran, Al-Qur’an menggunakan diksi امْرَاَتُ yang dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi kedua istri laki-laki salih tersebut.
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ
Artinya:
“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya´qub.” (Q.S. Hud: 71)
إِذْ قَالَتِ امْرَاَتُ عِمْرَانَ رَبِّ اِنِّيْ نَذَرْتُ لَكَ مَا فِيْ بَطْنِيْ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ ۚ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Artinya:
“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Ali Imran: 35)
Untuk konteks istri Nabi Ibrahim, Sarah binti Haran penggunaan diksi إمرأت dipahami sebagai bentuk gambaran tentang kondisi Sarah yang tidak kunjung hamil padahal umurnya sudah 70 tahun (menurut keterangan tafsir Al-Munir), sementara Nabi Ibrahim sudah berumur 100 tahun (ada yang mengatakan 120 tahun).
Namun karena doa Nabi Ibrahim, pada akhirnya Sarah pun bisa hamil dan melahirkan bayi bernama Ishaq.
Memiliki anak di usia senja merupakan bentuk kekurangan dan aib dalam kehidupan rumah tangga.
Karena alasan itulah, Al-Qur’an menarasikan kisah Sarah dengan diksi إمرأت.
Sementara mengenai kisah istri Imran, yang bernama Hannah binti Faqudza alasan penggunaan lafal إمرأت disebabkan karena semenjak menikah dengan Imran, mereka tak kunjung dikaruniai seorang anak.
Meski begitu, Imran dan Hannah tak henti-hentinya berdo’a agar dianugerahi keturunan yang salih. Allah mengabulkan do’a mereka.
Dengan izin Allah, Hannah pun mengandung bayi perempuan diusianya yang sudah senja. Namun sayang, sebelum sang bayi lahir, Imran telah wafat. []