Meneladani Sahabat Rasul, Zaid Bin Haritsah
Sejarah telah mengungkap bahwa, satu-satunya sahabat yang namanya diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an (al-Ahzab ayat 37) adalah Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah r. a dahulu ia di panggil “ anak muhammad” panggilan itu berlanjut lama hingga di turunkan firman Allah,
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( al-Ahzab;5).
Ia juga suka di gelari “kekasih Muhammad Rasulullah Saw.” Dalam suatu peristiwa menyatakan kau adalah saudara kami dan maula kami. Begitu besar hingga menjadi kekasih Muhammad Rasulullah saw, hingga sayyidatina r.a menyatakan, ‘tidak pernah rasululllah saw, mengirimkan zaid bin haritsah dalam suatu pasukan melainkan ia di angkat sebagai komandan pasukan itu. Kalua ia masih hidup sesudah rasulullah, tentulah ia diangkat menjadi penggantinya’.
Demikian pula dengan kisah kehidupan zaid sendiri. Mungkin takdir Allah mengeluarkan dari lingkarannya dari lingkaran jahiliah, tempat kabilah hidup pada khususnya dan jazirah arab, bahkan dunia seluruhnya dengan isinya, pada umumnya untuk didekatkan dengan daerah yang penuh keberkahkan, yang dipilhnya sebagai tempat turun wahyu-nya, sehingga ia bias melakukan perannya yang sudah digariskan sebelum diciptakan, mengemban risalah Allah Ta’ala ke seluruh umat manusia dengan sekuat-kuatnya sealama hayat di kandung badan.
Zaid bin Haritsah berasal dari suku Bani Mu’in, ibunya bernama Su’da binti Tsa’labah. Tidak ditemukan keterangan pasti mengenai tahun kelahirannya, namun Zaid wafat pada tahun ke-8 Hijriah ketika menjadi panglima dalam perperangan Mut’ah. Pada zaman jahiliyah, ibu Zaid mengadakan kunjungan ke kampung persukuan anaknya itu, kampung Bani Mu’in. Namun secara tiba-tiba sekawanan tentara berkuda dari Bani al-Qin bin Jusr menyerang perkampungan tersebut dan merampas serta menawan apapun yang berharga dari kampung tersebut, termasuk Zaid bin Haritsah yang akhirnya dijadikan budak belian. Zaid dibawa ke pasar Ukazh dan dijual seharga 400 dirham kepada Hakim bin Hizam bin Khuwailid, untuk bibinya Siti Khadijah bin Khuwailid.
Pada suatu hari , Khadijah binti khuwailid r.a. pergi berziarah kerumah hakim bin hizam ( pada waktu itu, ia sudah menjadi istri Rassulullah saw)., lalui ia melihat dan tertarik kepada budak hakim yang kecil itu. Rupanya, Hakim mengerti perasaan saudara ibunya itu, lalu katanya tiba-tiba, “ya Am-mah, pilihlah di antara budak budak itu yang kau mau, saya berikan sebagai hadiah”,. Sayyidatina Khadijah r.a. tertarik benar kepada budak kecil yang berkulit sawo matang, berhidung pesek, dan berperawakn pendek itu. Ternyata pilihannya jatuh pada Zaid Bin Haritsah. Ia tertarik melihat wajahnya yang mengungkapkan kepolosan jiwanya, kemurnian hatinya, dan kobaran semangatnya.
Sesudah dibawah kerumahnya, rassulullah saw. Yang ahli filsafat dalam melihat air muka oran, meminta kepda istri tercintanya supaya zaid diberikan kepadannya. Sayyidatina Khadijah memberikan Zaid kepada Rasulullah dan Rasulullah saw. Gembira sekali atas hadiah istrinya itu, lalu ia memerdekakan budak itu dan diasuh dengan baik sekali seperti mengasuh putranya sendiri.
Setelah itu, Rasulullah saw. Membawa Zaid ke Masjidil Haram dan mempermaklumkan sabdanya, “wahai orang-orang, saksikanlah bahwa Zaid ini adalah anaku dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya.”
Namun di sisi lain orang tua zaid di rundung kesedihan yang mendalam. Ibunya Zaid (Su’ad binti Tsa’labah) terus-terusan menangis meratapi nasib anaknya yang hilang. Kesedihannya bertambah karena dirinya tidak tahu apakah Zaid masih hidup atau sudah mati. Begitupun dengan ayah Zaid (Haritsah). Dia tidak pernah berhenti mencari anaknya ke seluruh penjuru kawasan. Dia juga bertanya kepada kafilah yang ditemuinya. Saking sedihnya, Haritsah menumpuhkan perasaan itu melalui bait-bait syair.
Lama-kelamaan berita itu terdengar oleh bapak Zaid yang kebetulan juga tengah mencari anaknya. Setelah bertemu dan mengutarakan apa yang dia inginkan kepada Rasulullah, akhirnya beliau tidak bisa berkata apa-apa melainkan memberikan keputusan sepenuhnya kepada Zaid, Rasulullah tidak langsung menolak ataupun menerima tawaran orang tua Zaid tersebut. Rasulullah kemudian memanggil Zaid untuk memilih sendiri, yaitu antara memilih tinggal bersama Rasulullah atau pulang ke rumah orangtuanya. Namun Zaid memutuskan untuk tetap tinggal bersama Rasulullah dan semenjak itulah banyak orang yang memanggilnya sebagai Zaid bin Muhammad.
Dengan demikian, hati ayah dan pamannya tenang melepaskan putranya itu. Keduanya lalu pulang kembali dengan senang hatui. Sejak itu, Kenangan sedih zaid selama ini pudar seketika sesudah mendapatkan kasih sayang Rasulullah saw. Dan istrinya, menggantikan kesayangan ibu bapaknya sendiri.
Zaid bin Haritsah adalah seorang pahlawan pemberani, seorang tentara yang tabah dan patuh kepada perintah panglimanya. Zaid sebagai komandan pasukan islam, antara lain ke kabilah-kabilah Bani Tsa’labah dan untuk mencegat Kafilah Quraisy yang dating dari Syam. Ia juga dikirimkan untuk memimpin pasukan dengan nama sandi “Hasma”, dengan kekuatan 500 orang, ke kabilah Judzam dan kembali dengan kemenangan perang 1.000 ekor unta, 500 ekor kambing, dan 100 orang anak-anak dan kaum wanita, yang kemudian masuk islam, lalu semua barang dan orang itu dikembalikan lagi oleh Rasulullah Saw.
Sampailah pada penyerbuan ke Mu’tah. Rasulullah saw. Beridir untuk menyampaikan pesan selamat jalan kepada pasukan yang hendak berangkat menuju ke perbatasan daerah Romawi, lalu sabdanya “ aku angkat Zaid Bin Haritsah sebagai pimpinan kalian, kalua ia terkena hendaklah ja’far bin abi Thalib maju sebagai penggantinya. Kalua ia terkena juga, hendaklah Abdulllah bin Ruwahah maju sebagai penggantinya”
Ketika kaum muslimin melihat besarnya pasukan Romawi yang berjumlah tidak kurang dari 200 ribu orang, mereka merasa takut, tidak menyangka akan menghadapi pasukan sebesar itu. Dua hari dua malam, mereka merundingkan hal itu. Ada yang mengusulkan, “kita beritahukan hal itu kepada Rasulullah saw. Kita beritahukan jumlah bilangan pasukan musuh.”
Abudullah bin Ruwahah berkata membangkitkan semangat juang mereka, “wahai saudara-saudara! Sebenarnya tujuan kalian ke medan laga yang tidak yang menyenangkan ini untuk memperoleh syahadah. Kita keluar memerangi musuh bukan semata-mata tergantung pada senjata, kekuatan, atau bilangan orang. Kita tidak memerangi mereka kecuali dengan agama ini, yang Allah Ta’ala berkenan menganugerahkannya kepada kita. Ayolah, kita lanjutkan peperangan ini. Kita akan meraih satu dari kebajikan yang Alllah Janjikan kepada kita menang atau mati syahid.”
Para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa Zaid bin Haritsah adalah seorang sahabat yang adil. Ibnu Hajar menyebutnya dalam Tahdzib al-Tahdzib dengan Shahabiyyun Jalilun masyhurun (sahabat mulia yang terkenal). Beliau meriwayatkan beberapa hadis langsung dari Nabi Muhammad SAW dan diantara sahabat yang meriwayatkan hadis darinya adalah Usamah bin Zaid (anak Zaid sendiri), Bara’ bin A’dzib, Jublah bin Haritsah (saudara laki-lakinya), Abdullah bin Abbas dan anaknya Ali bin Abdullah bin Abbas, Hudzail bin Syurahbil, dan Abu al-A’liyyah al-Rayyaahi.