Meneladani Akhlak Rasulullah Di Era Digital
Bagaimana Cara Meneladani Akhlak Rasulullah Di Era Digital. Begini Cara Meneladani Akhlak Rasulullah Di Era Digital.
HIDAYATUNA.COM – Seperti yang kita ketahui, Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin, membawa ajaran kasih sayang kepada kita semua. Dalam membumikan ajaran Islam yang universal, Allah swt. mengutus Nabi Muhammad saw. untuk menyampaikan kitab sucinya, al-Qur’an, dan memberikan keteladanan yang baik melalui sunnah beliau. Dalam hal ini Allah swt. berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْ اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا. الآية
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus diiringi dengan meneladani akhlak Rasulullah Saw. agar kita tidak hanyut dalam arus globalisasi. Krisis moral yang mendera bangsa Indonesia sangat kompleks, khususnya krisis kejujuran.
Belakangan ini, banyak sekali kita jumpai berbagai macam informasi yang berkeliaran di sekitar kita. Derasnya arus informasi menjadikan kita terkadang kesulitan untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak benar. Semenjak era digital mulai diminati masyarakat, sebagian besar pola hidup mereka mulai teralihkan dari hidup yang nyata menjadi setengah nyata atau bahkan tidak nyata, dari sosialis menjadi individualis, dan yang paling berbahaya adalah dari produktif menjadi konsumtif.
Pola hidup konsumtif secara moral inilah yang terkadang menjadikan kita mudah percaya, terpengaruh, dan terprovokasi oleh informasi yang masih dipertanyakan keakuratannya. Sikap konsumtif secara moral membuat kita malas untuk menelusuri asal-usul penyebar suatu informasi, sehingga dengan sangat mudahnya kita percaya dan terperdaya. Ironisnya, kita ikut-ikutan menyebarkan informasi tersebut secara berantai tanpa keberatan sama sekali.
عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبِ رضي الله عنهما، قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ، وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ.” الحديث
Artinya: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib berkata: Aku menghafalkan sabda Rasulullah Saw: “Tinggalkan apa yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta menggelisahkannya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Dengan demikian, kejujuran merupakan suatu kebaikan, sedangkan dusta atau bohong merupakan keburukan dan kejahatan, termasuk juga menyebarkan berita bohong. Hadis tersebut menjelaskan bahwa tidak sepantasnya seorang muslim itu menjadi pembohong. Oleh karena itu, belajar jujur dan menjauhi sikap bohong atau dusta harus dimulai dari pembaharuan keimanan seseorang. Dalam hal ini Allah swt. berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا. الآية
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
Kejujuran terbukti menyelamatkan bahtera rumah tangga, masyarakat, dan negara. Kejujuran pula yang menyelamatkan seorang muslim dari siksa api neraka di hari kiamat kelak. Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlak, dan pondasi kemanusiaan. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap, akhlak tidak sempurna, dan seseorang tidak sempurna sebagai manusia.
Akhirnya, semoga kita senantiasa mampu meneladani akhlak Rasulullah saw. demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin bagi umat Islam dan baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur bagi bangsa dan negara.