Menelaah Kembali Makna Hijrah

 Menelaah Kembali Makna Hijrah

Menelaah Kembali Makna Hijrah

HIDAYATUNA.COM – Pada tulisan beberapa hari lalu saya menulis bahwa istilah hijrah yang dipakai sebagai tren sekarang ini tidak tepat sebab istilah yang tepat adalah taubat.
Asalnya tidak shalat lalu berubah tekun shalat, asalnya mengumbar aurat lalu menutup aurat, asalnya suka dugem lalu berhenti diganti suka ngaji, dan sebagainya, itu istilah resminya adalah taubat. Bila taubatnya serius, maka disebut taubat nasuha.
Lalu seperti saya duga sebelumnya, bermunculanlah para netizen yang membawakan hadis Nabi yang seolah menyalahkan apa yang saya tulis.
Seorang kawan saat itu meminta saya menulis bahasan ini di status tersendiri, tapi saya bilang: “Biar saja, kita tunggu semua bulliyan itu keluar.
Oke, sekarang waktunya kita bahas sebab kayaknya sudah keluar semua. hahahaha… Tapi saya ingatkan ini ulasan panjang sebab membahas perubahan makna hijrah sejak awal kemunculannya di era klasik hingga bentuknya di masa modern.
Makna Hijrah dalam Istilah Klasik
Pertama, makna Hijrah yang asal adalah perpindahan Rasulullah dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Muslim yang berhijrah disebut sebagai Muhajir.
Hijrah dalam makna ini telah berakhir sehingga Nabi bersabda,
“Tidak ada hijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah”, maksudnya kaum muslimin saat itu tidak akan diperintah pindah ke tempat lain lagi.
Akan tetapi hukum hijrah dari negara yang membuat seorang muslim tidak dapat menjalankan ibadah ke negara lain yang kondusif tetap berlaku.
Ini sebenarnya bukan bahasan kita meskipun makna hijrah ini tetap berlaku pada makna selanjutnya sebab ini adalah makna hijrah yang paling asal dan digunakan dalam peristilahan hijrah secara umum.
Dari makna ini pula muncul kalender hijriah yang hitungannya dimulai sejak hijrahnya Rasulullah ke Madinah itu.
Kedua, hijrah dalam arti yang lebih luas. Dalam hal ini Nabi bersabda,
«المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالمُهَاجِرُ ‌مَنْ ‌هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ» (بخاري)
Artinya:
“Muslim adalah pribadi yang mana kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya. Orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)
Hadis inilah yang dinukil netizen untuk mengkritik apa yang saya tulis sebelumnya. Mari kita cermati redaksi hadis ini baik-baik di mana Nabi Muhammad membahas dua istilah, yakni istilah ‘muslim’ dan istilah ‘muhajir’ (orang yang hijrah).
Dalam redaksi ini, beliau mengartikan muslim adalah orang yang baik yang tak menyakiti muslim lainnya. Lalu apakah yang berbuat jahat bukan muslim?
Tentu masih muslim. Kemudian muhajir adalah yang meninggalkan maksiat, apakah para sahabat yang pindah dari makkah ke madinah bersama beliau lalu bermaksiat bukan muhajir? Tentu masih disebut muhajir.
Lalu bagaimana maksudnya? Maksudnya, Nabi sedang memberitahu kondisi ideal/sempurna dari pribadi seorang muslim dan seorang muhajir (orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah).
Jangan sampai hanya baca syahadat masuk Islam tapi masih suka zalim pada orang lain sebab itu bukan muslim ideal.
Jangan sampai sesudah hijrah dari madinah ke makkah masih saja melakukan maksiat sebab itu bukan muhajir yang paripurna.
Jadi konteksnya adalah nabi mengajak para sahabatnya menjadi pribadi yang ideal, tidak sekedar masuk islam dan tidak sekedar pindah tempat dari Makkah ke madinah saja.
Syaikh Ibnu Baththal dalam syarah Bukharinya menjelaskan makna ini sebagai berikut:
«شرح صحيح البخارى لابن بطال» (10/ 195):
«وقوله: (‌المهاجر ‌من ‌هجر ما نهى الله عنه) يعنى المهاجر التام الهجرة من هجر المحارم»
Artinya:
“Sabda Nabi Muhammad “Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah” maksudnya adalah Muhajir yang sempurna hijrahnya adalah orang yang meninggalkan hal yang diharamkan.”
Pemaknaan ini sesuai dengan kaidah yang disampaikan oleh al-Hafidz Badruddin al-Aini ketika mengomentari hadis tersebut. Beliau menjelaskan:
«عمدة القاري شرح صحيح البخاري» (1/ 133):
«وَذَلِكَ لِأَن الْجِنْس إِذا أطلق يكون مَحْمُولا على ‌الْكَامِل»
Artinya:
“Hal itu karena apabila suatu jenis disebut tanpa embel-embel, maka konteksnya adalah yang sempurna/ideal.”
Ini adalah konteks asli hadis tersebut, yakni untuk memberi standar yang lebih tinggi bagi kaum muslimin dan muhajirin saat itu.
Dengan demikian sebenarnya tidak ada kaitannya antara hadis tersebut dengan pembahasan saya yang mengkritik makna hijrah di masa kini.
Lalu apakah tidak memungkinkan makna muhajir (orang yang hijrah) di sini diperluas lagi tidak hanya untuk para sahabat muhajirin tapi untuk semua muslimin yang ada di setiap masa? Jawabannya adalah bisa, beberapa ulama melakukannya.
Kata hijrah sendiri berasal dari akar kata hajara yang berarti meninggalkan. Syaikh Syamsuddin al-Birmawi menjelaskan:
«اللامع الصبيح بشرح الجامع الصحيح» (1/ 135):
«(وَالْمُهَاجِرُ) من الهَجْر، وهو التَّرْك»
Artinya:
“Muhajir adalah orang yang melakukan hajr, yakni meninggalkan sesuatu”
Kemudian al-Birmawi menyebutkan kemungkinan tafsiran lain (qil) dari yang saya sebutkan di atas yang menjelaskan asal-usul hadis tersebut sebagai berikut:
«اللامع الصبيح بشرح الجامع الصحيح» (1/ 136):
«وقيل لمَّا شَقَّ فَواتُ الهِجْرة على بعضهم قيل المُهاجرُ (مَنْ هَجَرَ مَا نهى اللَّهُ عَنْهُ). ويحتمل أنَّه قال ذلك بعد الفتْح، فإنَّه لا هجرةَ حينئذٍ إلا هجْرة المعاصي»
Artinya:
“Konon, ketika sebagian sahabat merasa sedih karena tertinggal dari hijrah, maka Nabi Muhammad bersabda: “Muhajir adalah siapa pun yang meninggalkan maksiat”, kemungkinan ini terjadi setelah fathu makkah sebab saat itu tidak ada hirjah lain kecuali meninggalkan maksiat.”
Dengan mengikuti pendapat lain (qil) tersebut, kita tahu bahwa makna muhajir diperluas pada seluruh kaum muslimin yang meninggalkan maksiat, bukan hanya untuk yang meninggalkan Makkah menuju Madinah.
Karena itu, dalam hadis lain Nabi menekankan para sahabat agar menjaga aturan syariat di rumah mereka masing-masing.
«الاستذكار» (7/ 277):
«أَقِمِ الصَّلَاةَ وَآتِ الزَّكَاةَ وَمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَاجْتَنِبْ مَا نَهَاكَ عَنْهُ وَاسْكُنْ مِنْ أَرْضِ قَوْمِكَ حَيْثُ شِئْتَ)»
“Dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan apa yang diwajibkan padamu dan jauhi apa yang dilarang Allah dan tinggallah engkau di negeri kaummu sendiri semaumu”.
Makna perluasan inilah yang barangkali menjadi rujukan awal istilah hijrah yang menjadi tren di masa modern. Ini juga yang dijadikan dasar oleh netizen untuk menganggap paparan saya dalam artikel sebelumnya keliru. Sebelum kita bahas apa yang saya maksud dengan istilah hijrah di masa modern, perlu kiranya saya sebutkan beberapa nukilan sebagian ulama yang memaknai istilah hijrah sama seperti taubat agar para pembaca tidak repot-repot lagi mencari nukilan semacam ini.
Ibnu al-Malak mengartikan Hijrah menjadi tiga makna sebagai berikut:
«شرح المصابيح لابن الملك» (4/ 261):
«”والهجرة”؛ أي: بالانتقال من مكة إلى المدينة قبل فتح مكة، ومن دار الكفر إلى دار الإسلام بعد الإسلام، ومن المعصية إلى التوبة»
Artinya:
“Hijrah adalah berpindah dari Makkah ke Madinah sebelum penaklukan kota Makkah, dan dari negeri kafir ke negeri islam setelah berkuasanya Islam, dan dari maksiat menuju taubat.”
Al-Qasthalani juga berkata senada itu berkata:
«شرح القسطلاني = إرشاد الساري لشرح صحيح البخاري» (1/ 56):
«وفي الحقيقة هي مفارقة ما يكرهه الله تعالى إلى ما يحبه»
Artinya:
“Secara hakikat, hijrah adalah berpisah ari apa yang dibenci Allah pada apa yang dicintainya.”
«مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح» (1/ 46):
«وَكَذَا الْهِجْرَةُ مِنَ الْمَعَاصِي ثَابِتَةٌ»
Artinya: “Demikian pula hijrah dari maksiat benar adanya.”
Ada beberapa ulama lain yang berkata senada, tapi saya rasa tidak perlu saya nukil semuanya. Di titik ini para netizen yang menganggap istilah hijrah sama dengan taubat akan menemukan justifikasi kebenarannya.
Akan tetapi sekali lagi kita perlu konsisten dan cermat dalam memakai makna ini, jangan sampai memakai standar ganda.
Bila saya tanya apakah seorang pria muda yang sehari-hari dia memakai celana panjang standar orang Indonesia (sampai mata kaki atau di bawahnya) dengan mengikuti fatwa Mazhab Syafi’i bahwa isbal tidak haram selama pelakunya tidak berniat sombong, kemudian lelaki tersebut juga mencukur habis jenggotnya sebab dia ikut Mazhab Syafi’i yang tidak mengharamkan mencukur jenggot, apakah pria ini disebut sebagai pemuda hijrah?
Kemungkinan besar jawabannya tidak termasuk pemuda hijrah dan tidak bisa masuk komunitas hijrah, meskipun dia pria baik yang telah menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Demikian pula ketika saya tanya, apakah sosok semisal Gus Baha’, Habib Qurasiy Shihab dan Para Kyai NU yang khas dengan sarungnya dikenal sebagai Ustadz Hijrah? Jawabannya adalah tidak, meskipun mereka semua istiqamah dalam kesalehan dan meninggalkan kemaksiatan sesuai dengan hadis Nabi di atas.
Memang benar, bahwa kata hijrah mengalami perluasan makna hingga salah satu maknanya semakna dengan taubat, tetapi makna ini berlaku umum bagi semua muslim dengan ciri-ciri tersebut, tidak hanya bagi komunitas tertentu dengan ciri khas tertentu.
Kalau konsisten menggunakan makna ini seharusnya dalam semua contoh saya di atas orang-orangnya disebut muhajir atau orang yang berhijrah. Saya pun seharusnya disebut sebagai orang yang hijrah, tapi kan tidak demikian kenyataan di lapangan sekarang.
Di sinilah poin kritik saya pada istilah hijrah di masa modern yang saya sebut sebagai bid’ah sebab tidak sama lagi dengan makna yang dipakai di masa lalu.
Makna Hijrah dalam Istilah Modern
Perluasan makna kata hijrah yang dibahas di bagian sebelumnya oleh para ulama telah mengalami penyempitan makna sedemikian rupa di masa modern sekarang ini.
Apabila anda mengetik di google dengan kata kunci “ustadz hijrah”, “pemuda hijrah”, “artis hijrah” dan sebagainya, maka akan muncul sederet panjang berita dan gambar tentang komunitas yang mempopulerkan makna baru ini. Orangnya itu-itu saja dan komunitasnya itu-itu saja dan pemahamannya ya itu-itu juga.
Istilah hijrah ini sama sekali tidak berlaku untuk semua orang yang bertaubat, tapi untuk komunitas mereka yang sepemikiran dengan mereka.
Bisa dibilang bahwa kata hijrah telah berubah menjadi semacam “merek dagang” bagi komunitas tertentu.
Berbagai jenis profesi dan hobby bisa diberi embel-embel hijrah oleh pemegang merek ini, misalnya artis hijrah, dokter hijrah, biker hijrah dan sebagainya. Bahkan ada pula kampung hijrah.
Di antara ciri paling menyolok dari para pembawa istilah hijrah dalam makna sempit ini adalah berjenggot panjang dan cingkrang bagi laki-laki.
Jangan memberi saya dalil tentang memelihara jenggot dan cingkrang pada saya sebab saya sangat tahu itu semua adalah bagian dari keutamaan.
Namun menjadikan kedua sunnah ini sebagai identitas hijrah adalah hal yang tidak dikenal dalam sejarah islam di masa lalu.
Adanya hanya di masa modern ini. Inilah yang saya kritik sebagai bid’ah. Tentu saya sendiri meyakini bid’ah ada dua, yakni hasanah dan sayyi’ah sedangkan fenomena orang taubat adalah jelas masuk pada yang hasanah.
Hanya saja kita tahu komunitas tersebut menolak keras pembagian bid’ah semacam ini sehingga saya paham kenapa mereka tidak akan suka ketika hal baru ini saya sebut bid’ah.
Masalah lainnya bukan hanya sekedar pada perubahan tampilan sebab sebenarnya itu positif, tetapi pada tingkah laku.
Banyak dari kita yang tahu di antara mereka yang ketika bertaubat malah merasa paling benar sendiri dan berani mengkritik tradisi islami yang sudah turun temurun sebagai tradisi bid’ah.
Meskipun baru ‘hijrah’, tidak berat lisan mereka memasuki area ikhtilaf lalu latah memberikan vonis padahal secara keilmuan seharusnya itu belum layak mereka lakukan.
Tentu tidak semua orang yang memakai ‘merek’ hijrah demikian, tapi karena ini adalah tulisan kritik pada perilaku negatif maka ciri negatif ini yang ditampilkan tanpa bermaksud menggeneralisir pada semua orang.
Inilah yang menjadi latar belakang kenapa saya menganjurkan untuk memakai istilah standar saja bagi orang yang berubah dari maksiat menuju taat, yakni istilah taubat.
Ada pun istilah hijrah meskipun dulu juga dipakai untuk makna serupa tetapi ia telah mengalami penyempitan makna yang tidak dikenal di masa lalu. Semoga bermanfaat.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *