Meneguhkan Kembali Visi Kemanusiaan Kita
Oleh. Muhammad Iqbal Juliansyahzen*
HIDAYATUNA.COM – Islam sebagai suatu ajaran yang membawa visi kemanusiaan adalah pandangan yang mutlak yang disepakati di kalangan Muslim. Persoalannya kemudian adalah bagaimana Islam dipahami oleh para pemeluknya dalam konteks historis dan sejarahnya yang berbeda-beda. Pada tataran terakhir, potensi perbedaan menjadi sangat terbuka. Secara teologis, kita yakini bersama bahwa Islam adalah tunggal dan final, namun pemahaman terhadap Islam tentu akan berbeda-beda dan beragam.
Maka, seseorang Muslim sudah seharusnya mendudukan kembali dan membedakan, mana yang disebut dengan agama (al-dīn) dan pemahaman keagamaan (al-afkār al-dīn). Terkadang kita terlalu serius berdebat dan bahkan saling menyalahkan dan mengkafirkan pihak yang berseberangan dengan pemahaman kita. Padahal sebetulnya kita sedang berbeda pada tataran pemahaman keagamaan.
Dalam menyikapi fenomena tersebut, memang seharusnya seorang muslim harus terbuka terhadap perbedaan yang mengitarinya. Kita harus mendidik diri untuk terbiasa dalam sebuah perbedaan. Perbedaan adalah sunnatullah (order of nature) yang tidak bisa kita pungkiri.
Pada tahap inilah, sisi kemanusiaan kita diuji. Apakah kita mampu mengatur perbedaan menjadi sebuah rahmah atau justru bencana. Agama harus dipahami secara komprehensif dan bijaksana. Pandangan yang sempit terhadap agama akan berpotensi melahirkan pemahaman yang justru melegalkan kekerasan dan permusuhan antar pemeluk agama.
Maka, melihat fenomena ini, sementara para ahli sosiolog berpandangan bahwa agama seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi. Satu sisi dapat menjadi alat pemersatu, namun disisi lain agama pula dapat menjadi alat pemecah belah seperti halnya fanatisme buta keagamaan (Yahya, 2010). Karena itu, umat Islam perlu membuka diri dan menyisakan ruang dalam diri terhadap pluralitas pemahaman keagamaan.
Religius-Humanis; Satu Paket
Salah satu visi dasar dan utama Islam hadir ke muka bumi adalah membawa visi kemanusiaan. Banyak sekali landasan teologis yang menguatkan hal ini. Salah satu visi kemanusiaan tersebut bisa kita baca secara jelas dalam QS. Al-Imran [3] : 110. Salah satu visi penting dalam ayat tersebut menyatakan bahwa umat Islam diutus sebagai umat terbaik untuk manusia (lī an-Nass). Kuntowijoyo, dalam paradigma profetiknya, menyebutnya dengan prinsip humanisasi.
Secara umum, humanisasi adalah prinsip memanusiakan manusia. Seorang muslim yang baik sudah seharusnya memposisikan manusia sebagai manusia, tidak membeda-bedakan baik karena perbedaan agama, suku, ras dan maupun kelas sosial.
Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial sempat dihebohkan dengan fenomena adanya sweeping beberapa Muslim yang mendatangi rumah di sekitar wilayahnya yang beragama non-Muslim yang sedang menjalankan ritual keagamannya. Apalagi dalam situasi di tengah wabah yang mengharuskan untuk tetap di rumah, termasuk untuk urusan ibadah.
Peristiwa ini tentu memilukan. Dalam doktrin keagamaan, Nabi sangat mengecam peristiwa seperti itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan barangsiapa yang melukai dzimmi maka sejatinya ia telah melukai Nabi. Praktik Nabi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, realitas ini dapat dibaca pada realitas kepemimpinan Nabi di Madinah. Piagam Madinah merupakan bukti bahwa kemanusiaan merupakan salah satu substansi-etis dakwah Nabi.
Pemahaman keagamaan yang baik akan berimplikasi pada praktik sosial keseharian yang baik pula. Semakin religius seorang individu sudah semestinya ia akan semakin humanis, karena kemanusiaan merupakan salah satu prinsip dasar risalah agama ini. Karena itu, jika ada seorang penganut agama dan ia tidak humanis, maka ada yang salah dalam keagamaannya. Kedua entitas tersebut adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam hal ini, ungkapan Omar Imran penting untuk kita renungi. Ia menyatakan bahwa “kalau jadi religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, keras, kasar dan fitnah, periksalah! Kamu menyembah Tuhan atau egomu!”.
Pemahamaan keagamaan yang mengkooptasi pemahaman keagamaan hanya dalam perspektif internalnya saja merupakan bentuk otoritarianisme keagamaan (Khaled Abou Fadl, 2009). Menjerat teks dalam pusaran kepentingannya sehingga sisi kemanusiaan menjadi luntur tentu tidak sejalan dengan prinsip dasar beragama.
Maqasid dan Orientasi Kemanusiaan
Dalam merealisasikan pemahaman keagamaan yang berorientasi pada visi kemanusiaan, kita dapat membacanya melalui perspektif maqasid kontemporer. Pemaknaan ulang terhadap konsep maqasid telah dilakukan oleh para pemikir muslim yaitu dengan berorientasi pada nilai-nilai moralitas, universalitas, hak asasi manusia yang kesemuanya berorientasi pada kemashlahatan manusia.
Menjaga agama (hifz al-dīn) tidak sekedar dipahami hanya untuk menjaga agama penganut dengan menjalankan ritual keagamaanya saja, tetapi juga berorientasi pada tata nilai yang lebih luas yaitu menjaga keharmonisan antar umat beragama dalam menjalankan keagamaanya. Realitas sweeping di atas jelas bertolak-belakang dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Dalam memahami konsep menjaga akal (hifz al-‘aql) misalnya juga perlu dikontekskan dalam dimensi kemanusiaan yang lebih luas, yaitu perlunya menghargai pemikiran dan pendapat orang lain. Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan alamiah.
Sikap saling menyalahkan bahkan sampai mengkafirkan sama halnya dengan tidak menghargai kemanusiaan. Selagi pendapat yang disampaikan itu masih dalam ruang diskusi, ranah ijtihadiyah maka tindakan pengkafiran adalah perbuatan yang bertolak-belakang dengan prinsip kemanusiaan sekaligus keagamaan. Kalau pun keluar dari prinsip dasar, sikap kekerasan terhadapnya tidak dapat dibenarkan.
Begitu halnya dalam konsep penjagaan lainnya, prinsip kemanusiaan menjadi tata nilai yang inheren dalam Islam. Islam tidak hanya mengandung unsur Ketuhanan (ilahiyyah) saja, tetapi juga ada membawa dimensi kemanusiaan(insaniyyah).
1 Comment
Ajib sekali, tulisan yg sangat menginspirasi bagi setiap orang agar merenungi kembali sikap dan pikirannya apakah sudah sesuai dg ajaran agama yg sesungguhnya ataukah masih terjebak pada pemaksaan yg menginduk fanatisme kelompok