Menegaskan Kembali Piagam Madinah sebagai Konstitusi Negara
Oleh: Mj. Ja’far Shodiq (Ketua Umum Lingkar Tunas Cendekia Yogyakarta)
Pergulatan pemahaman tentang bentuk Negara dalam Islam sampai sekarang ini masih relevan untuk didiskusikan. Pergulatan tersebut terkait dengan munculnya fenomena Takfiri, yaitu dimana suatu golongan selalu menuding kafir suatu golongan lain selain golongannya, sehingga menggambarkan seolah Islam jauh dari kata universal. Imam Samudra dalam bukunya Aku Melawan Teroris, memaknai Islam dengan merujuk pada surat Al-Māidah ayat 44 yang berbunyi:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa berhukum selain hukum Allah maka mereka termasuk golongan orang-orang kafir”.
Ayat itu jika dimaknai secara tekstual (harfiah) akan mereduksi makna universalitas Islam. Jika dihubungkan dengan negara dalam pandangan Islam, maka Negara yang tidak memakai hukum Islam (bukan Negara Islam) termasuk negara kafir. Jika demikian, lanjut pemahaman tekstual itu, maka negara dengan sistem pemerintahan republik seperti Indonesia dimasukkan sebagai negara kafir. Pemikiran demikian cenderung menyempitkan makna Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘ālamin. Pelaksanaan hukum Islam seolah menjadi sesuatu yang tidak kompromis serta tidak dialogis dengan keadaan, sehingga muncul keterpaksaan menjalankan syari’at Islam. Padahal kita tahu bahwa Islam memberikan kemudahan bagi pemeluknya agar melaksanakan hukum sesuai kemampuannya.
Salah seorang Guru Besar Ilmu Politik Islam UIN Jakarta, Bachtiar Effendi dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam (1998), disitu dijelaskan bahwa Islam sejatinya tidak mengkonsepkan bentuk-bentuk pemerintahan secara detail, Islam pada dasarnya hanya berperan sebagai panduan nilai, moral dan etika dalam bentuknya yang universal. Demikian pula ketika kita bicara tentang hubungan antara Islam dan demokrasi, Islam dan politik, serta Islam dan tatanan masyarakat. Alquran hanya memberikan wawasan, bukan konsep tentang suatu tatanan masyarakat dalam negara secara detail. Untuk itu, konstruksi bangunan tatanan masyarakat yang ada dalam suatu negara pasti akan berbeda dengan negara lain, meski harus dikatakan bahwa prinsip dasarnya adalah sama.
Jika kita mencermati ulang sejarah (pemikiran) Islam, pemahaman terhadap negara tidaklah tunggal, karena Nabi SAW tidak pernah membukukan satu bentuk Negara pun kepada umat Islam. Secara historis, cikal bakal Negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak lahirnya Piagam Madinah.
Keputusan Nabi SAW untuk mengganti nama dari Yatsrib menjadi Madinah bukanlah suatu kebetulan. Perubahan nama tersebut oleh Nusrcholis Madjid (1999) dijelaskan seperti semacam isyarat langsung akan adanya definisi proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak terwujud suatu masyarakat yang teratur yang sering kita sebut dengan masyarakat Madani (penyebutan ini pertama kali dipopulerkan langsung oleh Nurcholis Madjid). Masyarakat Madani pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa seperti yang selama itu menjadi praktek umum sebuah Negara (baca: kerajaan). Dasar-dasarnya diletakkan oleh Nabi SAW kemudian dikembangkan oleh para Khulâfaur Râsyidin dengan membentuk sistem pemerintahan. Hasilnya ialah suatu tatanan sosial politik yang menurut Robert N. Bellah –seorang sosiolog Amerika Serikat -sangat modern, bahkan ia katakan terlalu modern untuk zaman dan tempatnya.
Konstitusi Madinah (Piagam Madinah) merupakan dokumen pertama dalam sejarah umat manusiayang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Pasal pertama dalam piagam tersebut menyebutkan;
. انهم امة واحدة من دون الناس
“Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak termasuk berbeda dengan golongan manusia yang lain”
Salah seorang peniliti sejarah, Zainal Abidin (2014) dalam bukunya yang berjudul Piagam Madinah, Konstitusi Pertama di Dunia, menjelaskan bahwa Istilah “ummah” dalam pasal ini mempunyai pengertian yang sangat dalam, yang mengubah paham dan pengertian kewarganegaraan yang hidup di kalangan bangsa Arab. Dengan timbulnya “ummah”, dibongkarlah paham bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang sangat memecah belah masyarakat Arab. Kehidupan politik yang sangat sempit karena kabilah dan suku, berganti dengan suatu masyarakat yang luas bebas dengan dasar persamaan yang merata.
Kata “ummah” disebutkan dalam Alquran sebanyak 48 kali ditambah 12 kali kata “umam” (bentuk jamak dari ummah). Kata ini berasal dari kata “umm” (ibu), perkataan “umam” yang diartikan “bangsa-bangsa” dapat ditafsirkan dengan ungkapan “ibu sumber kedaulatan dalam negara”. Begitu pula dapat diambil dari asal kata “imamah”, yang berarti “pemimpin”, baik agama maupun politik. Dari sinilah pula lahirnya kata “imam”, yang berarti “pemimpin” agama atau politik.
Bagi telinga bangsa Indonesia, istilah ini sebenarnya masih sangat baru sekali. Menjadikan kata majemuk “bangsa’ dan “negara” menjadi satu, merupakan keistimewaan baru yang dibawa oleh Islam ini. Ia bukanlah “bangsa” menurut pengertian yang sudah dikenal, karena “ummah” yang menjadi warga dari Negara Islam terdiri atas berbagai bangsa. Bangsa-bangsa yang banyak itu menjunjung negara yang satu dengan satu Konstitusi.
Bangsa dalam arti biasa, diikat dan digabung satu oleh “negara”, sehingga batas karena perbedaan turunan, bahasa, dan daerah dihapuskan. Semua menjadi “ummah”, karena satu negara yang dijunjung, satu hukum, dan satu penguasa. Perlu diketahui, di dalam Piagam Madinah, kata “ummah” dua kali dipergunakan, pertama dalam pasal 1, seperti yang sudah disebutkan di atas, sedangkan yang kedua dalam pasal 25 yang berbunyi: “kaum Yahudi dari suku Bani Auf adalah satu bangsa-negara, (ummah) dengan warga yang beriman”. Oleh karena itu, dalam Piagam Madinah, pasal pertama yang disebutkan jelas membuktikan adanya pengakuan kepada semua penduduk Madinah, tanpa memandang perbedaan agama, suku bangsa sebagai anggota umat yang tunggal, dengan hak-hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, bisa sedikit disimpulkan ada masanya ia menjadi “nasional”, kemudian menjadi “multinasional” untuk akhirnya menjadi “internasional”.
Tujuan konsep “ummah” dan pengembangannya adalah adanya mayarakat yang disebut masyarakat Madani. Masyarakat Madani adalah model masyarakat yang dibangun oleh Nabi SAW selepas hijrah ke Madinah. Masyarakat Madani adalah suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al-Musāwah), toleransi (tasāmuh) dan kebebasan (al-Hurriyah), amar ma’ruf nahi munkar, musyawarah (al-Syūra), keadilan (al-‘Adālah), dan keseimbangan (Tawāzun). Nilai-nilai yang ditekankan oleh Masyarakat Madani inilah yang sebetulnya menjadi tujuan utama hidup berbangsa dan bernegara.
Jadi secara prinsip, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan nilai-nilai luhur lainnya, maka pembentukan “Negara Islam” dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgent.