Mencetak Generasi Penulis

 Mencetak Generasi Penulis

Mencetak Generasi Penulis (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kemunduran dunia Islam di dua abad terakhir ini umumnya  ditandai dengan mulai surutnya karya-karya ilmiyah para ulama muslim.

Coba perhatikan jajaran kitab turats, rata-rata penulisnya adalah ulama yang masa kehidupannya antara tahun 200-an hijiryah hingga 1.300-an hijriyah.

Uniknya, begitu masuk abad ke-14 hijriyah, tiba-tiba karya para ulama itu menghilang begitu saja.

Memang surutnya karya ulama muslimin sejak awal abad ke-14 itu hanya salah satu indikator saja, tetapi tetap menjadi fenomena yang menarik diamati.

Berhentinya karya-karya terbaru itu bukan berarti umat Islam meninggalkan ilmu agama.

Ilmu agama tetap dipelajari, tetapi tanpa adanya karya-karya terbaru yang sesuai dengan kebutuhan zamannya.

Sehingga umat Islam di abad ke-14 ini agak kesulitan untuk bisa melihat ke alam nyata. Sebab kitab-kitab yang mereka telaah dan mereka pelajari bolak-balik itu ternyata ditulis di masa yang jauh sebelum perkembangan zaman berikutnya.

Tentu saja isu-isu yang diangkat masih terbatas di zamannya. Sedangkan untuk konteks kekinian, nyaris tidak mereka temukan jawabannya.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kita kepada karya ulama di masa lalu, namun tidak adanya karya ilmiyah yang terbaru dengan memasukkan faktor-faktor kekinian dalam cara menganalisa masalah, sedikit banyak ikut berperan dalam ketertinggalan mereka dalam mengantisipasi zaman.

Yang paling sederhana saja, ketika bicara batasan air dua qullah yaitu batasan antara air sedikit dan air yang banyak, kebanyakan kitab-kitab fiqih klasik tidak mencantumkan berapa liter.

Ya kan kitab itu ditulis ketika umat manusia di dunia ini belum lagi menggunakan ukuran liter.

Yang disebutkan dalam kitab klasik itu sebatas konversi ke zaman-zaman di masa kitab fiqih klasik itu ditulis. Kadang dikonversi menjadi 5 qirbah (قربة), kadang pakai ukuran 500 Rithl Baghdadi,  (رطل بغدادي), kadang juga pakai ukuran berat zaman jadul yaitu Mitsqal (مثقل).

Semua besaran dan skala itu memang pernah berlaku di masa lalu. Dan itulah yang tertulis di dalam kitab fiqih klasik.

Tapi dua qullah itu berapa liter untuk ukuran hari ini, nyaris tidak ada penjelasannya, kecuali hanya di footnote.  Itu pun kalau penerbitnya iseng menambahi dan tidak lupa.

Dan konversi ke liter pun ternyata beda-beda versinya di tangan ulama kontemporer.

Ketika saya ubek-ubek kitab yang disusun ulama kontemporer, ketemulah beberapa angka yang saling berbeda. Padahal mereka satu mazhab, yaitu mazhab Syafi’i.

  1. Dr. Wahbah Az-Zuhaili = 270 Liter (ِالفقه الإسلامي و أدلته)
  2. Mushthafa Dib al-Bugha = 190 Liter (التهذيب في أدلة متن الغاية و التقريب)
  3. Habib Hasan bin Ahmad bin Muhamad al-Kaf = 217 liter (التقريرات السديدة)

Maka  para santri di masa sekarang bingung, dua qullah itu berapa liter?

Di cari-cari di kitab kuning yang protolan pastinya tidak ada penjelasannya.

Mungkin kalau beli yang terbitan modern kadang ada tahqiqnya. Tapi tahqiqnya beda-beda dan tidak ada penjelasan kita pakai yang mana.

Maka para mahasiswa Fakultas Syariah di hari ini punya beban berat untuk bisa menghidupkan kembali budaya dan tradisi para ulama terdahulu, yaitu kembali lagi menurunkan karya-karya terkini yang bisa mengantisipasi realitas kekinian.

Jangan sampai nanti orang belajar ilmi-ilmu keislaman seperti belajar ilmu sejarah masa lalu. Seolah agama ini hanya milik orang di masa lalu.

Kita butuh karya-karya ilmiyah yang ditulis di masa kini, dengan mengangkat isu dan tema-tema yang realistis di masa kita.

Sedangkan apa-apa yang sudah terkubur dalam sejarah, kita letakkan dalam rak buku sejarah. []

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *