Menambahkan Nama Suami Di Belakang Nama Istri Haramkah?
Polemik mengenai persoalan ini sudah berkembang begitu lama, tidak jarang membuat orang-orang terjebak dan menghukuminya secara serampangan. Hal itu karena memang kurangnya pemahaman terhadap konteks dan saklek berpegang pada teks semata. Untuk memahami persoalan ini mari disimak penjelasan di bawah ini.
Kita mulai dengan mengutip Hadits riwayat Abi Dzar berikut:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ
Artinya: “Orang yang mengaku keturunan dari orang yang bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia tahu, maka dia telah kafir.” (HR. Muslim)
Hadits inilah yang biasanya dipakai untuk dasar menghukumi haramnya menambahkan nama suami dibelakang nama istri. Tapi benarkah begitu? Mengutip pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa dalam memahami sebuah hadits seseorang harus mengetahui illatnya termasuk dalam memahami hadits di atas. Dengan demikian kita tidak serta merta mengharamkan seseorang yang menambahkan nama suaminya setelah namanya.
Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan :
ﻭﺇﻧﻤﺎ اﻟﻤﺮاﺩ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺗﺤﻮﻝ ﻋﻦ ﻧﺴﺒﻪ ﻷﺑﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺃﺑﻴﻪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻋﺎﻣﺪا ﻣﺨﺘﺎﺭا ﻭﻛﺎﻧﻮا ﻓﻲ اﻟﺠﺎﻫﻠﻴﺔ ﻻ ﻳﺴﺘﻨﻜﺮﻭﻥ ﺃﻥ ﻳﺘﺒﻨﻰ اﻟﺮﺟﻞ ﻭﻟﺪ ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻳﺼﻴﺮ اﻟﻮﻟﺪ ﻳﻨﺴﺐ ﺇﻟﻰ اﻟﺬﻱ ﺗﺒﻨﺎﻩ ﺣﺘﻰ ﻧﺰﻝ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ “اﺩﻋﻮﻫﻢ ﻵﺑﺎﺋﻬﻢ” وقوله سبحانه وتعالى “ﻭﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﺃﺩﻋﻴﺎءﻛﻢ ﺃﺑﻨﺎءﻛﻢ” ﻓﻨﺴﺐ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻢ ﺇﻟﻰ ﺃﺑﻴﻪ اﻟﺤﻘﻴقي وترك الانتساب إلى من تبناه
Artinya: “Yang dimaksud dalam hadis ini adalah orang yang berpindah dari nasab bapaknya ke nasab selain bapaknya secara sadar, sengaja dan tidak dipaksa. Mereka di zaman Jahiliyah tidak mengingkari penisbatan seorang anak kepada orang lain. Dan seorang anak dinasabkan kepada orang tua adopsi, hingga Allah berfirman: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka..” (Al-‘Aĥzāb :5) dan ayat: ” … Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)” (Al-‘Aĥzāb : 4). Maka setelah itu setiap dari mereka menasabkan anaknya kepada orang tua aslinya dan meninggalkan praktik menasabkan pada orang yang mengadopsinya”. (Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari 12/55)
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan yang dimaksud oleh hadits di atas (hadits riwayat Muslim) bukanlah diperuntukkan untuk semua orang yang menambahkan nama orang lain setelah namanya, akan tetapi lebih spesifik ditujukan kepada orang yang mengakui orang lain sebagai ayahnya. Maka dari itu sangatlah jelas bahwa konteksnya adalah mengecam praktek jahiliyah mengaku-ngaku sebagai keturunan orang atau tokoh tertentu.
Lebih lanjut mengenai praktek demikian mari kita dalami apa yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW. Nabi memiliki budak yang dimerdekakan bernama Zaid. Karena saking lekatnya Zaid dengan nabi, maka Zaid dipanggil Zaid bin Muhammad. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar berikut ini.
أن زيد بن حارثة مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم ما كنا ندعوه إلا زيد بن محمد. حتى نزل القرآن) ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله (فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أنت زيد بن حارثة بن شراحيل
Artinya: “Sesungguhnya kami selalu memanggil Zaid, budak yang dimerdekakan Rasulullah dengan panggilan Zaid bin Muhammad sampai turunlah ayat ‘Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan nama bapak-bapak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah,’ (Surat Al-Ahzab ayat 5). Nabi pun berkata, ‘Kamu adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.’”
Hadits di atas jelas Rasulullah melarang karena memanggil Zaid disambung dengan nama beliau adalah dalam konteks suapaya tidak tertukar dalam anggapan biologis. Konteks tersebut merupakan alasan kuat dilarangnya bukan lainnya.
Penambahan Nama Dibolehkan
Menurut mufti Mesir Syekh Ali Jum’ah menyandarkan nama suami dibelakang nama istri diperbolehkan dan bahkan dapat menjadikan identitas seseorang tersebut. Beliau mendasarkan bahwa Allah dalam Al Qur’an menyebutkan nama-nama istri nabi dengan nama nabi:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ
Artinya: “Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir”. (Qs. At-Tahrim : 10)
Dalam ayat di atas disebutkan : ” اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ /imra’atu Nuh dan imra’atu Luth“. Ada juga dalam ayat lain menyebutkan: ” اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ /imra’atu Fir’aun” (at-Tahrîm: 11). Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa nama suami disandarkan dibelakang nama istri.
Dalam sebuah yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri radliyallahu a’nhu, dikisahkan:
أَنَّ زَيْنَبَ امْرَأَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَاءَتْ تَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْكَ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيَلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ؛ ائْذَنُوا لَهَا, فَأُذِنَ لَهَا
Zainab istri Ibnu Mas’ud datang kepada beliau dan meminta izin untuk bertemu. Lalu salah seorang yang ada di rumah berkata, “Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu.” “Zainab siapa?” tanya beliau. “امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ/istri Ibnu Mas’ud.” Lalu beliau berkata, “Ya, persilahkan dia masuk.”
Menurut uraian di atas menjadi jelas bahwa mencantumkan nama suami dibelakang nama istri hukumnya boleh. Larangan atau yang tidak diperbolehkan adalah mencantumkan nama orang lain di belakang namanya secara sengaja dengan niat nisbah biologis, karena sama halnya bentuk pengingkaran terhadap bapak kandungnya sendiri. Demikian yang dapat kami jelaskan dan uraikan. Wallahu a’lam.
Sumber:
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari 12/55
Lembaga Fatwa Mesir, Fatwa No. 152, Tanggal 27/10/2008