Menakar Moderasi Beragama di Media Sosial

 Menakar Moderasi Beragama di Media Sosial

Pedoman Bersosial Media Ala MUI (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Media sosial merupakan dunia lain dari kehidupan manusia dewasa ini. Media sosial seolah-olah menjadi tempat favorit yang bisa disinggahi, berharap kebahagiaan dan mencari-cari kesenangan antara satu dan yang lain.

Kita tidak boleh menutup mata, bahwa dari berbagai generasi bisa dipastikan ada semacam keterhubungan, komunikasi dan interaksi di media sosial. Inilah era revolusi informasi.

Pada awalnya, media sosial dianggap sebagai makhluk yang menyeramkan, harus dijauhi dan kalau perlu dibasmi ke akar-akarnya. Media sosial merusak sikap dan perilaku sosial.

Itu dulu, sebelum ada candu menampilkan keberadaan atau aktivitas yang serba online. Manusia memang makhluk tidak konsisten. Sekarang bicara A besok B bahkan besoknya lagi Z.

Mari tengok cara kita bermedia sosial, jangan-jangan masih terjebak pada sikap intoleransi, ekstrim sana sini, penuh hujat satu sama lain atau bahkan tak bisa membedakan berita hoax dan yang bukan?

Dian Budiargo (2015), menyampaikan bahwa dengan adanya internet (media sosial), segala aspek kehidupan (informasi) dapat dikomunikasikan secara cepat dan mengglobal. Bahkan teknologi yang berupa media sosial telah membuka tabir dunia dan justru akan menumbuh kembangkan interaksi baru dengan dua kutub berseberangan: positif dan negatif.

Lagi-lagi media sosial seperti pisau. Jika digunakan dengan baik akan menghasilkan kemanfaatan dan jika sebaliknya justru akan melukai diri sendiri.

Tidak jarang, bila akhir-akhir ini di media sosial banyak konten dan berita yang menyeret kita pada perpecahan, adu domba dan ujaran kebencian. Hal ini bila kita lihat lebih mendalam merupakan efek dari ketidakmampuan individu dalam mengontrol emosi dan pengetahuan dirinya.

Meskipun kita tahu bahwa media sosial diakui atau tidak juga bisa mengubah pola pikir dan cara pandang terhadap kehidupan sosial masyarakat. Gelombang kebencian, intoleransi dan sikap kekerasan yang lain begitu mudah kita temui, lebih-lebih di Indonesia, kasus seperti itu jumlahnya bertambah.

Menurut data dari Polda Metro Jaya, setidaknya pada putaran bulan April sampai Mei, angkanya sudah mencapai 433 kasus berita palsu, ujaran kebencian dan ekstrimisme. Lagi-lagi angka yang cukup besar di tengah pandemi hari ini.

Begitu pun dalam kehidupan beragama di Indonesia, terutama di media sosial. Hal ini tidak seperti yang dikatakan oleh John L. Esposito (2010), bahwa adanya media sosial, umat Islam bisa leluasa mengakses berbagai informasi tanpa hambatan.

Sebenarnya ada banyak persoalan keberagamaan kita di media sosial. Seperti kecenderungan mengidolakan ustaz baru, artis yang hijrah kemarin sore dan tokoh ormas yang sering berteriak takbir di jalan dan podium.

Umat beragama bisa begitu mudah untuk mengikuti arus fashion hanya dengan menggunakan media sosial. Tidak peduli bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan pola pikir dan tradisi saling mengahargai.

Media sosial menjadi tempat ibadah yang tanpa sekat dan aturan yang ketat sehingga hal ini dimanfaatkan untuk terus mengekspresikan diri. Dengan cara menampilkan apa pun yang dianggap perlu tanpa ada pertimbangan terlebih dahulu.

Dari sinilah muncul sikap skeptis, intoleransi dan kebencian atas nama agama.

Terakhir, saya ingin mengutip pendapat Raymond F. Paloutzian dalam Invitation to Psychology of Religion 1996. Bahwa orientasi keagamaan manusia dapat mempengaruhi sikap.

Begitu sebaliknya, sikap keagamaan di lain waktu akan mempengaruhi perilaku keagamaan. Dalam medium sikap, suatu orientasi beragama dapat menentukan sikap yang secara moral relevan (morally relevant attitude).

Seperti contoh dalam bentuk prasangka terhadap pihak lain. Dari sikap yang secara moral relevan ini pada waktu lain dapat juga menampilkan perilaku sosial yang secara moral relevan.

Dengan demikian, sikap kita di media sosial setidaknya perlu ada kontrol atau rem pengendali. Sebab bagaimana pun agama telah mengajari sikap toleransi, perdamaian, kebaikan, sopan santun dan juga menghargai pendapat orang lain. Tidak justru menganggap bahwa yang di luar kelompok kita layak didiskriminasi di media online.

Muhammad Syaiful Bahri

Belajar menulis esai dan resensi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *