Memulai Ajaran Islam Ramah dan Rahmah Dari Rumah
Oleh: Anas Shoffa’ul Jannah
Kita tentu tidak asing lagi dengan pepatah “Rumah ku adalah Surga ku” (baitii jannatii). Sepenggal pepatah yang kelihatan pendek, namun syarat makna.
HIDAYATUNA.COM – Secara tersirat makna dari pepatah rumah adalah surga, kompleks dan multi-dimensi. Di sini penulis mencoba mengawali tulisan ini dengan mengurai makna dari pepatah rumah adalah surga. Bagaimana sebuah bangunan yang disebut dengan rumah ternyata menjadi muara dari realitas kehidupan masyarakat? Serta mempunyai pengaruh dan dampak yang luar biasa bagi individu di dalamnya. Sehingga berpengaruh pada pola tatanan masyarakat yang ada, apakah ke arah tatanan masyarakat muslim yang ramah dan rahmah, atau sebaliknya penuh dengan kekhawatiran, kebencian dan rasa takut (terror)?
Pertama, rumah adalah pondasi dasar dari bangunan nilai dan norma. Layaknya sebuah bangunan rumah tidak bisa dilepaskan dari piranti-piranti seperti pondasi, tembok dan penyangga. Beberapa piranti tersebut mempunyai fungsi organic yang tidak bisa terpisah antara satu dengan yang lain. Dari sini pada dasarnya mengilhami sebuah tatanan yang disebut dengan keluarga. Keluarga merupakan kumpulan dari beberapa individu yang membentuk satu kesatuan dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, perjalanan keluarga yang sehat tentu dipengaruhi oleh organ anggota yang sehat pula. Organ anggota yang sehat dimaksudkan adalah berjalannya sistem yang ada dalam keluarga secara seimbang. Yaitu keseimbangan menjalankan peran sesuai dengan tanggung jawab yang telah disepakati oleh masing-masing anggota sehingga tidak saling memberatkan.
Berhubungan dengan peran dan tanggung jawab yang dijalankan masing-masing individu dari anggota keluarga dari sini adalah proses awal sosialisasi nilai dan norma yang menjadi bekal seseorang berbaur dengan kumpulan keluarga yang lebih luas, atau disebut dengan masyarakat. Itulah tentunya rumah menjadi bagian penting yang membentuk memori seseorang bagaimana ia bersikap dan bertindak ketika menghadapi problematika hidup yang ada.
Kedua, rumah adalah tempat menepi dan filter segala informasi. Di tengah hiruk pikuk kehidupan yang komplek dengan berbagai dinamika zaman yang mengitari, kejenuhan tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan. Dalam kondisi seperti itu, rumah adalah destinasi pokok yang bisa meredam segala gundah, gelisah, lara dan kekecewaan sehingga bisa berubah menjadi binar kebahagiaan dan harapan baru yang lebih positif.
Sebagai penetralisir dari segala pengaruh negative dari luar rumah, baik dari lingkungan sekitar, sekolah, pertemanan atau pergaulan pintu dialog antar anggota keluarga harus selalu terbuka. Tentunya dalam keluarga tidak perlu diberlakukan “jaga gengsi”, “tidak enak jika merepotkan” dan sebagainya. Oleh karena itu, orang tua sebagai nahkoda dari berjalannya layar keluarga harus mampu menjadi guru, fasilitator dan penasehat sesuai permasalahan dan kebutuhan anak.
Peran penting dari orang tua menjadi modal pokok dari proses pendewasan anak. Pendewasaan yang tidak hanya meliputi dimensi intelektual, tetapi juga sosial serta spiritual. Penguasaan dan penghayatan nilai dan norma agama serta budaya yang ada dalam diri orang tua menjadi bagian penting dari terbentuknya pribadi yang sehat dalam diri anak. Segaris terbalik dengan hal tersebut, ketidak mapanan pribadi orang tua juga akan berpengaruh pada proses pendewasaan anak.
Hilangnya sosok uswah hasanah (suri tauladan) dalam keluarga karena kealpaan orang tua dalam mendidik anak, bisa berdampak pada perjalanan karir anak di masa depan. Seperti halnya dalam beberapa kasus, keputusan seseorang masuk dalam gerakan terorisme adalah karena faktor pencarian identitas yang belum usai. Seorang anak perlu mencari pemahaman agama yang dianggap legitimate karena merasa belum puas dengan kemampuan dan pemahaman agama yang dimiliki. Kemudian melalui internet si anak merasa semua kegelisahannya terjawab.
Masuknya seseorang dalam jaringan gerakan terorisme tentu menciderai karirnya sebagai pribadi yang telah diamanatkan oleh Allah SWT menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Sebagai khalifah seyogyanya bisa menebar kedamaian bagi alam semesta. Karena tidak mungkin setiap permasalahan yang ada di muka bumi ini tanpa jalan keluar. Pun jika mungkin ada permasalahan yang “alot” bisa saja dilakukan penyelesaian melalui musyawarah, negosiasi atau perjanjian. Bukankah pada zaman Nabi Muhammad juga sudah sering dilakukan metode-metode seperti itu.
Ketiga, rumah adalah awal yang tiada akhir. Sebagai tempat bernaung, menepi, pergi-pulang dan kembali rumah menjadi titik awal seseorang diakui eksistensinya. Tapi tidak hanya menjadi awal, rumah juga menjadi akhir yang tidak pernah berakhir dalam menjalankan peran sebagai media penetralisir segala informasi dari luar.
Proses perekaman melalui panca indera yang melekat dalam tubuh seseorang akan mengirim informasi atau perintah pada bagian tubuh yang lain untuk bertindak. Dari sini setelah adanya proses melihat, mendengar atau merasakan sesuatu (seperti bersimpati atau berempati atas suatu kejadian) seseorang akan mengambil sebuah keputusan. Entah itu menerima, menolak atau sekedar pasif tanpa merespon.
Berbagai respon yang dilakukan seseorang dalam bentuk pengambilan keputusan tentu tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan kondisi yang dihadapi. Pertimbangan kondisi yang meliputi sistem serta tatanan nilai dan norma yang memperbolehkan seseorang bertindak atau tidak bertindak. Secara sosiologis keputusan yang diambil seseorang dipengaruhi dengan latar belakang pertimbangan “alienasi” atau semacam sanksi sosial pengucilan jika tidak seragam dengan pandangan masyarakat umum.
Untuk itu peran keluarga harus dioptimalkan, terutama di era teknologi seperti saat ini. Berbagai konten yang bisa mengarah pada profokasi untuk melakukan tindakan teror telah banyak berhilir-mudik dalam berbagai sumber informasi. Dari rumah melalui peran keluarga sangat mungkin untuk melakukan konstruksi dan rekonstruksi untuk menetralisir simpang-siur berita, informasi atau ajakan yang bisa mengarah pada kemadhorotan diri sendiri, atau kemadharatan umum.
Santri Pesantren Budaya Nusantara Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta. Aktif juga dalam Kajian di Laboratorium Sosiologi Agama (LABSA) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).