Memperbaiki Keturunan atau Merusak Keturunan Orang?

 Memperbaiki Keturunan atau Merusak Keturunan Orang?

Memperbaiki Keturunan atau Merusak Keturunan Orang? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sering saya dengar orang yang berkata bahwa dirinya mencari calon suami atau istri atau calon menantu yang hebat untuk memperbaiki keturunan.
Karena ekonomi pas-pasan, lalu maunya mencari yang kaya raya. Karena ilmu pas-pasan, maka maunya mencari yang berpendidikan tinggi untuk memperbaiki keturunan.
Karena nasab biasa saja, maka maunya mencari yang nasabnya tinggi. Karena tampilan wajah standar, maka mencari yang rupawan. Alasannya simpel, ingin memperbaiki keturunan.
Meskipun tidak salah sebagai sebuah harapan, tapi keinginan semacam itu tidak bagus. Kenapa tidak bagus?
Karena kalau impian ‘memperbaiki keturunan’ itu terjadi betulan, maka pihak yang lebih bagus artinya sedang merusak keturunan.
Yang kaya dapat yang tidak kaya, yang bernasab tinggi dapat yang tidak bernasab tinggi, yang rupawan dapat yang biasa saja, kalau pakai logika yang sama kan artinya merusak keturunan.
Maaf, kebenaran yang blak-blakan memang agak pahit didengar.
Bila pernikahan yang tidak seimbang itu terjadi, maka rawan terjadi sakit hati berkepanjangan sebab yang lebih rendah cenderung diremehkan.
Kalau bukan oleh pasangannya sendiri maka biasanya oleh keluarga besarnya.
Banyak istri diperlakukan hanya seperti pembantu dan suami yang diperlakukan hanya seperti sopir dalam pernikahan yang ‘memperbaiki keturunan di satu sisi tapi merusak keturunan di sisi lain’ seperti itu.
Karena itu, dalam islam diperkenalkan konsep kafa’ah alias kesetaraan sosial.
Meskipun ini bukan syarat sah pernikahan, tapi merupakan hal yang penting diperhatikan.
Idealnya, seseorang disarankan menikah dengan calon yang setara (sekufu’) dengan dirinya secara sosial, bukan dengan yang jauh lebih tinggi dan lebih

hebat
Setara dalam apa?
Dalam hal apa pun yang diperhitungkan secara sosial, semisal agama, kesalehan, profesi orang tua, keningratan (nasab), penghasilan, status sosial dan sebagainya.
Kalau sudah menemukan calon yang setara, maka barulah membangun rumah tangga yang baik, berusaha dan berjuang bersama dari nol hingga sukses.
Anak-anaknya dididik dengan baik hingga punya masa depan yang cerah melebihi orang tuanya.
Inilah yang dimaksud memperbaiki keturunan dengan cara yang ideal, bukan potong kompas ingin yang sudah tinggi dari awal dalam kondisi diri sendiri masih rendah.
Kadang di antara orang yang ingin potong kompas ‘memperbaiki keturunan’ ini ada juga yang ketika lamarannya ditolak malah sakit hati lalu mencela keluarga calonnya dengan dibilang mata duitan.
Hanya memandang materi dan hal duniawi, tidak menghargai orang seperti dirinya, mentang-mentang

hebat dan sebagainya.
Padahal salahnya sendiri yang nekat mau ‘merusak keturunan’ orang lain yang lebih baik darinya.
Loh tapi ada yang menikah jomplang tinggi-rendah tapi bahagia dan tidak diremehkan kan?
Ya betul ada, tapi jarang terjadi di dunia nyata, yang banyak di dunia dongeng seperti kisah Cinderella.
Kalau kebetulan mendapat calon pasangan atau calon menantu yang jauh di atas levelnya tapi sangat dihargai, maka itu namanya rezeki nomplok.
Tapi yang beginian tidak bisa dijadikan nasehat standar sebab jarang terjadi.
Sama dengan kasus ada orang yang mandi di sungai kemudian menemukan sebongkah berlian, itu rezeki nomplok bagi yang bersangkutan tapi kita tak bisa menasehati orang lain agar mandi di sungai siapa tahu dapat berlian. Nasehat kita, kalau mau dapat berlian ya kerja keras lalu beli berlian.
Kalau mau memperbaiki keturunan, maka didik keturunannya dengan baik hingga berkualitas.
Terakhir, karena kafa’ah atau kesetaraan itu punya banyak aspek, maka melihatnya tidak bisa kaku dari satu aspek saja tapi harus mempertimbangkan semua aspeknya hingga terjadi ‘tawar menawar’.
Misalnya seseorang dari segi materi biasa-biasa saja dan dari keluarga biasa juga, tapi kelebihannya pintar, cerdas dan rupawan bisa ‘tawar menawar’ dengan calon yang berasal dari keluarga kaya tapi secara keilmuan biasa saja dan dalam hal rupa tergolong standar.
Kalau semua pihak deal dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka artinya kesetaraan (kafa’ah) tercapai dan kemungkinan untuk saling menghargai lebih besar.
Paling terakhir, barangkali ada yang nanya bukankah ada ulama yang berkata bahwa kesetaraan (kafa’ah) hanya dalam aspek agama saja.
Artinya pokoknya seagama atau setidaknya setara kesalehannya maka sudah dianggap setara/sekufu’? Ya betul, ada yang bilang begitu tapi itu tidak realistis.
Yang saya pakai di sini adalah pendapat yang realistis yang mempertimbangkan aspek-aspek yang dianggap sebagai kelebihan dan kekurangan dalam diri seseorang.
Setelah yang paling terakhir, jangan mudah baper. Jangan lupa bahwa jodoh atau tidak itu sudah ditakdirkan.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *