Memisahkan Agama dengan Ilmu, Mungkinkah?
HIDAYATUNA.COM – Sebenarnya, kaum muslimin tidak pernah mengalami krisis dikotomi (pemisahan) antara agama dengan ilmu (science). Ini karena yang menurunkan ayat yang dibaca (maqru`) dan ayat yang dilihat (manzhur) adalah Satu.
Oleh karena itu, tidak akan ada kontradiksi antara ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat. Keduanya saling menopang dan mendukung dengan satu tujuan membuktikan bahwa dibalik semua ini ada Aktor Yang Maha Segalanya.
Oleh sebab itu pula, kaum muslimin tidak pernah anti terhadap karya-karya ilmiah dan science dari umat yang lain. Semua dilihat sebagai produk pemikiran manusia yang dikaruniai akal oleh Sang Pencipta. Ketika mereka mengkaji karya-karya itu, mereka mengkajinya dengan semangat keislaman.
‘Ruh’ Keislaman dalam Pengetahuan
Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 164 :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Imam ar-Razi menceritakan sebuah kisah :
Suatu hari, Umar bin Husam –seorang penuntut ilmu yang kemudian menjadi seorang ulama besar- sedang mempelajari karya fenomenal astronom ternama Yunani ; Ptolemy yang berjudul Almagest. Buku itu ia pelajari dibawah bimbingan seorang ulama besar masa itu ; Umar al-Abhari.
Tiba-tiba seorang ahli fiqih lewat di dekat mereka. Ia bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan?”
Umar al-Abhari langsung menjawab, “Kami sedang menafsirkan ayat: “Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka bagaimana Kami membangunnya…” (QS. Qaf ayat 6).
Antusiasme Seorang Muslim
Setelah menceritakan itu, Imam ar-Razi berkomentar :
“Al-Abhari benar. Semakin kita memahami makhluk (ciptaan) Allah semakin kita merasakan kebesaran dan keagungan-Nya.”
Karya Ptolemy dipelajari secara objektif, tidak perlu di-Islamisasikan. Tetapi semangat mempelajarinya berangkat dari ruh keislaman yang tinggi.
Dengan demikian kemurnian hasil penelitian dan produk pemikiran seorang peneliti tetap terjaga. Akan tetapi di saat yang sama, semangat mempelajarinya berangkat dari tanggungjawab sebagai seorang muslim dan khalifah Allah di muka bumi.