Membumikan Laku Moderasi Beragama

 Membumikan Laku Moderasi Beragama

Secuil Cerita tentang Lika-liku ‘Amplop’ Kiai (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Topik moderasi beragama dalam konteks keindonesiaan melulu dijadikan sebagai topik penting di setiap tahunnya. Hampir di berbagai seminar, dialog keagamaan, mata kuliah di kampus, lingkaran komunitas tertentu, maupun secara personal, moderasi dengan segala padanan katanya digaungkan.

Pasalnya gesekan dan percikan dari hal yang remeh-temeh sampai munculnya konflik yang menelan sekian korban dan merusak fasilitas umum, hampir terjadi dari tahun ke tahun. Saya rasa ini bukan ihwal belum matangnya beragama dari seseorang.

Sebaliknya, formulasi moderasi sendiri memerlukan ejawantah yang konkret dari acuan konseptual yang masih melangit dan berjarak dengan realitas. Terlebih lagi problem yang dihadapi oleh masing-masing umat beragama, dari waktu ke waktu, mesti melibatkan variabel baru yang cukup kompleks.

Pada buku Moderasi Beragama (2019) yang dipublikasikan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, konsep moderasi memiliki akar kata dari bahasa Latin ‘moderatio’ yang berarti kesedangan, tidak berlebihan, atau tidak kekurangan.

Adapun dalam bahasa Arab, konsep moderasi ini disebut dengan kata wasat atau wasatiyyah yang sepadan dengan kata tawassut (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).

Berangkat dari kata itu, umat Islam memunculkan interpretasi yang bermacam-macam. Ada interpretasi yang menekankan bahwa, beragama sebaiknya tidak terlalu berlebihan. Beberapa ada juga yang mendefinisikan sebagai sikap beragama yang tidak fanatik dan tidak literal dengan melepaskan konteks masyarakatnya. Terlepas dari itu, moderasi menginginkan laku beragama dengan wajah yang lebih ramah.

Tetapi yang menarik adalah pendapat dari Prof. Mohammad Hashim Kamali mengenai adanya pendapat tentang moderasi beragama, maupun kasus tertentu yang mengharuskan sikap moderasi beragama. Di bukunya bertajuk The Middle Path of Moderation in Islam:The Quranic Principle of Al-Wasatiyya (2015), ia menekankan posisi moderasi beragama sebagai sikap yang muncul karena adanya ikhtilaf (pandangan). Baginya ikhtilaf ini sudah sunnatullah, maka laku moderasi juga mesti mengikuti setiap kemunculan dari ikhtilaf, di mana saja dan kapan saja.

Ia menyandarkan sikap moderasi beragama ini melalui legitimiasi di surah Al-Baqarah ayat 143. Ayat tersebut memuat penghargaan bagi manusia, terutama umat muslim. Bahwa selain diciptakan dengan sempurna, umat muslim juga dijadikan sebagai umat pertengahan. Ia menafsirinya sebagai anjuran bagi setiap umat muslim supaya bersikap adil, baik dalam menunaikan peribadatan maupun ketika berada di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Dari sini kita bisa melihat bahwa, moderasi beragama bukan terletak pada agamanya yang dimoderasi. Sebab saya rasa agama apa saja, apalagi Islam, sudah moderat baik ditilik dari ayat-ayat di kitab suci maupun prototipe semasa Kanjeng Nabi Muhammad masih hidup. Maka sebaliknya, yang dimoderasi adalah cara umat Islam dalam menjalankan agamanya.

Hanya saja bagi kelompok agama yang berhaluan kanan, sikap moderasi ini dinilai sebagai pengamalan agama yang tidak sungguh-sungguh. Kelompok jenis ini menganggap bahwa beragama itu mesti tegas, karena menyangkut keyakinan yang pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia, melainkan juga nanti di akhirat. Maka sikap tegas yang diwakili oleh diksi halal-haram, boleh-tidak boleh, kafir, sesat, dan benar mesti ditunaikan.

Kendati begitu, muslim di Indonesia lebih dulu memiliki nadi untuk bersikap moderat ketimbang yang ekstrem. Salah satu contohnya bisa kita temukan pada berbagai referensi mengenai Sunan Kudus yang tidak menyembelih sapi di Idul Adha dan diganti dengan kerbau.

Ada referensi yang menyebutkan bahwa, sikap Sunan Kudus ini adalah bentuk penghormatan kepada komunitas agama Hindu di Kudus. Dan sapi adalah hewan yang dihormati di agama Hindu.

Ada juga referensi yang mengatakan sekali waktu Sunan Kudus tengah melakukan perjalanan dakwah. Di tengah-tengah perjalanan dakwah ini, Sunan Kudus merasakan dahaga yang luar biasa. Di saat itulah ada pedanda atau pendeta Hindu yang kebetulan lewat lantas menghampiri Sunan Kudus dan memberinya air minum susu sapi untuk melepas dahaganya.

Referensi lain menyebut, dakwah Sunan Kudus ini berkiblat ke gaya dakwah Sunan Kalijaga. Alih-alih memberangus kepercayaan setempat, dakwah Sunan Kalijaga lebih memilih bersikap toleran. Tradisi umat Islam yang belum memuat nalar islami, oleh Sunan Kalijaga diarahkan pelan-pelan. Lantas tradisi umat agama lain dihormati selama tidak merugikan keberadaan umat Islam.

Contoh sikap moderasi beragama semacam ini saya rasa memang perlu untuk ditunaikan dengan takaran kadar sesuai problem yang dihadapi. Hal seperti ini bukan menunjukkan lemah dan kealpaan dalam memahami Islam, tapi malah untuk menunjukkan bahwa agama Islam dengan seperangkat alat dan kuantitas yang dimiliki, tetap bisa mengamalkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *