Membincang Problematika Wahyu, Al-Qur’an, dan Mushaf Usmani
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Istilah wahyu, Al-Qur’an dan Mushaf Usmani mungkin akrab bagi sebagian besar umat Islam.
Tetapi banyak dari kalangan ulama ahli Quran maupun para pengkaji Al-Qur’an memandang ketiga istilah tersebut sebagai sesuatu yang berbeda.
Dalam buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an ini, Aksin Wijaya mendefinisikan dan memberi pemisah yang jelas antara tiga terminologi yang selama ini dianggap identik, yaitu wahyu, Al-Qur’an, dan Mushaf Usmani.
Menurunya, ketiga terminologi tersebut merujuk kepada substansi yang berbeda dan sejauh ini para pemikir telah salah salah kaprah menggunakannya untuk satu substansi yang sama dan menggunakannya secara acak. Wahyu di sini diartikan sebagai kalam Tuhan tanpa lafadz.
Ketika mereka menggunakan terminologi Wahyu, maka yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Mushaf Usmani.
Ketika meraka menyebut Al-Qur’an, maka itu maksudnya adalah wahyu dan Mushaf Usmani.
Begitu juga ketika mereka menyebut Mushaf Usmani, maka yang dimaksud adalah substansi itu juga.
Sedangkan menurut Syekh Manna’ al-Qaththan, wahyu diartikan sebagai informasi yang secara tersembunyi dan dan cepat yang khusus ditujukan pada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.
Menurut Aksin, dari pengertian ini, berarti wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan karena dalam penyampaiannya, antara pihak yang menyampaikan atau komunikator dan pihak penerima atau komunikan menggunakan ‘sistem bahasa’ yang sama.
Bisa jadi Tuhan yang berada dalam ‘eksistensi supra-natural’ masuk ke dalam dimensi Muhammad, atau bisa juga sebaliknya.
Proses ini mungkin terjadi karena Tuhan dan manusia mempunyai sifat nasut dan lahut (yaitu dua potensi yang yang ada pada pencipta dan yang dicipta, yang memungkinkan keduanya bertemu).
Adapun Al-Qur’an diartikan Aksin dengan wahyu yang terucap menggunakan bahasa Arab.
Menurut aksin, Al-Qur’an sebagai wujud kongkrit pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira lima puluh persen pesan Tuhan.
Hal ini disebabkan karena sudah terjadi pengubahan bahasa dari pesan Tuhan menjadi sistem bahasa ilmiah yang biasa digunakan oleh masyarakat Arab sehingga mereka bisa lancar menerima pesan Tuhan tersebut.
Bahasa masyarakat Arab tentu tidak bisa menampung seluruh pesan dari bahasa Tuhan.
Sedangkan untuk Mushaf Usmani, Aksin sejalan dengan Mohammed Arkoun yang mengatakan bahwa Mushaf Usmani merupakan ‘korpus kesmi yang tertutup’.
Dikatakan ‘resmi’ karena pembukuan Al-Qur’an ke dalam suatu mushaf itu diputuskan berdasarkan ‘dekrit’ pemegang kekuasaan formal Khalifah Usman.
Dikatakan ‘tertutup’ karena setelah pembukuan itu menjadi Mushaf Usmani, tidak boleh ada lagi campur tangan dalam penulisan dan pembacaan teks Mushaf.
Untuk itu, Aksin menyatakan bahwa Mushaf Usmani, sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan.
Hal ini terjadi bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan karena keterbatasan bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.
Wallahu a’lam bisshowab. []