Membincang Persoalan Lingkungan, Kita Butuh Bumbu Keagamaan

Al-Karaji: Ahli Matematika dan Insinyur Hidrolik Islam Abad Ke-10 (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Saya teringat Hassan Hanafi dengan proyeknya Kiri Islam. Tesis besar yang diusung oleh Hanafi tidak lain bagaimana Islam menjadi diktum dan instrumen revolusi.
Ia berusaha untuk menjadikan Islam sebagai spirit mengangkat manusia dari ketertindsan, sebuah spirit profetik.
Hanafi menyadari itu, kiri dalam terminologi yang dipakainya tidak lain adalah barisan orang yang dihegemoni, ditindas, dan terpinggirkan.
Spirit besar yang dapat diraup dari gagasan Hanafi adalah semangat memerhatikan Bumi. Itulah yang turut serta mengilhami lahirnya lema “teologi bumi.”
Pada saat yang bersamaan saya juga teringat produk-produk hukum Islam, kadang saya lebih senang memakai term ini daripada fikih.
Objek produk hukum Islam tidak jauh-jauh dari relasi vertikal. Pembahasan relasi antara hamba dan Tuhannya menjadi topik khusus di dalam hukum Islam.
Tak ayal jika hasil ijtihad yang selama ini kita kenal hanya berpusar pada persoalan ibadah. Bahkan kitab-kitab fikih tidak sedikit yang dibuka dengan pembahasan thaharah tentu ini hanya cocokologi semata!).
Pada intinya yang hendak dikemukakan di sini bahwa perhatian seorang yuris pada zaman dulu hingga sekarang lebih condong teosentris, alih-alih antroposentris atau bahkan ekosentris.
Realita yang sampai dan catatan historis yang kita terima ihwal hukum Islam memang demikian.
Sangat minim, atau mungkin tidak ada, seorang mujtahid pada masanya memerhatikan eksistensi bumi. Sikap ortodoktif seperti itu yang kita anut dan imani sekarang.
Implikasi logisnya, sedikit gerakan pemerhati lingkungan yang mendapat senjata legitimatif dari agama. Lebih lantang mana suara pemuka agama ketika men-judge golongan yang dianggap sesat dibanding berteriak ihwal kerusakan lingkungan?
Tentu mayoritas pemuka agama lebih kecang pada persoalan yang pertama.
Hal demikian, hemat saya, disebabkan kurang untuk menghindari menggunakan term tidak memerhatikan spirit emansipasi. Lebih-lebih spirit emansipasi antara bumi dan manusia.
Dua entitas ini seharusnya pada posisi yang setara, tidak hierarkis. Namun realita faktual yang kita lihat, posisi bumi diklaim satu tingkat lebih rendah dibanding manusia.
Tidak heran jika manusia minim rasa sungkan untuk mengeksploitasi bahkan sampai batas paling maksimum. Dari lubang seperti itulah bumi melewati jalur patas menuju kerusakan.
Sampai di sini saya teringat Royyan Julian bahwa kita tidak bisa menolak kerusakan, usaha kita hanya memperlambat.
Di Mana Agama?
Emile Durkheim dengan artikulatif menyatakan bahwa agama dan masyarakat merupakan dua hal tak terpisahkan, umpama dua sisi uang logam.
Paul Tillich, salah seorang teolog, menganggap agama mampu merasuki sisi terdalam pemeluknya.
Dengan demikian sejatinya agama mampu menjadi sebuah pemasok untuk menyetir psikis pemeluknya.
Ini adalah salah satu privilese yang dimiliki oleh agama, yang barangkali tidak dimiliki entitas lain.
Dengan kesadaran seperti ini, seharusnya kita sudah beranjak jauh. Membangun formulasi yang memang cocok untuk mengatasi problematika lingkungan.
Kendati kesadaran terhadap problematika lingkungan oleh kalangan agamawan bukan hal yang baru, namun masih sedikit langkah praktis.
Inisiatif dalam menggugah kesadaran para agamawan sejatinya sudah pada tahun 1986.
Pertemuan yang diadakan di Assisi, Italia, tersebut dimaksudkan untuk memantik para agamawan dan membentuk formulasi menghadapi kerusakan lingkungan.
Itulah yang kemudian mengilhami lahirnya ‘Deklarasi Assisi’ yang mana setiap agama memberi sikap jantan terhadap kerusakan lingkungan.
Di situlah posisi agama yang sebetulnya. Namun, hingga tulisan ini nyaris rampung, masih belum ada langkah yang efektif untuk mengonservasi lingkungan.
Selanjutnya kita tarik ke dalam konteks yang spesifik, di mana posisi hukum Islam? Apa yang keliru dari hukum Islam sehingga sedikit perhatian akan hal tersebut?
Hal pertama yang hendak saya demonstrasikan ihwal kekeliruan kita adalah pemahaman terhadap hukum Islam atau fikih.
Selama ini ia hanya dipahami hal-hal yang kaitannya langsung dengan agama, sehingga persoalan dengan lingkungan nyaris terbaikan sama sekali.
Diktum ‘Pintu Ijtihad telah Ditutup’ turut memberi sumbangan menjadikan fikih mandul, alih-alih kontekstual dan terbarukan justru tekstual (qouly).
Siasat pertama untuk menghadapi kemandulan itu adalah dengan mendobrak pintu ijtihad yang selama ini terkunci.
Hanya dengan membuka pintu ijtihad itulah kemungkinan besar akan lahir produk hukum yang kontekstual.
Secara khusus produk hukum yang memerhatikan kemaslahatan manusia, bahkan juga alam dan lingkungan.
Setelah ini ditempuh tugas berikutnya adalah membuat masif ijtihad dan fatwa-fatwa terkait dengan lingkungan.
Fitur Maqashid as-Syariah
Maqashid as-Syariah (maksud-maksud dari syarak) yang biasa dianggap instrumen metodologis dari penggalian hukum Islam menjadi pembahasan menarik.
Jasser Auda menjadikan fitur ini sebagai pijakan dasar di dalam hukum Islam. Aturan main dasar dari maqashid tidak lain ‘untuk memperoleh kemaslahatan dan menolak kemudaratan’.
Syariat yang kemudian diperas hingga melahirkan hukum Islam itu sejatinya memerhatikan kemaslahatan.
Tidak hanya kemasalahatan manusia, bumi tentu saja. Sehingga maqashid sebagai pijakan dasar hukum Islam, sebagaimana perspektif Auda, sejatinya juga memerhatikan lingkungan.
Kita butuh fikih, kita butuh hukum Islam sebagai alat legitimatif. Barangkali banyak orang yang apatis jika tidak terdapat bumbu agama.
Kendati dalam hal ini tidak hendak menjadikan agama sebagai ‘daun salam.’
Namun dengan sejujur-jujurnya saya mengakui butuh bantuan legitimasi dari agama, dari hukum agama, dan lembaga agama.
Akhirnya, hanya agama senjata paling tajam yang kita punya! []