Membincang Perempuan Berpistol Dekati Istana Negara

Serangan Teroris di Kuil Shiraz, Iran: 1 Orang Tewas dan 8 Lainnya Terluka (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Baru-baru ini jagat maya dihebohkan oleh tindakan seorang perempuan yang menerobos masuk istana negara dengan menodongkan senjata api jenis FN.
Peristiwa tersebut tepatnya terjadi pada tanggal 25 Oktober 2022 dan diketahui pelakunya berinisial SE (24), ia termasuk warga yang tinggal di wilayah Koja, Jakarta Utara.
Peristiwa itu diketahui terjadi pada pukul 07.00 WIB, pada saat anggota Sat Garut melakukan tugas rutin pelayanan masyarakat penjagaan dan pengaturan di sekitar istana negara.
Kemudian ada seorang perempuan berjalan kaki dari Harmoni mengarah ke jalan Medan Merdeka Utara.
Perempuan itu tiba di pintu istana negara dan menghampiri petugas paspampres yang sedang bertugas sambal menodongkan pistol.
Pertama kali dilihat oleh Aiptu Hermawan dan Briptu Krismanto. Keduanya curiga dengan gerak-gerik pelaku kemudian menghampirinya.
Peristiwa teror semacam ini bukanlah kali pertama terjadi di negeri ini, namun terus muncul meskipun sudah banyak yang ditangkap oleh Tim Densus 88.
Jika diamati pun pelakunya tidak jauh berbeda dengan pelaku-pelaku teror sebelumnya.
Hanya saja yang membedakan adalah waktu dan objek penyerangannya.
Kelompok-kelompok yang sering melakukan teror sebenarnya sudah banyak ditangkap, bahkan organisasi-organisasi yang terindikasi radikal juga sudah dibubarkan oleh pemerintah.
Namun mereka seperti hantu yang selalu menghantui dan tidak pernah bisa dihilangkan.
Lalu apa sebenarnya faktor yang melatarbelakangi mereka melakukan aksi-aksi teror tersebut, hingga membuat pelaku-pelaku teror ini terus bermunculan dan tidak ada habisnya?
Sejauh ini terdapat beberapa faktor yang begitu kuat dalam mempengaruhi pelaku aksi teror.
Pertama, faktor ulama atau murabbi (guru) mereka. Para ulama menduduki posisi sentral di dalam arah perubahan sejarah dan sosial masyarakat.
Karena para ulama merupakan agen perubahan moral yang sekaligus memerankan diri sebagai agen perubahan sosial.
Dengan peran yang sangat strategis ini, maka dapat dimengerti perilaku umat Islam adalah cerminan dari perilaku ulama itu sendiri.
Hal ini disebabkan masyarakat sangat bergantung dengan peran-peran para ulama, masyarakat akan cenderung mengikuti segala bentuk fatwa para ulama mereka, meskipun beresiko besar.
Ulama-ulama yang dewasa ini susah untuk dibedakan antara ulama yang benar-benar ulama dengan ulama yang hanya sekedar gelar saja.
Maksudnya ialah, jika agama ini dipegang oleh ulama yang hanya menjadikan agama sebagai tunggangan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka saja, maka ia akan melakukan segala cara meskipun harus menghalalkan perkara yang semestinya diharamkan.
Mereka juga banyak menafsirkan ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an dengan tafsiran yang begitu sempit dan intoleran.
Pemerintah harus segera bertindak, minimal dengan membuatkan ID Card sebagai tanda bahwa ia benar-benar ulama yang telah teruji akhlak dan keilmuannya.
Kedua, doktrin keagamaan. Dalam Al-Qur’an dan hadis banyak sekali jumlah ayat yang menerangkan tentang perintah-perintah untuk berjihad.
Meskipun ayat tersebut mengandung perintah suci dalam pengertian yang tepat.
Namun, akibat ulah para ulama abal-abal ayat-ayat tersebut dijadikan sebagai legitimasi kekerasan dengan mengeluarkan dari konteksnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis nabi yang menjelaskan tentang jihad masih banyak yang dipahami secara tekstual dan masih banyak pula yang memahaminya secara kategori dengan menggunakan teori konspirasi, yakni teori yang mematok terlebih dahulu siapa lawan siapa kawan dan siapa benar siapa salah.
Alhasil banyak bermunculan doktrin-doktrin keagamaan yang liar.
Padahal jika dikaji lebih dalam lagi, Al-Qur’an dan hadis tidak hanya memuat anjuran-anjuran untuk berjihad.
Namun juga masih banyak pula pesan-pesan dalam Al-Qur’an dan hadis yang menganjurkan untuk berbuat adil, bermusyawarah, cinta kasih, menjalin persaudaraan, dan anjuran untuk bersikap santun kepada makhluk-makhluk Allah.
Ketiga, politik. Selain kedua poin di atas, politik juga termasuk salah satu yang berkontribusi pada tradisi kekerasan dalam Islam.
Dalam sejarah Islam tercatat rapi bagaimana kontribusi politik dalam menciptakan kelompok-kelompok garis keras, salah satunya adalah munculnya sekte Khawarij.
Alih-alih golongan ini bertujuan untuk memecahkan masalah, namun mereka menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Sehingga bukannya masalah itu hilang justru golongan Khawarij malah memuncul masalah-masalah baru.
Mereka banyak menggali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi untuk mendukung doktrin kekerasan mereka.
Jadi seakan-akan segala bentuk kekerasan mereka mendapat persetujuan dari Tuhan. Sementara itu ayat-ayat yang menganjurkan untuk bersifat toleransi justru malah mereka campakkan.
Dalam perkembangan Islam modern, politik dinilai telah menjadi pintu masuk kelompok-kelompok garis keras, para penguasa memanfaatkan intelektual atau para ulama bayaran untuk membuat tafsir-tafsir yang membantu meraih kepentingan pribadinya.
Hal ini kemudian memberi implikasi besar bagi masyarakat, mereka banyak tercuci otaknya sehingga mereka rela melakukan apapun meskipun taruhannya adalah nyawa, seperti pelaku bom bunuh diri di Bali, Kuningan dan Hotel Marriot. Mereka adalah korban yang telah tercuci otaknya sehingga siap mati demi surga.
Setidaknya tiga poin itulah yang melatarbelakangi mengapa seseorang bisa terjerumus dalam gerakan Islam radikal tak terkecuali perempuan.
Lantas bagaimana cara menanggulangi masalah ini?
Memang tidak mudah untuk mengatasi masalah sebesar ini, namun sebagai usaha, maka para elit agama, elit politik, dan elit pemerintah harus segera berfokus pada penyajian doktrin-doktrin agama yang toleran dan anti kekerasan.
Serta gerakan anti kekerasan harus dibarengi dengan gerakan pendidikan multikultural, pemberdayaan pesantren, dan penguatan wawasan politik. []