Membincang Perdebatan Ilmiah antara Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam sejarah pemikiran Islam, ada dua tokoh besar yang sering disebut sebagai pilar perdebatan intelektual, yaitu Imam Ghazali (1058-1111 M) dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M).
Keduanya mewakili dua pendekatan yang sangat berbeda dalam memahami filsafat dan teologi Islam.
Imam Ghazali dikenal sebagai seorang teolog dan sufi yang menentang keras filsafat Yunani dalam konteks keilmuan Islam, sementara Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf yang berusaha menyelaraskan filsafat dengan ajaran Islam.
Perdebatan antara kedua tokoh ini tidak hanya mencerminkan konflik intelektual, tetapi juga menunjukkan dinamika pemikiran dalam dunia Islam pada masa itu.
Dan yang pasti, sejarah ini juga menjadi penanda bahwa kemajuan Islam pada masa lalu dipengaruhi oleh masifnya perdebatan-perdebatan ilmiah yang berujung pada lahirnya gagasan-gagasan baru.
Imam Ghazali, yang dikenal sebagai “Hujjatul Islam” (Pembela Islam), adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh.
Karya utamanya, “Ihya Ulum al-Din”, adalah sebuah ensiklopedia spiritual dan teologis yang menjadi rujukan utama dalam tasawuf.
Namun, salah satu karyanya yang paling terkenal dalam konteks perdebatan dengan filsafat adalah “Tahafut al-Falasifah” (Kerancuan Para Filsuf), di mana ia mengkritik 20 poin utama dari filsafat Yunani yang telah diadopsi oleh para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.
Di sisi lain, Ibnu Rusyd, atau Averroes dalam tradisi Barat, adalah seorang filsuf Andalusia yang juga berprofesi sebagai seorang dokter dan ahli hukum.
Ibnu Rusyd berusaha membela filsafat dari serangan Imam Ghazali melalui karyanya “Tahafut al-Tahafut”* (Kerancuan dalam Kerancuan), yang merupakan respon langsung terhadap kritik Imam Ghazali.
Imam Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah mengecam para filsuf yang menurutnya telah menyimpang dari ajaran Islam.
Salah satu kritik utamanya adalah bahwa filsafat Yunani, terutama melalui karya-karya Plato dan Aristoteles, mengajarkan konsep-konsep yang bertentangan dengan akidah Islam.
Misalnya, Imam Ghazali menolak konsep keabadian alam semesta yang diajukan oleh Aristoteles, yang menurutnya bertentangan dengan doktrin penciptaan ex nihilo (dari ketiadaan) dalam Islam.
Imam Ghazali juga menentang konsep keniscayaan kausalitas yang dipegang oleh para filsuf.
Menurutnya, para filsuf beranggapan bahwa hubungan sebab-akibat adalah sesuatu yang mutlak dan tak terhindarkan, sementara dalam pandangan teologis Islam, semua yang terjadi adalah karena kehendak Allah.
Imam Ghazali meyakini bahwa kausalitas sebagai sesuatu yang pasti tanpa mengaitkannya dengan kehendak Allah adalah bentuk penyekutuan Tuhan.
Selain itu, Imam Ghazali menolak pandangan filsuf tentang pengetahuan Tuhan. Ia mengkritik para filsuf yang berpendapat bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang bersifat universal dan tidak mengetahui detail-detail peristiwa di dunia.
Pandangan ini menurut Imam Ghazali telah mengurangi keesaan dan kesempurnaan Allah dalam Islam.
Ibnu Rusyd, dalam Tahafut al-Tahafut, berusaha menunjukkan bahwa kritik Imam Ghazali terhadap filsafat didasarkan pada kesalahpahaman atau penafsiran yang salah terhadap teks-teks filsafat.
Ia berpendapat bahwa filsafat tidak bertentangan dengan Islam, melainkan sebuah metode yang dapat digunakan untuk memahami dan memperkuat keyakinan agama.
Misalnya, dalam soal keabadian alam semesta, Ibnu Rusyd membedakan antara pandangan Aristoteles dan pandangan Islam.
Ia berpendapat bahwa pandangan Aristoteles tentang keabadian alam semesta tidak harus dilihat sebagai penolakan terhadap penciptaan, tetapi bisa dipahami sebagai proses yang terus-menerus di bawah kehendak Allah.
Ibnu Rusyd juga menegaskan bahwa filsafat mampu menjelaskan banyak aspek dari penciptaan, yang sebenarnya mendukung pandangan Islam tentang adanya pencipta.
Dalam soal kausalitas, Ibnu Rusyd berargumen bahwa memahami hubungan sebab-akibat tidak berarti meniadakan kehendak Allah.
Sebaliknya, ia berpendapat bahwa Allah adalah pencipta hukum-hukum alam, dan memahami hukum-hukum ini melalui filsafat adalah salah satu cara untuk memahami kebesaran Allah.
Mengenai pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd menolak kritik Imam Ghazali dengan menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan bersifat sempurna dan universal.
Argumen tersebut mencakup segala sesuatu, baik yang universal maupun yang partikular.
Ia berpendapat bahwa para filsuf tidak bermaksud untuk mengurangi pengetahuan Tuhan, tetapi justru berusaha untuk menjelaskan kebijaksanaan-Nya dalam cara yang lebih filosofis.
Perdebatan antara Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd tidak hanya mencerminkan dua pandangan yang berbeda tentang filsafat dan agama, tetapi juga membawa implikasi yang luas bagi perkembangan pemikiran Islam.
Setelah kritik tajam Imam Ghazali, filsafat yang banyak diagungkan oleh orang-orang Mu’tazilah mulai mengalami penurunan dalam dunia Islam, terutama di wilayah-wilayah Timur seperti Persia dan Baghdad.
Pemikiran Mu’tazilah mulai digantikan oleh teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang lebih mengedepankan Iman daripada rasio.
Namun, di wilayah Barat Islam, terutama di Andalusia, karya-karya Ibnu Rusyd terus mempengaruhi pemikiran filosofis.
Ia menjadi jembatan antara pemikiran Islam dan filsafat Barat.
Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan mempengaruhi para pemikir Eropa seperti Thomas Aquinas, yang menggunakan argumen-argumen Ibnu Rusyd dalam diskusi teologis di Eropa.
Dalam dunia Islam, meskipun filsafat mengalami kemunduran setelah masa Imam Ghazali, perdebatan ini tetap relevan dalam diskusi-diskusi teologi dan filsafat.
Pandangan-pandangan Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd terus dipelajari dan dianalisis oleh para ulama dan cendekiawan hingga hari ini.
Perdebatan ilmiah antara Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd merupakan salah satu episode paling penting dalam sejarah pemikiran Islam.
Imam Ghazali dengan kritik tajamnya terhadap filsafat berhasil mengarahkan perkembangan intelektual Islam ke arah yang lebih teologis dan sufistik.
Sementara Ibnu Rusyd berusaha menjaga dan melanjutkan tradisi filsafat sebagai alat untuk memahami dan memperkuat ajaran agama.
Kedua tokoh ini, meskipun berbeda pandangan, telah memberikan kontribusi besar bagi kekayaan intelektual Islam.
Perdebatan mereka mencerminkan kompleksitas hubungan antara iman dan akal, antara teologi dan filsafat, yang terus menjadi topik perenungan dalam tradisi Islam hingga kini.
Perdebatan mereka menjadi gambaran sederhana betapa melimpahnya kekayaan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam pada masa itu. []