Membincang Peran Walisongo dalam Pembentukan Tradisi Islam di Indonesia

 Membincang Peran Walisongo dalam Pembentukan Tradisi Islam di Indonesia

Kisah Sunan Drajat Ditolong Ikan di Laut (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Walisongo memiliki jasa yang sangat besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan-pendekatan yang dilakukannya juga secara kultural, sehingga mudah diterima oleh masyarakat luas.

Walisongo pada umumnya merujuk pada wali yang berjumlah sembilan, antara lain Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunun Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Para wali adalah sosok yang memiliki kelebihan, karena kedekatannya dengan Allah Swt. Wali dapat menjadi wasilah atau perantara yang menghubungkan antara manusia dengan Allah.

Walisongo tersebut yang merupakan sembilan wali dalam tradisi masyarakat muslim di Jawa. Mereka kebanyakan bertempat di kota-kota pesisir dan sebagian kecil di daerah pedalaman.

Penyebaran Islam yang mereka lakukan tidak mengenal agresi militer dan agama. Penyebaran lebih banyak dijalankan melalui perdagangan, yang mana hal tersebut dapat dilihat dari pemilihan tempat para wali dalam dakwahnya yang lebih banyak berada di daerah perdagangan dari pada kota pedalaman.

Hal tersebut seperti di Jawa Timur, wali lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang, tidak seperti yang digambarkan pada dongeng yang memceritakan bahwa wali sebagai tokoh yang menjauhi masyarakat, seperti berlaku sebagai Bhiksu atau lebih banyak bertapa di gunung daripada aktif dibidang ekomoni.

Dinamika kehidupan mereka seperti yang dicontohkan Rosulullah yang juga pernah berdagang.

Para wali di Jawa Tengah para wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria, sebagai indikasi bahwa sasaran dakwah wali yang di Jawa Tengah berbeda yang berada di Jawa Timur.

Pusat kekuasaan politik Hindhu dan Budha sudah tidak memiliki tempat lagi di Jawa Tengah, akan tetapi para wali melihat realitas masyarakat telah dipengaruhi oleh budaya yang bercorak Hindhu dan Budha.

Saat itu para wali mengakui wayang sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat.

Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diislamkan.

Instrumen gong juga perlu diubah, yaitu secara lahiriah tetap seperti biasanya, tetapi makna diislamkan. Selanjutnya, proses islamisasi di Jawa Barat hanya ditangani seorang Wali, Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungan dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur dan juga merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa tengah dan Indonesia Timur dan ke Indonesia Barat.

Pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, memiliki nilai geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.

Pertama dalam menyebarkan Islam, Walisongo mendirikan masjid. Masjid tidak hanya berguna sebagai tempat beribadah, akan tetapi juga sebagai tempat pengajian, dan pusat penyebaran dan pengembanagan ajaran Islam.

Banyak masjid yang diyakini sebagai peninggalan Wali dan dinamakan Wali yang bersangkutan, seperti masjid yang didirikan oleh Sunan Ampel dinamakan Masjid Ampel, masjid Giri didirikan oleh Sunan Giri, Masjid Drajat yang didirikan oleh Sunan Drajat dan sebagainya.

Selain masjid dalam pembentukan kelembagaan Islam Walisongo dalam penyebaran Islam juga mendirikan pesantren.

Di dalam penyebaran Islam, setiap Wali memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama wali tersebut berada, seperti pesantren Ampel, pesantren Bangkuning, Pesantren Drajat, pesantren Giri dan sebagainya.

Pesantren paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan memegang peranan penting bagi penyebaran Islam sampai pedalaman. Asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran islam di Asia Tenggara berasal dari pesantren tersebut.

Pesantren menjadi sangat penting ketika pelembagaan Islam telah berjalan. Pada abad ke-20, berbagai pesantren muncul sebagai lembaga untuk pengembangan Islam dengan segala sistem pembelajarannya seperti sorogan dan bandongan.

Walisongo memiliki keunikannya sendiri-sendiri, diantaranya seperti ajaran yang dibawa Sunan Bonang dalam primbon Sunan Bonang yang mengajarkan ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf berdasarkan ajaran aqidah Ahlussunnah wa al-Jamaah dengan Mazhab Syafi’i.

Primbon tersebut juga melarang pembaca berbuat syirik. Primbon tersebut ditutup oleh Sunan Bonang dengan nasihat sebagai berikut,

“Hendaklah perjalanan lahir batinmu menurut jalan-jalan syariat, cinta, serta meneladani Rasulullah saw.“

Dengan demikian jelas Sunan Bonang dapat digolongkan dalam golongan Ahlussunnah wa al-Jamaah. Sunan Bonang adalah pencipta gending Darma.

Sunan Bonang mengganti nama-nama hari nahas menurut kepercayaan Hindu dan nama-nama dewa Hindu dan nama-nama malaikat dan nabi-nabi menurut agama Islam. Selanjutnya adalah Sunan Kalijaga yang sangat dekat dengan Muslim di Jawa.

Nama lain Sunan Kalijaga adalah Muhammad Said atau Joko Said. Sunan Kalijaga memasukkan pengaruh Islam kepada kebiasaan orang Jawa.

Orang Jawa yang tidak bisa terlepas wayang, hal tersebut menyebabkan beliau memasukan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang.

Sunan Kalijaga juga menjadi tokoh yang masyhur menajdi soko tatal dalam masjid Demak. Diceritakan bahwa walisongo membuat satu tiang (soko guru) untuk mendirikan Masjid Demak.

Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang kulit dan pengarang buku-buku wayang mengandung cerita dramatis dan berjiwa Islam.

Wayang sebagai media dakwah selalu gunakan oleh Sunan Kalijaga dalam kesempatan dakwahnya di berbagai daerah dan wayang pada saat itu merupakan media yang efektif, dapat menarik simpati rakyat terhadap agama.

Peranannya dalam bidang politik pemerintahan sudah mulai sejak awal berdirinya sampai akhir Kasultanan Demak. Sunan Muria merupakan seorang sufi. Beliau mengajar santrinya untuk mendalami tasawuf.

Sunan Muria memiliki rasa cinta kepada Allah, sepanjang hidupnya hanya untuk memuji kesebasaran Allah. Sunan Muria dalam menyebarkan Islam di Jawa menggunakan pendekatan kultural seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Tradisi yang ada bukan dimusnahkan, tetapi diberi warna Islam, seperti upacara selametan yang dilakukan orang Jawa dan mengubah beberapa lakon pewayangan yang isinya membawa pesan Islam.

Islamisasi masyarakat Jawa dapat dikatakan merupakan hasil dakwah dan perjuangan para Walisongo.

Dalam menjalankan tugas dakwah tentulah model dakwah Walisongo tersebut sesuai dengan tujuan dakwah Islam.

M. Masyhur Amin menjelaskan tujuan dakwah menjadi tiga hal. Pertama, menanamkan akidah di hati seseorang, sehingga keyakinan tentang ajaran Islam tidak campur dengan rasa keraguan, seperti upaya Walisongo dalam rangka menanamkan akidah Islam kepada masyarakat Jawa adalah dengan menggunakan mitologi Hindu yaitu dengan memunculkan kisah-kisah dewa yang asal-usulnya dari Nabi Adam.

Di mana kisah-kisah para ulama tersebut makin lama makin diyakini sehingga dapat mengalahkan kisah mitologi Hindu yang asli. Kedua, adalah tujuan hukum. Dakwah harus disyariatkan kepada kepatuhan setiap orang terhadap hukum yang disyariatkan oleh Allah Swt.

Salah satu upaya para wali dalam menyebarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima.

Ketiga, menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Jawa sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat tercela. Para Wali dalam menanamkan Islam di Jawa  dengan bijak dan adiluhung.

Keberhasilan taktik dan dakwah Walisongo disebabkan karena beberapa hal. Pertama, dakwah mereka dengan konsep yang pas. Kedua, dakwah yang mereka lakukan dengan penuh keuletan, keikhlasan dan rela berkorban.

Ketiga, kegiatan dakwah mereka didasarkan pada perhitungan yang riil dan rasional. Keempat, kegiatan dakwah mereka memperhatikan masyarakat yang dihadapi.

Kelima, dakwah mereka dengan cara bijaksana tidak menyinggung perasaan. Keenam, para Wali menggunakan kecakapan dan kepandaian mereka. []

Muhamad Imam Mutaqin

Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga. Menyukai obrolan, bacaan, belajar dan desain, sesekali ngopi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *