Membincang Nasab Kuda yang Terjaga
HIDAYATUNA.COM – Tidak ada bangsa yang bangkit dan maju kalau terputus dari sejarahnya. Hanya bangsa-bangsa yang kalah yang mencampakkan masa lalu dan sejarahnya begitu saja. Seolah-olah ia bisa memulai semuanya dari nol.
Menjaga sejarah dan tetap terhubung dengan masa lalu tidak berarti mengkultuskannya dan anti terhadap segala yang baru. Tidak.
Menjaga hubungan dengan sejarah artinya menyadari dari mana kita mesti memulai, mana sisi positif yang mesti dipertahankan dan mana sisi negatif yang mesti diperbaiki.
Serta menghargai jasa dan kelebihan para pendahulu yang telah meletakkan pondasi peradaban dan keilmuan dengan sangat baik.
Sesuatu yang ‘lama’ tidak saja unik tapi juga orisinil. Orisinilitas ini yang mesti dijaga dan dipertahankan.
Maka ketika menyebut baitullah, Alquran menggunakan istilah al-bait al-‘atiq (rumah tua/lama). Bukan masalah tua usianya tapi keaslian dan original-nya.
Oleh karena itu, masalah nasab adalah sesuatu yang sangat fundamental, bukan hanya dalam kehidupan bangsa Arab tapi juga kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Orang yang tak punya nasab berarti ia orang terbuang. Ia tidak punya akar sejarah. Ia tidak original.
Bukan hanya untuk manusia, bahkan untuk kuda pun orang Arab sangat memperhatikan nasabnya. Nasab kuda? Tidakkah cukup tenaga dan kecepatannya saja?
Bukankah yang diharapkan dari seekor kuda adalah kekuatan dan kecepatannya? Apa hubungannya nasab dengan kemampuan berlari dan tenaga kuda?
Mungkin tidak ada hubungan yang langsung atau signifikan. Tapi kuda yang bernasab dan ashil (orisinil) itu adalah kuda yang sangat berharga.
Karenanya, bukan hanya nasab manusia, orang Arab juga menjaga nasab kudanya. Ibnu al-Kalbi bahkan menulis sebuah buku berjudul Ansab al-Khail (nasab kuda).
Sampai saat ini nasab-nasab itu masih dijaga dan dipelihara. Ada nasab kuda al-‘Abyan, Hadban, Kahilan, Dahman, Shaqlawi dan lain-lain.
Kalau kuda saja dijaga nasabnya apalagi keilmuan. Nasab keilmuan adalah silsilah sanad antara guru dan murid. Karena itulah nasab keilmuan ini selalu dijaga oleh para ulama dari generasi ke generasi.
Apakah ada korelasinya antara sanad dengan kemampuan seseorang memahami sebuah ilmu? Tentu ada.
Namun tidak menutup kemungkinan orang yang tidak bernasab (baca: bersanad) lebih bisa menguasai dan memahami ilmu dari orang yang bernasab.
Tapi, memiliki nasab keilmuan itulah sesuatu yang sangat berharga. Ia lebih original. Lebih murni. Lebih dari itu, ia terhubung dengan sejarah keilmuan para ulama sepanjang sejarah. Ia tidak datang tiba-tiba, tumbuh seperti rumput liar di sebuah daerah (an-nabitah).
Namun demikian, nasab saja tidak ada gunanya kalau tidak diikuti dengan kelayakan menyandang nasab itu ; pemahaman dan pengamalan.
Dan nasab itu bukan untuk dibanggakan. Ia dijaga melainkan untuk mempertahankan keaslian sebuah ilmu, ketersambungan dengan para pendahulu yang telah berjasa meletakkan pondasi awal, untuk memunculkan sikap tawadhuk bahwa kita hanyalah pelanjut dari generasi sebelum kita, dan membuktikan pada dunia bahwa umat ini adalah umat kebaikan, seperti sabda Rasul yang mulia:
أمتي كالمطر لا يدرى خيره فى أوله أو آخره
Artinya:
“Umatku seperti hujan, tidak diketahui baiknya di awal atau di akhir.”
حفظ الله علماءنا وعلومهم وجعلنا ممن يحفظون ما ورثوا لا ممن أفسدوا ما تركوا، اللهم آمين.
[YJ]