Membincang Islam dan Nasionalisme

 Membincang Islam dan Nasionalisme

Membincang Islam dan Nasionalisme (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Islam tidak memandang nasionalisme, kebangsaan dan suku dan memandang setiap orang dari berbagai latar belakang dengan pandangan yang sama berdasarkan keyakinannya.

Nasionalisme muncul berupa adanya perasaan atau hati nurani kolektif di antara sebagian orang. Tetapi suatu bangsa tidak hanya terdiri dari faktor emosional, tetapi juga faktor objektif lainnya seperti bahasa dan etnis.

Islam mengutuk pembagian manusia atas dasar tanah dan darah. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Hujurat berikut ini:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya:

“Wahai manusia, Kami telah menciptakan kalian semua laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.

Yang paling terhormat di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Hujurat ayat 13)

Jadi, alasan adanya bangsa dan suku yang berbeda adalah agar manusia saling mengenal dan berinteraksi.

Batasan geografis, kebangsaan, dan etnisitas tidak pernah menjadi kriteria yang berharga dalam Islam.

Sebaliknya, agama ini sangat menjunjung tinggi kesalehan, keyakinan, iman, dan amal saleh. Menurut Al-Qur’an, adanya suku yang berbeda seperti adanya keluarga yang berbeda.

Tujuan dari pembedaan ini adalah agar manusia dapat berinteraksi satu sama lain, saling melengkapi kekurangan dan membentuk peradaban yang lebih besar.

Islam selalu memperhatikan solidaritas, mengingat itu sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat. Akan tetapi, Islam mengutamakan kecenderungan kepada tindakan atau perbuatan yang benar bagi mereka yang digerakkan oleh nasionalisme.

Sebuah tradisi di Jahiliyah adalah bahwa orang harus membela sesama suku mereka, tidak peduli apakah mereka penindas atau tertindas.

Namun, Islam mengubah hal ini dan menekankan bahwa setiap manusia harus membantu yang tertindas dan berhenti mendukung penindas bahkan jika mereka sesama suku.

Komponen nasionalisme lainnya adalah kemerdekaan, yang patut diacungi jempol, asalkan tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Hal lain berkaitan dengan gagasan tentang identitas. Jika identitas nasional bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, Islam menolaknya dengan keras karena agama mengatakan orang harus mengejar perbuatan berdasarkan apa yang benar.

Komponen lain dari nasionalisme adalah milik unit politik. Bagaimana pandangan Islam terhadap komponen ini?

Islam menerima unit politik hanya sebagai alat dan tidak lebih. Al-Qur’an tidak pernah menggunakan redaksi kalimat seperti “Wahai orang Arab”, melainkan menggunakan redaksi panggilan berbasis agama dan mencakup orang-orang dari seluruh dunia: “Wahai orang beriman!”

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam mengkategorikan nasionalisme menjadi dua kelompok yakni nasionalisme positif versus nasionalisme negatif.

Nasionalisme negatif adalah jenis kecenderungan aspek etnis dan ras yang memisahkan orang.

Sementara nasionalisme positif adalah nasionalisme yang di dalamnya terdapat solidaritas dan kebajikan terhadap sesama manusia serta tidak berprasangka buruk terhadap bahasa dan ras.

Tentunya yang perlu kita kembangkan sebagai umat muslim adalah nasionalisme positif. Saling mendukung dan membantu saudara kita sesama Islam dan juga sesama manusia.

Seperti yang telah diteladankan oleh Kiai Abdurrahman Wahid (almarhum) atau yang lebih populer disebut Gus Dur bahwa tidak ada yang lebih penting dari kemanusiaan.

Bahwasanya seharusnya nasionalisme itu harus bisa menumbuhkan semangat atau ghirah untuk lebih saling mengenal antar bangsa dan antar suku, memperkuat jalian persaudaraan antar umat.

Sedari awal, Islam dan nasionalisme tidak pernah saling bertentangan. Justru keduanya menjadi dua hal yang saling berkait kelindan satu sama lain.

[]

Ratna Sari

Ratna Sari biasa dipanggil Nana. Seorang santri di Ponpes Al-Muayyad, Surakarta, sangat menyukai bacaan kitab klasik dan khazanah turats. Mengamini hidup minimalis, saat ini sedang off semua sosial media dan fokus mengasah kemampuan menulis.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *