Membincang Fiqih Muamalat

 Membincang Fiqih Muamalat

Istinbat Hukum Maulid Nabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Yang terbiasa belajar fiqih ibadah kalau diteruskan ke fiqih muamalat pastinya akan mengalami keguncangan dahsyat.

Karena seperti orang pindah negeri dari beriklim tropis ke wilayah kutub atau sebaliknya. Beda ekosistem.

Masalah sudah dimulai sejak dari awal masih berupa hadis-hadis muamalat. Belum apa-apa kita sudah langsung merasakan banyak hal yang unik dan aneh.

Masak sih ada larangan menjual calon janin unta yang mana induknya saja masih dalam bentuk janin.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ﵄، قالَ: «كانَ أهْلُ الجاهِلِيَّةِ يَتَبايَعُونَ لُحُومَ الجَزُورِ إلى حَبَلِ الحَبَلَةِ، قالَ: وحَبَلُ الحَبَلَةِ أنْ تُنْتَجَ النّاقَةُ ما فِي بَطْنِها، ثُمَّ تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ، فَنَهاهُمُ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ ذَلِكَ»

Artinya:
“Kita tidak menolak haditsnya, sebab hadisnya dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Yang kita heran itu konten haditsnya yang berupa larangan jual beli calon janin unta yang induknya saja masih berupa janin.”

Ini transaksi macam mana?

Maksudnya tidak terbayang oleh kita hari ini bahwa orang di masa itu bertransaksi jual-beli unta kayak gitu.

Membayangkannya saja buat kita sudah pusing, lalu bagaimana hadits itu kita mau amalkan juga tambah bingung lagi.

Itu baru satu hal, masih ada hal yang lain, yaitu hari ini begitu banyak ragam transaksi keuangan yang baru, bahkan belum semua kita memahami alur dan hakikatnya.

Dan tiba-tiba kita dipaksa mencarikan hadits untuk dijadikan parameter kehalalan atau keharamannya. Jelas ini usaha yang sia-sia belaka.

Masalahnya kita sendiri belum sepakat tentang konsep keuangan modern itu. Sebut saja misalnya hakikat uang APBN yang dikumpulkan lewat pajak.

Pertanyaan paling mendasar yakni Status uang APBN itu sebenarnya uang milik siapa? Milik para pejabat kah? Atau milik negara? Atau milik para pembayar pajak? Atau milik rakyat secara keseluruhan?

Kita tidak pernah sepakat akan statusnya. Dan para pakar ilmu fiqih memang sepakat sih, tapi sepakat untuk tidak sepakat. Sama saja ujungnya tetap tidak sepakat.

Lalu kalau mau cari rujukan ke hadits Nabawi, sudah pasti kita tidak akan ketemu. Soalnya di masa kenabian tidak pernah ada APBN.

Bahkan tidak ada lembaga eksekutif, judikatif dan legislatif. Juga tidak ada bank sentral, apalagi Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Maka mencari-cari hadits tentang bagaimana praktek korupsi uang APBN di masa kenabian adalah sebuah kesia-siaan.

Paling jauh yang ada hanya tentang pencurian dan perampokan. Kalau mau main paksa sih bisa saja, tapi belum tentu semua pihak sepakat menggunakan hadits pencurian pada kasus korupsi.

Amat sangat dibutuhkan kajian fiqih kontemporer yang melibatkan banyak para pakar ekonomi modern dan ahli tata negara.

Soalnya mana ada praktek macam itu di masa kenabian? Transaksi Muamalat di masa kenabian itu 180 derajat beda ekosistem dan beda server dibandingkan dengan masa kita sekarang.

Kita tidak bisa pakai kaidah fiqih ibadah dalam fiqih muamalah. Dalam bidang ibadah kita pakai kaidah yang mengatakan abhwa shalat-lah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat.

Tapi dalam muamalah, kaidah itu tidak bisa digunakan adalah bertransaksilah kamu sebagaimana Aku bertransaksi?

Terus kita disuruh bikin undang-undang yang melarang jual-beli janin unta yang induknya saja masih berupa janin, gitu? Buat apa?

Selamat pusing dan berbeda pendapat dalam fiqih muamalat. []

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *