Membincang Fenomena Arab Tanpa Arab
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu fenomena unik di umrah saya tahun 2023-2024 ini adalah semakin menghilangnya orang Arab dari negeri Arabnya sendiri.
Tentu pernyataan ini bisa didebat, karena lebih merupakan kesan pribadi saya saja.
Setidaknya kalau saya bandingkan di tahun 1991 saya pergi haji pertama kali, semua orang di Mekkah Madinah rata-rata ngomongnya bahasa Arab.
Parahnya waktu itu justru saya malah belum bisa bahasa Arab. Menyesal sekali rasanya tidak bisa bahasa Arab.
Makanya begitu pulang haji, saya nekad berhenti dari kuliah di UGM, lalu banting stir ganti haluan. Saya mendaftarkan diri masuk LIPIA milik Kerajaan Saudi Arabia.
Tujuannya hanya satu, ingin kuliah yang bahasa pengantarnya pakai bahasa Arab.
Memang mau tidak mau harus pakai bahasa Arab, soalnya dosennya orang Arab betulan. Mereka tidak bisa bahasa Indonesia.
Kurikulum dan modul kuliahnya pun pakai kitab berbahasa Arab. Di kelas kita tiap hari bicara wajib pakai bahasa Arab.
Sampai soal ujian pun kita jawabnya pakai bahasa Arab. Pokoknya Arab, Arab dan Arab. Hidup Arab.
Masuk tahun 1995 dan 1997 saya sempat dua kali umrah. Indah sekali rasanya bisa menggunakan bahasa Arab di negeri Arab. Rasanya dunia ada di dalam genggaman.
Pokoknya semua orang di Mekkah Madinah saya sapa pakai bahasa Arab. Saya ajak ngobrol dan ajak ngomong Arab, termasuk para pedagang di pasar.
Lumayan lah, hitung-hitung praktek dan mengamalkan ilmu yang saya tekuni.
Keuntungan tambahannya juga ada. Setidaknya bisa nawar barang dan lumayan bisa dapat harga lebih murah.
Malahan salah satu pemilik toko kitab di pelataran Masjid Nabawi sampai menghadiahkan saya satu kitab gratis.
Dia bilang hadiah karena saya bisa bicara pakai bahasa Arab fushah.
Tetapi itu dulu zaman Mekah Madinah masih banyak orang Arabnya.
Sedangkan hari ini, pemandangan sehari-harinya sudah berubah. Isi Mekah Madinah kebanyakan IPB alias India, Pakistan dan Bangladesh.
Semua pedagang juga IPB. Para petugas cleaning servis juga IPB. Karyawan hotel, restoran, bahkan sopir taksi dan juga termasuk jamaah umrah kebanyakannya juga IPB.
Jadi percuma nawar barang pakai bahasa Arab, toh pedagangnya juga tidak bisa bahasa Arab.
Kalaupun sampai ketemu orang Arab, saya sudah tidak bernafsu ajak mereka ngomong Arab.
Yang saya rasakan mereka lebih respek kalau kita pakai bahasa Inggris. Tapi tetap saja saya tidak pakai bahasa Inggris dengan mereka.
Soalnya Inggris saya pas-pasan, beda dengan istri saya yang bisa marah-marah pakai bahasa Inggris.
Pokoknya kalau urusan ngomong sama resepsionis hotel, istri saya yang maju di depan. Dan petugas resepsionis cuma bisa senyum-senyum sambil bengong.
Rasain Luh, emak-emak dilawan. Saya tetap pakai bahasa Indonesia saja. Ternyata mereka malah pintar bahasa Indonesia. []