Membincang Balaghah Al-Qur’an (Bagian 1)

 Membincang Balaghah Al-Qur’an (Bagian 1)

Membincang Sosok Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Membincang balaghah Al-Qur’an merupakan suatu hal yang menarik. Pembahasan balaghah Al-Qur’an ini akan terbagi menjadi dua bagian.
Ketika Anda ditanya seperti ini : كَيْفَ أَنْتَ وَعُثْمَان؟ (bagaimana engkau dan Utsman)? Jawaban Anda tergantung kepada i’rab (posisi) kata عثمان dalam pertanyaan itu.
Jika baris nun pada عثمان adalah dhammah, berarti ia ‘athaf kepada dhamir أنت , maka jawaban Anda adalah : نَحْنُ بِخَيْرٍ (kami baik-baik saja).
Tapi kalau baris nun pada عثمان adalah fathah, berarti posisinya adalah maf’ul ma’ah. Di sini yang ditanya bukan kabar Anda dan kabar Utsman, melainkan hubungan Anda dengannya.
Maka jawabannya bisa jadi: هو ابن عمي (ia sepupuku), atau: هو صديقي (ia sahabatku) dan sebagainya.
Syarat utama dan paling mendasar dalam sebuah proses ijtihad adalah memahami Bahasa Arab dengan sangat baik.
Memahami di sini tentu tidak cukup dengan pemahaman yang standar-standar saja, melainkan pemahaman yang mendekati batas tamakkun (menguasai secara mendalam).
Karena Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat kaya. Bahasa Arab memiliki struktur dan kaidah yang barangkali tidak dimiliki oleh bahasa apapun di dunia.
Tahukah Anda bahwa untuk kata ‘unta’ saja tak kurang dari 1000 kata yang mewakilinya?
Ini karena onta adalah hewan yang sangat vital, disukai dan berharga bagi orang Arab. Semakin berharga sesuatu maka semakin banyak kata untuk mengekspresikannya.
Untuk kata ‘singa’ tidak kurang dari 500 kata yang mewakilinya. Ini karena singa simbol kekuatan, ketangkasan dan keberanian.
Semakin suatu itu ditakuti dan diagungkan semakin banyak pula kata dan bahasa untuk mengekspresikannya.
Kekayaan kata dalam bahasa Arab ini, diantaranya bisa dirujuk pada kitab al-Muhkam yang ditulis oleh Ibnu Sidah, seorang pakar bahasa yang kafif (كفيف).
Apabila hal itu berlaku untuk bahasa Arab yang ‘biasa’, apalagi untuk bahasa Arab yang ‘luar biasa’, yaitu bahasa Al-Qur’an.
Ini tidak hanya tentang kekayaan kosakata melainkan juga pilihan (diksi) kata yang sangat tepat. Kata-kata tersebut tidak bisa digantikan oleh kata yang lain meskipun maknanya sama.
Pernahkah kita memperhatikan bahwa dalam kisah Nabi Yusuf, penguasa Mesir disebut dengan istilah al-Malik (raja).
Sementara dalam kisah Nabi Musa, penguasa Mesir disebut dengan istilah Fir’aun. Perbedaan sebutan ini berangkat dari fakta sejarah pada masa itu.
Orang Mesir kuno menyebut raja mereka yang bukan asli Mesir dengan sebutan Raja. Adapun raja mereka yang asli Mesir mereka sebut dengan Fir’aun.
Dan memang, penguasa Mesir di masa Nabi Yusuf bukan orang Mesir asli, melainkan dari bangsa Hyksos.
Meskipun al-Quran tidak menjelaskan sejarah secara detail, namun pilihan kata yang digunakan bisa mengantarkan kita kepada berbagai informasi yang sangat berharga.
Ada ayat yang membuat Dr. Fadhil Samurra`iy berpikir selama lebih kurang dua tahun untuk menemukan rahasia di balik tarkib-nya ;
لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Artinya: “Tidak ada ketakutan terhadap mereka dan mereka tidak merasa sedih.”
Kenapa untuk ‘takut’ digunakan isim sementara untuk ‘sedih’ digunakan fi’il? Kenapa untuk ‘sedih’ diberikan penekanan sebelumnya dengan dhamir هم? Kenapa kata خوف marfu’, bukan manshub dengan la an-nafiyah lil jins?
Setelah berpikir, mentadabburi, mengkaji dan memohon fath (pencerahan) dari Allah Swt, ada beberapa kesimpulan yang beliau dapatkan, di antaranya adalah, yang akan dijelaskan secara lebih rinci di Bagian 2, masinh tentang balaghah Al-Qur’an. []

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *