Membela Kurikulum Pesantren

 Membela Kurikulum Pesantren

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pendiri Pesantren Property Indonesia Bambang Ifnurudin Hidayat mempunyai program beasiswa untuk para santri di pesantrennya. (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Tulisan saya selama ini spiritnya adalah untuk membela kurikulum pesantren di Indonesia. Saya tidak suka melihat ijtihad para guru kita selama ini dalam membentuk Islam Indonesia dikesankan remeh oleh sebagian pihak yang sukanya tampil beda.

Bagaimana pun, ilmu yang diajarkan dalam kurikulum kita adalah ilmu yang paling baik untuk masyarakat secara umum. Ia adalah materi pilihan yang tampilannya sederhana tapi mempunyai dasar yang kokoh.

Sebab itulah, sebisa mungkin tulisan saya konsisten dengan posisi sebagai berikut:

  1. Dalam bidang fikih mengikuti mazhab empat.
  2. Dalam bidang Akidah mengikuti mazhab Imam Asy’ariy-Maturidiy dengan pendekatan Madrasah Sanusiyah.
  3. Dalam bidang Tasawuf mengikuti mazhab Imam Junaid-Ghazali dengan pendekatan tasawuf amali.
  4. Dalam bidang interaksi sosial mengikuti manhaj NU yang moderat dan mengakomodir tradisi lokal yang baik.

Formulasi di atas adalah formulasi terbaik yang telah teruji berabad-abad cocok untuk seluruh lapisan masyarakat, baik itu awam mau pun akademisi. Meski tanpa label, surau-surau kecil di pojok kampung hingga pesantren raksasa di Indonesia hampir semua mengikuti formulasi kurikulum di atas.

Jangan Mengikuti Hawa Nafsu

Ibaratnya seperti obat yang boleh beredar tanpa resep yang murah tapi manjur dalam keadaan umum. Andai saya mengikuti bisikan hawa nafsu yang selalu mengajak tampil beda biar kelihatan pintar, maka mudah saja saya penuhi tulisan dengan ulasan akidah ala madrasah Imam ar-Razi yang detail dan filosofis.

Ulasan fikih ala-ala tarjih dengan menampilkan ikhtiyarat sahabat, tabi’in atau para tokoh di luar mazhab empat atau ulasan tasawuf ala madrasah Ibnu Arabi. Itu semua tidak sulit, apalagi di era informasi ini, tapi untuk apa?

Wacana yang seperti itu, meskipun tetap dipelajari di ruang akademik terbatas hingga kini bukanlah materi yang memberi banyak maslahat secara umum. Justru, orang-orang yang kebanyakan awam jadi bingung dan kehilangan pijakan.

Bukannya mereka jadi pintar, tapi kebanyakan hanya sok pintar. Namun memang ada kalanya perlu mengambil sedikit dari wacana semacam itu ketika tujuannya meredam keributan.

Akan tetapi sedikit sekali dan harus ditakar dosisnya agar bisa digunakan untuk menyelaraskan dengan kurikulum yang ada bukan malah merusaknya. Ibaratnya, wacana semacam itu seperti obat dokter yang harus pakai resep yang spesifik untuk masing-masing pasien.

Resep itu pun ditulis dengan tulisan yang tidak bisa dibaca orang kebanyakan agar tidak disalahgunakan oleh pasien. Semoga amal ini diterima oleh Allah dan menjadi wasilah agar bisa dikumpulkan bersama para guru di tempat yang terbaik. Amin.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *