Membaca Ulang Teologi Kebebasan ala Hasan Hanafi
HIDAYATUNA.COM – Islam salah satu agama yang tidak bisa lepas dari akar historis dan tradisi masyarakat Arab. Islam bukan agama Arab, tetapi agama yang lahir dan besar di dunia Arab.
Akar historis dan tradisi di sini ialah kelahiran Islam penuh dengan sejarah panjang. Tentu di dalamnya ada banyak tradisi masyarakat yang masih tetap dipertahankan dan juga dikaji ulang oleh Nabi Muhammad SAW.
Berangkat dari hal inilah maka memahami Islam tidak cukup hanya terpaku pada nash-nash kitab suci dan hadis Nabi. Diperlukan upaya untuk menghadirkan aspek kesejarahan, sosial dan budaya masyarakat Islam.
Salah satu pemikir Islam yang sempat dibicarakan umat di dunia adalah Hasan Hanafi. Ia merupakan doktor bidang filsafat kontemporer yang cukup terkemuka di kalangan umat Islam dunia.
Kairo, Mesir menjadi saksi kelahiran Hasan Hanifi pada tahun 1935. Tumbuh dan besar di keluarga dan lingkungan dinamis menjadikan Hanafi sebagai sosok yang selalu mencintai akan ilmu pengetahuan. Sejak kecil, Hanafi sering mengikuti kajian-kajian kelompok Ikhwanul Muslimin dan pemikiran Sayyid Quthub.
Pergulatan keilmuan Hasan Hanafi pada akhirnya mencapai puncak kemanusiaan. Hanafi sangat perihatin terhadap kondisi umat Islam yang berada diambang kemunduran, dehumanisasi, tertindas dan dijajah dari semua lini.
Padahal, dalam tradisi Islam kita diberi satu pemahaman untuk menghamba pada Tuhan semata. Bukan pada bangsa lain, kapitalisme dan westernisasi dan penjajahan atas nama pembangunan. Persoalan semacam ini membangkitkan semangat dalam diri Hanafi untuk membaca ulang teks-teks Alquran dan Hadis, tentu dilihat dari aspek historisnya.
Dari Teosentris menuju Antroposentris
Sumbangsih Hasan Hanafi dalam pemikiran Islam adalah teologi pembebasan. Istilah teologi sendiri diambil dari khazanah Kristen.
Teologi adalah gabungan dari dua kata, yaitu: Theos yang mempunyai makna “Tuhan” dan Logos yang bermakna “Ilmu”. Jadi, teologi merupakan ilmu yang berbicara mengenai ketuhanan; Zat Tuhan, kebesaran Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan, atau hubungan Tuhan dengan alam ciptaan-Nya.
Hassan Hanafi melihat bahwa teologi selalu menghadirkan dua semangat. Pertama, semangat untuk melanggengkan status quo. Kedua, teologi yang berlawanan dengan yang pertama, karena mempunyai sifat dinamis dan tentu semata-mata berorientasi untuk mengubah status quo.
Asghar Ali Engineer dalam buku Islam dan Teologi Pembebasan (1999), menyatakan kalau teologi pembebasan tidak menghendaki status quo yang melindungi orang kaya berhadapan dengan golongan miskin. Sebab teologi pembebasan mempunyai peran yang sangat urgen dalam pembelaan terhadap kaum tertindas dan tentu ideologi sebagai azimat dari gerakan mereka.
Puncak dari gerakan pembebasan ini muncul justru di Amerika Latin dan Afrika lalu menyusul ke Benua Asia sehingga, teologi ini dikenal sebagai Teologi Dunia Ketiga (Third World Teologian). Pemikiran pembebasan merupakan telaah atas cara berteologi umat Islam yang justru lebih dekat dengan teosentris, menjadikan teologi sebagai hubungan manusia dengan Tuhan semata.
Tidak peduli pada aspek kamusiaan. Dalam bahasa lain, teologi awalnya hanya berkutat di langit dan jauh untuk mengakar ke bumi.
Satu sisi teologi mempunyai peranan penting dalam ideologi pembebasan bagi kaum-kaum tertindas atau bahkan sebaliknya, menjadi tirani bagi kaum penindas. Di sinilah teologi dianggap berfusungsi membenarkan sesutu yang berkaitan dengan perjuangan kepentingan dalam masyarakat, entah untuk kebaikan atau malah keserakahan.
Dengan demikian, Hasan Hanafi hadir membawa gagasan baru, bahwa tidak ada kebenaran yang objektif, ia selalu kalah dengan kepentingan-kepentingan manusia, kebenaran di mata Hanafi begitu relatif, lentur dan bisa dibawa kemana-mana sesuai dengan gairah manusia.
Aspek Penting Rekontruksi Teologi
Dalam merekontruksi teologi, Hasan Hanafi menyebutkan tiga aspek penting yang melatarbelakanginya. Di antaranya adalah pertama, pentingnya sebuah ideologi yang tidak plin-plan di saat dunia sedang bertarung ideologi secara global.
Kedua, perlunya teologi baru yang pijakannya terhadap kepentingan praktis yang menjadikan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Lebih lanjut sebagai gerakan pemutus kemiskinan dan penindasan terhadap umat Islam.
Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, dengan mewujudkan secara nyata dalam realitas sosial masyarakat melalui penerapan langsung tauhid dalam kehidupan umat Islam di dunia.
Bagi Hasan Hanafi, merekontruksi teologi tidak melulu mengajak masyarakat untuk melupakan tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi ini pada mulanya dimaksudkan supaya ajaran Islam peka terhadap kecaman di dunia modern.
Untuk sampai ke sana, dibutuhkan kemapanan dalam menelaah tradisi lama, kemudian mencoba menghadirkan dalam relasi kehidupan masyarakat kontemporer. Teologi diharap bisa merespon permasalahan yang ada hari ini (kontekstual), tidak hanya berjibaku dalam kehidupan masa lalu.
Maka, dengan begitu teologi sudah menyerap pada kebutuhan masyarakat, yang dalam bahasa Hasan Hanafi sebuah kontruksi teologi yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Terakhir, Hassan Hanafi dalam buku Dari Aqidah ke Revolusi Teologi (2003) menegaskan bahwa antroposentrisme yang ditawarkan bertujuan untuk melakukan interpretasi terhadap tradisi keilmuan Islam dan selebihnya membiarkan ideologi melebur dalam pembelaan terhadap hak-hak kaum lemah.
Di sini Hanafi mencoba mengerjakan misi perhatian dalam bingkai epistemologi, yang dari dulu hanya dikerucutkan pada Tuhan, pelayanan pada penguasa dan bersifat melangit. Maka dengan rekontruksi inilah Hanafi memusatkan perhatian keilmuan pada kerja kemanusiaan, perhatian pada revolusi, dan lebih mementingkan ruang lingkup kehidupan di muka bumi.