Membaca Ulang Sejarah Muasal Konflik Palestina-Israel
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Ditilik berdasarkan akar sejarahnya, konflik Palestina-Israel sesungguhnya merupakan peristiwa yang panjang. Jurnalis senior, Farid Gaban mengungkapkan bagaimana tentang asal-muasal konflik Palestina-Israel.
Ia menjelaskan bahwa gagasan tentang negara Israel muncul di Eropa pada abad ke-19. Itu merupakan reaksi terhadap sentimen anti-Yahudi yang luas, lama dan mendalam di sana.
“Sentimen anti-Yahudi di Eropa? Oleh penganut Kristen dan Katolik Eropa, Yahudi dibenci karena dianggap sebagai pembunuh Yesus. Dalam keseharian, dalam sastra dan di media massa, orang Yahudi digambarkan sebagai orang kikir dan licik,” ungkap Farid melalui akun Twitter pribadinya, @faridgaban dikutip Kamis (20/5/2021).
Selanjutnya, sentimen anti-Yahudi itu mendorong Theodhor Herzl, seorang Yahudi kelahiran Austria, mendirikan Gerakan Zionis pada 1897. Kaum Zionis mulai menggagas sebuah negeri sendiri. Menurut Herzl, bangsa Yahudi hanya akan survive jika memiliki negeri sendiri, yakni “Negeri Yahudi”.
“Pada awalnya, Herzl dan para tokoh Zionis berpikir “Negeri Yahudi” bisa didirikan di belantara Afrika (Rhodesia/Zimbabwe) atau di belantara Amerika Latin (Amazon). Mereka berharap diaspora Yahudi yang terserak di seluruh dunia bisa berpindah ke situ,” sambungnya.
Awal Mula Sentimental
Gagasan “Negeri Yahudi” di Afrika/Amerika Latin tidak laku. Rencana diubah: Palestina belakangan dipilih karena ada bonus dalih agama (“tanah yang dijanjikan” dalam Kitab Perjanjian Lama). Kali ini cukup sukses. Yahudi mulai berdatangan ke Palestina, yg kala itu jajahan Inggris.
“Banjir pemukim Yahudi ke Palestina didukung oleh Kolonial Inggris. Pada 1917, Pemerintahan Inggris di bawah Perdana Menteri Arthur James Balfour mengeluarkan “Deklarasi Balfour” yang pada intinya mendukung berdirinya “Negara Yahudi di Palestina”,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Farid Inggris juga menjanjikan kemerdekaan bagi Arab Palestina. Di Palestina kala itu, orang Yahudi hidup berdampingan damai dengan orang Arab (Islam maupun Kristen). Sejumlah tokoh Palestina menginginkan negeri yang multi-etnis dan multi-agama jika merdeka dari Inggris.
Palestina pada kenyataannya memang pusat dari tiga agama besar (Islam, Kristen, Yahudi). Tapi, gagasan negeri yang multi-etnis dan multi-agama di Palestina hancur oleh konflik Arab vs Yahudi pecah dan meluas setelah “Deklarasi Balfour” dan kampanye Zionisme yang makin gencar.
“Sentimen anti-Yahudi di Eropa memuncak pada Perang Dunia II, lewat pembantaian Holocaust ala Nazi Jerman. Makin banyak orang Yahudi berpindah ke Palestina, mendesak dan mengusir orang-orang Arab dari tanahnya bergenerasi. Israel memproklamirkan kemerdekaan pada 1948,” kata Farid.
Titik Pemicu Sengketa
Setelah merdeka, Israel menarik kian banyak pemukim Yahudi dari Eropa. Pada 1950, Israel menerbitkan UU “Law of Return”: setiap Yahudi (di mana saja) berhak tinggal di Israel dan otomatis menjadi warga negara Israel. Orang Arab makin terdesak & terusir dari tanahnya sampai kini.
Farid menjelaskan, “Deklarasi Balfour” (1917) adalah titik pemicu sengketa Paletina sampai sekarang. Seorang sejawaran menyebutnya sebagai “transfer of hatred”: Inggris memindahkan “masalah Yahudi”, dari Eropa ke Timur Tengah; memindahkan kebencian anti-Yahudi dari Eropa ke Timur Tengah.
“Cuci tangan dengan masalah rasialisme di tanahnya sendiri, Eropa (dan belakangan Amerika Serikat) sangat getol membela Israel sampai sekarang, sekaligus menjadikan bangsa Arab (baik yang Islam, Kristen maupun Katolik) sebagai tumbalnya,” sambungnya.
Bertahun-tahun, Amerika memberi label teroris kepada tokoh gerakan kemerdekaan Palestina (Islam maupun Kristen). Di sisi lain memberi bantuan keuangan milyaran dolar setiap tahun ke Israel dan membelanya dengan veto di Dewan Keamanan setiap ada resolusi yang mengecam Israel.
“Jelas sekali, konflik Israel-Palestina bukan konflik yang simetris. Orang Zionis suka menggambarkan diri sebagai “Daud yang melawan Goliath”. Dalam dunia nyata, Palestina lah Daud itu, dan Israel (yg didukung Eropa dan Amerika) adalah sang angkara murka Goliath,” tandasnya.