Membaca Ulang Peristiwa Hijrahnya Nabi
HIDAYATUNA.COM – Peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Yastrib (Madinah) merupakan peristiwa yang masyhur diketahui dan dipercayai oleh banyak masyarakat. Terutama masyarakat Islam baik dari kalangan awam maupun pelajar.
Umumnya, peristiwa tersebut dipahami karena Mekkah sudah tidak memungkinkan lagi untuk mereka tempati dalam rangka menyampaikan risalah keislaman. Hal itu disebabkan petinggi-petinggi Kota Mekkah, seperti Amr bin Hisyam atau Abu Jahal menentang aktivitas Nabi Muhammad.
Saat itu memang gerakan dakwah Muhammad Saw yang terus menyampaikan risalah keislamannya sedang gencar-gencarnya. Bahkan dari Bani Hasyim Abdul al-Uzza bin Abdul Muthalib atau Abu Lahab yang notabene paman Nabi sendiri juga ikut menentangnya.
Nabi dan para sahabat-sahabatnya pada saat itu diboikot, ditindas bahkan sampai diancam akan dibunuh oleh orang-orang kafir. Dengan situasi yang demikian, Rasulullah beserta pengikutnya memutuskan hijrah meninggalkan kota Mekkah.
Konteks dari peristiwa tersebut merupakan kisah yang diketahui masyarakat secara umum. Bahkan dijadikan legitimasi oleh kelompok fanatik yang mengatas namakan Islam sehingga memarginalkan agama lain.
Adapun peristiwa tersebut juga dijadikan legitimasi untuk membentuk negara Islam di tengah kemajemukan masyarakat. Namun dalam peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Yastrib, ada beberapa hal yang perlu dipahami.
Hijrahnya Nabi Untuk Menyelesaikan Konflik
Sebelum peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad beserta sahabatnya ke Yatsrib (Madinah), perlu diketahui kondisi kota Yatsrib. Tepatnya sebelum sang Nabi menetap di kota yang beliau namai dengan kota Madinah kelak.
Kota Yastrib pada saat itu sedang terjadi konflik besar yang melibatkan dua fraksi, yaitu suku Aus dan Khazraj. Mereka baru saja merasakan pahitnya perang Bu’ath, perang sipil terbesar keempat yang menelan lebih banyak korban.
Konflik yang berkepanjangan mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi di kota Yastrib. Terpecahnya masyarakat yang melibatkan dua suku yang saling bertikai membuat sebagian masyarakatnya lelah dengan keadaan tersebut.
Kemudian pada musim panas 620 Masehi, enam orang dari suku Khazraj yang tidak dikenali oleh Nabi datang ke Mekkah untuk berziarah. Mereka menetap sementara di Aqobah dan kemudian bertemulah kepada Nabi Muhammad Saw.
Orang-orang Khazraj yang tidak dikenali oleh Nabi itu, sebelumnya sudah mendengar tentang kenabian dan kebaikan Rasulullah Saw, sehingga orang-orang tersebut bisa menerima ajaran beliau. Kemudian, dalam pertemuan itu mereka juga membicarakan tentang keadaan kotanya yang masih didera konflik.
Martin Lings dalam Muhammad: Kisah hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015:198) yang dikutip oleh Tirto.id ia menuliskan, orang-orang suku Khazraj ini berkata: “Kami telah meninggalkan kaum kami karena mereka tercabik oleh kejahatan dan permusuhan. Jika Allah mempersatukan mereka karena engkau, maka tidak ada yang lebih mulia dari dirimu.”
Kesejukan Islam di Tanah Konflik
Dapat diketahui, orang-orang Yatsrib itu sedang mencari sosok tokoh yang bisa mempersatukan kaum mereka. Bertemunya enam orang itu di hadapan Nabi, memberikan pencerahan bagi mereka, kemudian membawa mereka ke titik perubahan yang lebih baik.
Pada tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 621 Masehi orang-orang Yastrib kembali mendatangi Rasulullah Saw. Orang-orang Yatsrib tersebut berjumlah 12 orang dari suku Khazraj dan Aus. Mereka kemudian berbaiat kepada Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan Baiat Aqabah pertama.
Ajaran Islam yang begitu sejuk dan damai telah memikat banyak orang, terutama penduduk Yatsrib, yang mulanya masih didera konflik itu. Kemudian pada tahun 622 Masehi, masyarakat Yatsrib berbondong-bondong menemui Nabi yang berjumlah 73 laki-laki dan dua perempuan. Di bawah terangnya bulan, terjadilah Baiat Aqabah yang kedua, dan terjadilah peristiwa Hijrah Nabi Muhammad Saw.
Setelah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Yatsrib, penduduk Yatsrib merasakan harumnya perdamaian kota itu. Sehingga Nabi Muhammad Saw mengubah nama Yatsrib menjadi Kota Madinah aL-Munawarah yaitu kota yang memancarkan cahaya.
Kota Yastrib yang mulanya didera pertikaian kini ada sosok pemimpin yang bisa menyelesaikan konflik dengan adil. Suatu ketika masyarakat Yastrib terlibat sengketa tanah dan sumber air, kemudian Nabi menyelesaikan sengketa tersebut dengan bijaksana.
Peristiwa tersebut diceritakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Tentang sengketa tanah dan sumber air, Rasulullah Saw pernah mengatakan “Seluruh umat manusia mendapatkan hak yang sama di dalam air, padang rumput dan api.”
Hijrahnya Nabi ke Madinah Bukan dalam Rangka Islamisasi
Setelah Nabi menduduki kota Yatsrib, apakah semua penduduk memeluk agama Islam? Semakin bertambahnya kekuatan Islam, apakah ada diskriminasi atau pemaksaan untuk memeluk agama Islam? Tentunya tidak.
Justru tiga agama Nasrani Yahudi dan Islam hidup berdampingan, dalam satu perjanjian yang dinamai dengan piagam Madinah. Peranan Nabi Muhammad di Kota Yastrib tidak hanya sebagai pemimpin umat Muslim tetapi sebagai otoritas tertinggi sekaligus mengatur mobilitas sosial di kota tersebut.
Bahkan ada salah satu sahabat yang beragama Yahudi ikut membela Nabi Muhammad Saw dari orang kafir Mekkah saat perang Uhud. Ia bernama Mukhairiq, yang akhirnya ia gugur dimedan pertempuran.
Bahkan salah satu istri Nabi yang bernama Mari’ah binti Syama’un atau bisa disebut Mariatul Qibtiyah yang merupakan seorang Kristen Koptik, dari kerajaan Bizantium Mesir.
Hal itu menandakan bahwa, Nabi Muhammad hijrah ke Yastrib bukan dalam rangka Islamisasi atau bahkan membentuk negara Islam. Tetapi membentuk tatanan masyarakat yang damai dan tetap menjunjung tinggi toleransi antar agama.